Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Menimbang Kontroversi Profesor Yudian Wahyudi

Tokoh kita ini mendapat banyak pujian karena prestasinya di dunia akademik, dalam dan luar negeri. Tapi, tak sedikit juga orang mengkritik tajam karena sikap dan sifatnya yang dinilai sombong dan sensasional.

Di alam publik luas, polemik antar intelektual lazim terjadi. Sebut saja misalnya, polemik legendaris ketika Ibnu Rusyd menulis Tahafutut Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan) sebagai jawaban atas serangan Imam al-Ghazali Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Atau polemik sastrawan Indonesia tahun 1960-an, antara “kelompok kiri” dan “kelompok kanan”, misalnya, Hamka versus Pramoedya Ananta Toer; begitu pula dengan penyair Chairil Anwar (1949) yang pernah dituduh menjiplak karya tulis oleh Hans Bague Jassin melalui tulisannya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat membahas puisi Kerawang-Bekasi.

Namun dewasa ini, diam-diam rupanya juga menerpa di alam sempit kampus, antarakademisi, atau lebih tepatnya antar profesor—yang jarang diketahui oleh banyak kalangan.

Adalah Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A, Ph.D guru besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, rektor di kampus setempat periode 2016-2020. Jika membaca tulisan-tulisannya, muncul aura “meledak-ledak”, fighter, mengangkat bendera “perang” kepada “lawan” akademisi dan intelektualnya.

Sekadar menyebutkan beberapa contoh buku-buknya, yakni Dari McGill ke Oxford Bersama Ali Shari’ati dan Bint al-Shati’ (2006), Jihad Ilmiah dari Tremas ke Harvard (2009), Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Hermeneutika (2010), dan Jihad Ilmiah dari Harvard ke Yale dan Priceton (2013). Lalu, apa makna di balik label judul nyentrik tersebut?

Baca juga:  Bung Karno dan Ijtihad Kitab Kuning Kiai Abdul Wahab Chasbullah

Pertama, meskipun sebagian buku-buku Yudian merupakan kumpulan tulisan yang sebelumnya telah dipresentasikan dan dimuat di jurnal-jurnal Internasional, tetapi di dalamnya mengandung makna implisit yang diharapkan publik tahu.

Yudian sering memberikan pengantar setiap konteks tulisan dalam semua babnya, yang dengan cara itu, di sana justru muncul kekuatan menohok, bahwa ia sedang melakukan apa yang oleh Pierre Bourdieu disebut distinction, untuk membedakan dirinya dengan akademisi-intelektual lain.

Yudian adalah representasi dari kalangan tradisionalis, santri lulusan pesantren, yang dalam klasifikasi sosiologis oleh Deliar Noer (1973) sebagai lawan dari kelompok modernis.

Dalam pengalaman akademiknya, Yudian memecahkan rekor dunia sebagai dosen PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) pertama anggota American Assosiation of University Professors (2005-2006), Visiting Researcher/Scholar di Harvard Law School (2002-2004). Dosen Islamic Studies di Comparative Department, Tufts University, Massachussetts, USA (2004-2005).

Kedua, Yudian melawan dengan cara mematahkan pemikir-pemikir raksasa yang dikagumi oleh penantangnya. Ketika kaum intelektual Indonesia merayakan kekagumannya kepada tokoh-tokoh yang mengusung ide-ide pembaruan dalam pemikiran Islam, seperti Nurcholis Madjid, Hasan Hanafi, dan al-Jabiri, Yudian justru menghujani kritik tajam—sebagaimana ia tuangkan dalam disertasinya berjudul The Slogan Back to the al-Qur’an and the Sunnah: A Comparative Studi of the Responses of Hasan Hanafi, Muhammad ‘Abid al-Jabiri and Nurcholis Madjid (2002).

Baca juga:  Mengenang Dokter Soetomo: Tokoh Nasionalis Pembela Kaum Santri

Yudian tidak lagi mendeskripsikan titik perbedaan dan persamaan ketiga tokoh yang digandrungi oleh banyak intelektual Indonesia, tetapi lebih dari itu, memberikan catatan kritis yang layak diapresiasi.

Semangat dan cara menulis Yudian, mirip apa yang dilakukan oleh George Tarabishi, lawan intelektual al-Jabiri tentang “nalar Arab”, yang dituangkan ke dalam buku penuh “caci-maki-argumentatif” berjudul Nadhariyah al-‘Aql: Naqd Naqd al-‘Aqli al’Arabi (1999).

Itulah sebabnya, dalam pengantar buku Sendi-sendi Hermeneutika: Membumikan Tafsir Revolusioner (2001), Yudian berseloroh:

“Ibarat penunggang singa (Ibn al-Muqaffa’: ka rakib al-asad), sikap akademik saya ini menakutkan penonton: khawatir saya diterkam singa. Menulis disertasi tentang Islam Indonesia (seperti Azyumardi), bagi saya, ibarat menulis dengan tangan dan mata kiri saja; menulis Islam tentang Timur Tengah (seperti Cak Nur), bagi saya, bagaikan menulis dengan tangan kanan dan mata kiri; membandingkan dua negara (seperti Amin Abdullah), bagi saya, bagaikan menulis dengan tangan dan mata kanan saja. Meskipun membandingkan tiga negara, seperti yang saya lakukan, bagaikan menulis dengan dua tangan dan dua mata tetapi sesekali saya terkantuk: perlu minum kopi, pergi presentasi!”

Yudian membalas kicauan lawan-lawannya dengan cara mengungguli keilmuannya.

Ketika Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) menulis pengantar Oksidentalisme karya Hasan Hanafi edisi Indonesia, Yudian melampauinya dengan cara presentasi di hadapan tokoh oksidentalisme dan orientalisme, M. Arkoun sekaligus Edward Said di University of Exeter Inggris (2001). Tulisan Yudian berjudul Ali Shari’ati and Bint al-Shati on Free Will: A Comparation bahkan juga tembus dan lagi-lagi memecahkan rekor sebagai dosen pertama PTKIN yang terbit di Oxford University (1998).

Baca juga:  Antara Ulama Organik dan Biopolitis: Berkaca pada Gus Dur

Prestasi Yudian mematahkan persepsi negatif terhadap dirinya, yang sempat dituduh lemah kemampuan bahasa Inggris-nya, sinisme sebagian kalangan kepada lulusan Islamic Studies dari McGill University, Montreal, Kanada (gelar master Yudian tahun 1993 dan Ph.D tahun 2002) karena dianggap sebagai perguruan tinggi nomor buntut di level internasional sehingga mustahil bisa lolos ke Harvard University.

Yudian menangkis serangan itu dengan menerjemahkan 53 judul buku filsafat dan keislaman dari bahasa Arab, Inggris, dan Perancis ke dalam bahasa Indonesia (plus dari Inggris ke Arab).

Akhirnya, dengan mencermati percik pengalaman menulis dan presentasi internasional Yudian di lima benua, ia tampak lebih siap berpolemik, meski sampai sekarang masih “bertepuk sebelah tangan”, tak kunjung dibalas oleh lawan-lawannya. Pada posisi ini, Yudian bertindak sebagai penulis di atas angin yang (sementara) tiada lawan tanding.

Gaya tulisannya yang cenderung congkak alias sombong justru menjadi kekuatan, khas-karakteristik, dan senjata ampuh untuk membungkam lawan. Yudian merasa sedang mengamalkan pepatah Arab, al-kibru ‘ala al-mutakabbiru shadaqah (bersikap sombong kepada orang sombong adalah shadaqah).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
6
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top