Bunyi “template” kalimat ucapan hari raya Idul Adha yang berisikan pesan-pesan keteladanan Nabi Ibrahim, terdengar luhur namun abstrak. Baru terasa konkret dan menghentak serta menohok kesadaran, jika kita taruh dalam konteks riil-faktual. Misal menuturkannya dalam konteks sebuah kisah konkret (yang hendak saya kutip) berikut ini, yang belum jauh dari masa kita hidup sekarang.
Kisah ini saya kutip dari buku Kanan Kiri Arief Budiman (KKAB) yang baru-baru ini terbit dalam rangka mengenang kisah hidup dan warisan pemikiran beliau. Untuk mengenangnya, selain buku, juga sudah digagas pembuatan film, dengan pesan penting yang hendak disampaikan: “Seorang Arief yang lahir sebagai Tionghoa pun berani tampil melawan ketidakadilan yang dilakukan negara.” (KKAB, hal. 265).
Sebagai intelektual publik, almarhum Arief Budiman (kakak dari mendiang Soe Hok Gie, penulis Catatan Seorang Demonstran, yang meninggal dalam usia masih muda di Gunung Semeru itu) dikenal sebagai sosok yang kritis atas ketidakberesan-ketidakberesan dari fakta sosial-politik yang disaksikannya. Kritik yang acapkali ia lontarkan itu dikemas dengan bahasa dan juga tindakan yang anekdotal, kadang sarkastik, atau dengan cara menunjukkan aspek ironi dari sebuah peristiwa.
Namun demikian, di masa mudanya, Arief Budiman justru kurang tertarik dengan segala yang berkaitan dengan dunia politik praktis, termasuk melakukan kritik atas pemerintah. Arief lebih tertarik menulis cerpen atau puisi. Pilihan sikap ini rupanya berakar pada prinsip atau keyakinan yang ia pegangi, bahwa gerakan moral jauh lebih penting daripada gerakan politik praktis. Gerakan moral melalui karya sastra adalah membangun peradaban kemanusiaan. Ini berbeda dengan adiknya, Soe Hok Gie. Gie sejak muda sudah menampakkan antusiasme yang meluap-luap untuk melancarkan kritik atas dinamika dalam dunia politik praktis (KKAB, hal. 267).
Selain kisah anekdotal utama yang ingin saya tunjukkan di bagian berikut dari catatan ini, ada tindakan lucu lain dari Arief Budiman (bernama asli Soe Hok Djin; nama Arief Budiman adalah pemberian dari istrinya, Leila Ch. Budiman, dan kawan-kawannya).
Arief dinilai sebagai “musuh” rezim sehingga mendapat pengawasan khusus aparat negara dan pernah mengalami ancaman teror. Namun ia tidak ragu untuk menghadiahi salah seorang perwira menengah polisi yang mendapat tugas mengawasinya, sebuah buku berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” karya Pramoedya Ananta Toer yang baru terbit waktu itu; sambil berpesan dengan bercanda: Tolong saya jangan ditangkap ya pak.
Arief berharap buku tersebut dibaca sehingga tersentuhlah rasa kemanusiaan polisi tersebut. Dalam perspektif Arief, polisi tersebut mengawasi karena mendapat tugas, bukan atas kemauan atau pilihan sendiri; sisi kemanusiaan pak polisi tadi masih bisa serta perlu disentuh (KKAB, hal. 260).
***
Kembali ke kisah anekdotal utama yang ingin saya kutip dalam catatan ini. Tapi sebelumnya, harus diberikan keterangan penjelas tentang konteks kemunculannya. Sebab tidak hanya sastra saja yang perlu kontekstual. Joke juga perlu konteks: cerita ini terasa lucu dan anekdotal bila didengar di masa Orde Baru dulu (dikisahkan oleh Arief Budiman pada paruh pertama dekade 1990-an).
Arief Budiman menengarai ada tiga sifat orang Indonesia yang tak bisa bertemu secara serempak ketiga-tiganya sekaligus, yaitu: jujur, pintar, dan “pro-pemerintah”. Ada salah satu dari ketiganya yang sudah pasti “terkorbankan”. Jika Anda pintar dan “pro-pemerintah”, berarti Anda tak jujur. Jika Anda jujur tapi kok “pro-pemerintah”, berarti Anda tak pintar (tak paham duduk perkara persoalan). Kalau Anda pintar dan jujur, maka kepintaran dan kejujuran akan membawa anda bukan bagian mereka yang “pro-pemerintah” (KKAB, hal. 257).
Joke ini barangkali sekarang sudah tak begitu lucu lagi. Tetapi di masanya, saat rezim Orba sedang serius-seriusnya, saat pertama mendengar joke ini orang akan tergelak, jika tidak malah terbahak.
***
Dalam momentum hari raya Idul Adha, atau hari raya Kurban ini, saat pesan keteladanan pokoknya adalah tentang etos berkorban, pertanyaannya adalah, dari ketiga sifat tersebut, sifat apa yang akan Anda korbankan: kejujuran, kepintaran, ataukah sifat “tamarrud” (keberanian untuk mengatakan tidak pada kezaliman)? Pertanyaan ini akan terus relevan, dulu, sekarang, maupun di masa jauh yang akan datang.
Desakan pertanyaan ini belum ada apa-apanya dibanding “desakan-desakan” yang harus dihadapi oleh Nabi Ibrahim dalam bentang masa hidupnya saat itu.
Selamat Idul Adha 1441 H – 31/7/2020
——-
Note: “pro-pemerintah” saya taruh dalam dua tanda petik, menunjuk konteks sosial-politik pemerintah Orba saat itu, saat mana Arief Budiman getol melontarkan kritik-kritiknya.