Sedang Membaca
Kisah Bung Karno di Gang Peneleh
Asep Salahudin
Penulis Kolom

Kolumnis, tinggal di Bandung

Kisah Bung Karno di Gang Peneleh

Dapur Nasionalisme adalah istilah Bung Karno seperti dalam Cindy Adams,  Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang merujuk pada sebuah jalan  kecil gang Paneleh 7 di Surabaya. Tempat di mana suhu kaum pegerakan Haji Umar Said Tjokroaminoto yang saat itu usianya 33 tahun secara intens menjadi mentor diskusi kebangsaan dengan peserta kaum muda revolusioner.

Mereka adalah Soekarno, Musso, Semaun, Kartosoewirjo, belakangan Tan Malaka dan Agus Salim di lain tempat  dan yang  lainnya.

Di kemudian hari para muridnya itu alih-alih ikut terus terlibat dalam Serikat Islam bersama gurunya Tjokroaminoto, mereka semuanya bergerak membangun rute sendiri  lengkap dengan keyakinan bahwa ideologi yang diimaninya akan semakin mempercepat Indonesia merdeka.

Pada titik tertentu sering bertabrakan dengan mentornya. Mungkin mereka mengambil dari Tjokro bukan “abunya” tapi  “apinya”.

Justru di sinilah letak kebesaran Tjokroaminoto. Dia berdiskusi tidak untuk memperbanyak kerumunan orang agar menjadi epigon, tapi  Gang Peneleh itu menjadi dapur intelektualisme. Tempat di mana kebebasan dirayakan, potensi nalar seseorang dibiarkan berkembang ke cakrawala tanpa batas.

Dalam penggambaran Bung Karno, “Pak Tjokro mengajarkan tentang apa dan siapa dia, bukan tentang  apa yang dia ketahui ataupun tentang akan menjadi apa aku di masa depan. Sebagai seorang tokoh yang memiliki daya cipta dan cita-cita tinggi, sebagai seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya, Pak Tjokro adalah idolaku…aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku.”

Pada jamuan malam

Saya membayangkan bagaimana saat itu murid-murid Tjokro dengan gesit saling mengeluarkan hujjah (bukan hujatan) lengkap dengan rujukan literasi  yang mereka baca penuh minat. Bung Karno sendiri dalam pengakuannya menyebut telah berkarib dengan pemikiran-pemikaran Gladstone, Mazzini, Cavaour, Garibaldi, Otto Bauer, Alder, Karl Marx, Friedrich Engels, Lennin, Jean Jecques Rousseau, Jean Jaures, dan Voltaire. Sesekali ketika Tjokro tidak bisa mengisi pidato dalam sebuah rapat akbar, para muridnya, terutama Bung Karno, menggantinya dengan retorika yang tidak kalah menarik dari gurunya.

Baca juga:  Berharap Tuah Singa-Singa Muda

Kita simak fragmen perdebatan di Dapur Nasionalisme itu. Pada suatu waktu, pada sebuah jamuan makan malam. Percakapan dimulai pertanyaan Bung Karno, “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” Tjokro menjawab, “de Vereenigde Oost-Indische Compagnie menyedot atau mencuri kira-kira 1800 golden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag.” Seokarno menimpali, “Apa yang tinggal di negeri kita.”

Alimin menyela, “Rakyat tani kita yang mencucurkan keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari.”

“Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa,” Musso menguatkan.

Kata Bung Karno lagi, “Akibat dari imperialisme benar-benar dahsyat. Orang-orang lelaki direnggut dari rumahnya dan dipaksa menjadi budak di pulau-pulau seberang, yang kekurangan tenaga manusia. Kaum perempuan dipaksa bekerja di kebun nila dan mereka harus terus bekerja keras, sekalipun mereka melahirkan…”

“Serikat Islam bekerja  untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan mosi-mosi kepada pemerintah,” Tjokro  menyimpulkan.

Bersilang jalan

Dapur Nasionalisme itu tidak saja melahirkan para murid yang berbeda dengan gurunya, tapi antar muridnya sendiri ketika satu sama lain telah terpencar di berbagai wilayah menjadi penggerak massa, aktif mendirikan partai, menulis di berbagai media bahkan ketika Indonesia sudah diproklamasikan. Mereka  mengambil jalan yang tidak sama dan terkadang sulit dicarikan titik temunya.

Seandainya sang mentor mengembangkan pemikiran “sosialisme Islam”, Bung Karno pada fase muda mengelaborasi gagasan yang menjadi mimpi sepanjang hidupnya, “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” yang ketika telah menjadi presiden bermetamorfosa menjadi “Nasakom”.

