Sedang Membaca
Mbah Moen di Tangan Penyair
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Mbah Moen di Tangan Penyair

Sedangkan uban alis tebalmu/Mengipas-ngipas wajahku/Bagai serban embun/Aku berharap engkau/Jembatan napasku/Meniti derap langkah/Kepada lailaha illallah (Raedu Basha, 2008 dalam “Hadrah Kiai” 2017).

Bersyair berarti mengkonstruksi pengamatan, perasaan, pikiran, dan penghayatan yang kemudian dituangkan dalam goresan-goresan pena menjadi bentuk naskah. Penyair selalu menganggap semua orang adalah guru, semua tempat adalah kelas, dan semua gejala sosial adalah bacaan.

Syair “Di Hadapan Mbah Moen” ini menjadi pembuka bagian hadrah hayah pada “Hadrah Kiai” karya Raedu Basha, tepatnya pada halaman 88-89. Penting diketahui, bahwa “Hadrah Kiai” ini memiliki dua bagian. Bagian pertama, Hadrah Arwah, mengangkat sebagian besar ulama dan kiai yang telah wafat.

Bagian kedua, Hadrah Hayah, mengangkat perjuangan ulama dan kiai yang masih berjuang untuk umat hingga kiwari ini. Terlepas dari “Hadrah Kiai” nya Raedu Basha, kini Mbah Moen telah menjadi bagian dari Hadrah Arwah, namun meneladani kisah, ceramah, laku, dan perangainya tak ubahnya sebuah keharusan bagi siapapun, dimanapun, dan kapanpun.

Jika Raedu Basha mensyairkan Mbah Moen ketika Mbah Moen masih hidup, maka sepeninggal Mbah Moen pun muncul beberapa syair yang tercipta. Setidaknya ada tiga syair yang penulis temukan. Tentu jumlah itu terlampau sedikit mengingat keterbatasan penulis menghimpun syair-syair yang beredar sepeninggal Mbah Moen. Tiga syair yang penulis maksudkan ialah;

Baca juga:  Beragama Mencari Petunjuk, Bukan dengan Jari Telunjuk.

Syair pertama lahir dari penyair bernama Gus Haidar Hafeez Pengasuh PP. Darul Ulum Karangpandan Rejoso Pasuruan yang sekaligus menjadi wakil ketua Lesbumi NU Kabupaten Pasuruan. Terhitung saya dua kali sowan ke ndalem Gus Haidar, waktu itu ada urusan studi yang mengharuskan saya mewawancarai beliau. 

Syair yang ditulis Gus Haidar berjudul “Pantas Pagi Ini Ka’bah Diguyur Hujan”. Gus Haidar menulis syair ini di Mekkah, di tengah ibadah haji yang sedang dilakoninya. Kira-kira syair itu begini;

Hujan 

Kau kabarkan padaku 

Subuh ini telah berpulang 

Kiai Maimun Zuber 

Labaik Allah huma labaik 

Mbah Maimun 

Engkau hadir 

Penuhi panggilan tuhan 

Bukan hanya jiwa 

Tetapi ragamu juga hadir 

Penuhi panggilan Tuhan 

Demi labaik Allah 

Mbah Mun 

Bukan hanya santri 

Di hadapan kabah 

Langit pun menangis 

Hujan mengguyur kota haram 

Haram bagi siapa saja 

Menyaksikan engkau tidak husnul hatimah 

Hujan membasahi Jemaah haji 

Titip kabar bahwa Langit pun menangis 

Atas wafatmu Mbah kiai Maimun Zuber

(Haidar Hafeez. Mekkah Almukaromah, 6 Agustus 2019)

Rekaman suara puisi Gus Haidar ini beredar di beberapa media sosial milik TV9. Suara Gus Haidar begitu sendu, haru namun bertenaga menggambarkan suasana Mekkah ketika kabar meninggalnya Mbah Moen sampai di telinganya. Seolah langit Mekkah menangis haru mendengar sang kiai telah tiada. Jiwa dan raga Mbah Moen telah memenuhi panggilan Tuhan.

Baca juga:  Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (1): Pahlawan Itu Sufi

Kurang lebih seperti itu Gus Haidar mensyairkan Mbah Moen.

Lanjut pada syair yang kedua. Syair kedua digubah oleh Mas Sastro Adi  Lesbumi PBNU dengan judul “Kekasih Telah Kembali”. Senada dengan Gus Haidar, syair yang digubah Mas Sastro ini juga menggambarkan tentang duka ihwal wafatnya Mbah Moen. Jika Gus Haidar membacakan syair dukanya, maka Mas Sastro Adi menggubah syairnya ke dalam nyayian sendu, haru dan mendayu-dayu yang syarat makna, serta rapalan doa untuk sang kiai. 

Kira-kira syair lagunya seperti ini;

Cakrawala

Terhujam lara

Meneteskan air mata

Sang guru telah berpulang

Menghadap sang pencipta

Meninggalkan samudera hikmah

Menebarkan benih makna

Pelita ilmu telah sampai masanya di dunia 

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un

Kekasih telah kembali

Kepada ilahi rabbi

Ampunilah segala dosa dan khilafnya

Satukan ia dengan kekasihmu

Tinggikan derajatnya 

Syair lagu Mas Sastro Adi yang sarat makna serta rapalan doa untuk Almarhum Mbah Moen dapat ditonton di kanal youtube bernama “Sastro Adi”. 

Syair ketiga sekaligus terakhir yang lahir pasca wafatnya Mbah Moen, merupakan syair berbahasa Arab yang digubah oleh Kiai Faisol Fatawi (Dosen Sastra Arab UIN Malang). Syair ketiga ini pun masih seputar duka ihwal wafatnya Mbah Moen. Bunyi syair itu begini;

Baca juga:  Puisi dan Kiai

وأبكي على شيخي الكريم بعلمه  # بأحسن خلقه وألطف نطقه

أيا رب واغفر واعف وافسح في قبره  # وأسكنه في الدار من خير داره 

“Aku menangis akan kepergian Sang Kiai mulia nan alim / perangainya nan indah, tutur katanya nan lembut / Semoga Tuhan mengampuni dan melapangkan kuburnya / dan menempatkanya di tempat yang paling indah” 

Raedu Basha, Gus Haidar, Mas Sastro Adi serta Kiai Faisol telah mengkonstruksi pengamatan, perasaan, pikiran, dan penghayatannya untuk kemudian dituangkan dalam syair-syair untuk Mbah Moen.

Syair Raedu Basha semasa Mbah Moen hidup, serta syair Gus Haidar, Mas Sastro Adi, dan Kiai Faisol yang mengiringi wafatnya Mbah Moen menjadi saksi ke-khusnul hotimah-an Syaikhuna Maimoen Zubair. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top