Sedang Membaca
Rayuan Pulau Kelapa
Trias Kuncahyono
Penulis Kolom

Wartawan Kompas (1988-2018), kolomnis, penulis buku antara lain "JERUSALEM: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir" dan "TURKI, Revolusi Tak Pernah Henti". Bisa dijumpai di triaskun.id. Youtuber (Cemara19 Channel)

Rayuan Pulau Kelapa

20181120 171903

Ismail Marzuki, anak Betawi yang lahir di Kwitang pada 11 Mei 1914 (meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, 25 Mei 1958) adalah salah seorang komponis besar Indonesia.

Karyanya antara lain,  Rayuan Pulau Kelapa (1944),  Gugur Bunga di Taman Bakti (1945), Halo-halo Bandung (1946); juga Sepasang Mata Bola dan Aryati.

Lagu itulah—Rayuan Pulau Kelapa—yang dinyanyikan di Gereja Katolik Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, saat tahbisan  Uskup baru Keuskupan Sibolga Mgr. Fransiskus TS Sinaga, Kamis (29/7/2021).

Adalah Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo yang mengajak seluruh umat, saat khotbah—untuk menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa.

Katanya, lagu Rayuan Pulau Kelapa berbicara tentang cinta Tanah Air: “Waktu itu, kesempatan mengajak umat untuk merawat cinta Tanah Air,” kata Kardinal.

Maka Kardinal pun menyanyikan : Tanah airku Indonesia/Negeri elok amat kucinta/Tanah tumpah darahku yang mulia/Yang kupuja sepanjang masa/….

Cinta Tanah Air. Lain lagi cara Greysia Polii/ Apriyani Rahayu dalam mengekspresikan kecintaan mereka pada Tanah Air. Mereka berjuang habis-habisan untuk merebut emas dalam cabang bulutangkis pada Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang.

Dan, berhasil! Mereka mempersembahkan emas—yang pertama untuk ganda putri dan satu-satunya emas yang direbut Indonesia pada olimpiade kali ini.

Nasionalisme

Lagu Rayuan Pulau Kelapa, mengandung tema nasionalisme. Syair-syair lagu itu  mengandung kecintaan terhadap Tanah Air, menjaga lingkungan, kebanggaan atas sumber daya yang dimiliki Indonesia, ikut menjaga kelestarian dan memelihara kelestarian lingkungan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa.

Baca juga:  Membincang Cerpen dari Pesantren

Itulah nasionalisme. Nasionalisme secara sederhana dapat dirumuskan sebagai  kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Rasa cinta tanah air dan bangsa merupakan  kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga negara

Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada Tanah Airnya.

Kata Bung Karno, nasionalisme Indonesia juga merupakan nasionalisme yang memuliakan kemanusiaan universal dengan menjunjung tinggi persaudaraan, perdamaian, dan keadilan antarumat manusia (Yudi Latif, 2011).

Inilah nasionalisme kemanusiaan Mahatma Gandhi. Kata Gandhi, “Nasionalisme saya… tidak eksklusif, atau dirancang untuk merugikan bangsa atau individu mana pun. Misi saya bukan hanya persaudaraan kemanusiaan India….saya berharap untuk mewujudkan dan melanjutkan misi persaudaraan manusia. Konsepsi patriotisme saya tidak ada artinya jika tidak sejalan dengan kebaikan seluas-luasnya bagi umat manusia pada umumnya…”

Karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalis yang memuliakan kemanusiaan, maka menurut Bung Karno, nasionalisme Indonesia tidaklah nasionalisme “chauvinis” atau “provinsialis” yang memecah belah. Nasionalisme semacam itu, adalah bentuk “assyabiyah yang dikutuk  Allah.”

Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa: menempatkan persatuan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan; menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air  Indonesia serta tidak merasa rendah diri.

Baca juga:  Ummu Kultsum, Perempuan yang Dinanti-nanti

Selain itu juga mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa; menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia; mengembangkan sikap tenggang rasa.

Saling Meneguhkan

Rasanya, sekarang, ketika pandemi Covid-19 masih menelikung negeri ini perlu kiranya perlu “merenungkan ulang” nasionalisme Indonesia yang dilandasi nilai-nilai Pancasila itu.

Semestinya, memang, pandemi Covid-19 semakin meneguhkan rasa nasionalisme kita semua, bukan justru sebaliknya.

Bukankah semestinya, nasionalisme menempatkan loyalitas kepada bangsa di atas segala bentuk loyalitas politik dan sosial lainnya.

Bukankah juga nasionalisme tidak hanya menjadikan bangsa sebagai fokus kesetiaan politik, tetapi juga menegaskan bahwa bangsa adalah satu-satunya dasar yang tepat bagi organisasi setiap aktivitas politik

Tetapi, sulit dipungkiri bahwa masih ada yang mengikis rasa kemanusiaan dan kebangsaan demi keuntungan materi, keuntungan politik, keuntungan golongan, atau sekadar cari popularitas.

Ada yang karena kegagalan sendiri, ketidakmampuan sendiri, kekalahan sendiri lantas menyalahkan pemerintah yang tengah berjuang mati-matian menghadapi pandemi Covid-19. Mereka menyebut pemerintah gagal, lip service, ingkar janji dan sebagainya.

Ada yang menginginkan—bahkan menyatakan—pemerintah gagal dalam menangani pandemi Covid-19. Maka mereka bersuara sesukanya, sumbang, tidak seindah Rayuan Pulau Kelapa.

Kenyataan seperti itu, mengingatkan akan apa yang dikatakan Indonesianis Ben Anderson (1936-2015). Dalam ceramahnya tentang Nasionalisme Kini dan Esok, di Jakarta, Ben mengatakan, kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang menjemuk sangat penting bagi kelanjutan bangsa ini.

Baca juga:  Tunas GUSDURian (2): Tunas Yang (Tak) Terbatas

Oleh karena itu, nasionalisme atau semangat kebangsaan, merupakan proyek bersama yang senantiasa harus diperjuangkan (Kompas, 5 Maret 1999). Proyek bersama!

Untung saja, masih banyak yang mau  berepot-repot dan berlelah-lelah merawat nasionalisme.

Untung juga masih ada yang sadar, yang punya hati, dan peduli akan nasib sesama—sebagai sesama anak bangsa, senasib sepenanggungan—membagikan makanan gratis, sayuran gratis, sembako gratis, menyumbangkan peti mati, membuat pusat pengobatan, mengadakan vaksinasi massal, membagi oksigen gratis, tenaga gratis dengan menjadi relawan mengurusi yang isoman, dan banyak lagi tindakan-tindakan kemanusiaan lainnya.

Melihat semua itu, benar yang dikatakan oleh Cecilius (230-168 SM) seorang pengarang komik bahwa homo homini deus est, manusia adalah dewa bagi sesama; bila, saling membantu, mendukung, dan meneguhkan sesamanya. Tetapi, juga bisa menjadi homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.

“Manusia serigala” itulah yang bisa dengan mudah kita saksikan di masa pandemi Covid-19 ini di berbagai media: cetak, elektronik, termasuk terutama media sosial. (triaskun.id)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top