Baca juga:  Benarkah Orang Musyrik Najis?

Semaun mengembangkan sosialisme radikal dan bersama kawannya Darsono merebut SI Semarang dari Muhammad Joesoef  kemudian beralih nama menjadi “Serikat Rakyat” dengan lebih bergeser ke mazhab “kiri”. Dengan keras pula dikritiknya  Sang Mentor itu sebagai antek Belanda karena telah bersedia  menjadi anggota Volksraad.

Musso yang lebih tua dari Soekarno empat tahun lain lagi riwayatnya. Dia mengembangkan komunisme sebagai buah perjumpaan dengan Hendricus Josephus Fransiscus Sneepliet,  pemimpin Redaksi Handelsblad yang  sering berkunjung ke rumah Tjokro.

Di kemudian hari Musso, terutama setelah diperlakukan buruk Belanda dalam kasus Afdeling B, total terlibat di  Partai Komunisme Indonesia cabang Batavia. Tahun 1923 bersama Alimin bergabung dengan Partai Komunis Indonesia yang berujung pada pemberontakan 1926.

Musso dan kader andalannya Amir Sjarifuddin kemudian harus mengakhiri seluruh perjuangan radikalnya pada peristiwa Madiun 1948 tepat tiga puluh tujuh hari setelah perjumpaan dengan Bung Karno, setelah diberikannya buku “Sarinah” kepada Musso kawan diskusinya tempo dulu  sekaligus seniornya dalam urusan pergulatan revolusi kebangsaan.

Tan Malaka, yang juga mengaku sebagai murid Tjokro, tidak kalah tragis, menjadi manusia buangan yang saparuh hidupnya (1922-1942) dihabiskan sebagai pelarian   diburu polisi rahasia Hindia Belanda dan Inggris  karena kiprah politiknya yang dianggap membahayakan. “Kiri” yang dikembangkannya lebih lunak ketimbang Musso.

Tan sendiri yang menganjurkan dibuka kemungkinan bekerjasama dengan pan islamisme karena keduanya dipandang memiliki cita cita sama mengusir kaum penjajah. Sebuah pemikiran yang dipandang aneh dalam traktat komunisme. Lagi-lagi Tan juga setelah Indonesia merdeka harus bersimpangan dengan kawan-kawannya. Pada 21 Februari 1949 tentara Republik Indonesia mengeksekusinya di desa Selapanggung. Kelebihan Tan, dia mampu menuangkan gagasan politiknya dalam senarai buku-bukunya yang menarik yang hari ini terus dikaji. Mungkin benar apa yang menjadi ramalannya:

Baca juga:  Belajar dari Sejarah Kemerdekaan Indonesia dan Pakistan

“Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.”

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebagai  orang kepercayaan Tjokro tidak kalah menariknya. Terdampar di Tanah Priangan, meneriakkan pekik Islamisme, memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Kekecawaannya terhadap Bung Karno pada perjanjian Renville menjadi alasan mengobarkan gerilya di belantara Tanah Sunda lengkap dengan fantasi Negara Islam yang menjadi jualannya. Ketajaman politiknya teruji, paham kiri tidak akan cukup laku kalau dipromosikan di Priangan maka  dia lebih memilih  menawarkan isu “Islam” sekaligus menikahi orang Malangbong Jawa Barat. Betul, akhirnya tidak sedikit para ajengan (kyai) yang terpikat dongengan metafisisnya sekaligus menganggapnya sebagai “imam mahdi”.

Pada akhirnya setelah sidang tiga hari Kartosoewirjo pun dijatuhi hukuman mati dengan lokasi pemakamannya yang sampai hari ini masih misterius.

Pancasila

Kalau hari ini Pancasila yang menjadi “pemenang” dalam kontestasi ideologis anak-anak didikan Tjokro, karena bisa jadi Pancasila itulah yang relevan tidak saja dengan alam pikiran khalayak tapi juga dengan manusia Indonesia yang heterogen. Pancasila yang memberi kemungkinan setiap manusia Indonesia dapat memasuki  pengalaman  kemajemukan yang menjadi fakta sosial kesehariannya dengan tenang.

Pancasila sebagai  hasil pergumulan seluruh gagasan manusia pergerakan dengan segala dinamikanya. Pancasila –meminjam Yudi Latif– tidak hanya “titik temu” dari semua agama, faham politik dan ideologi yang bersilangan namun juga titik tumpu dan titik tuju. Di luar Pancasila adalah bidah. Sebidah-bidahnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top