Sedang Membaca
Khilafah di Indonesia: Bukan Pilihan Kita
Gaza Satria Lutfi
Penulis Kolom

Saat ini bersekolah di Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Lahir di Klaten, 14 September 2001. Hobi membaca dan berolahraga

Khilafah di Indonesia: Bukan Pilihan Kita

Pengantar: Tulisan ini juara dua dalam sayembara penulisan esai tingkat pelajar.  Juara kedua diraih oleh siswa Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Gaza Satria Lutfi, namanya. Lahir di Klaten, 14 September 2001. Dia berhak mendapatkan hadiah tiga juta rupiah. Tulisan telah kami edit dengan tanpa menghilangkan esensi esai dan gaya bahasa.

Korupsi, kesenjangan sosial, kebejatan politisi, meningkatnya kriminalitas, adalah segelintir “kejahatan bintang 5” yang terjadi di Indonesia. Sebabnya pun bermacam–macam, mulai dekadensi moral, kurang tegasnya penegak hukum, sampai cacatnya sistem hukum dan pemerintahan.

Tingkat korupsi di Indonesia memanglah tak setinggi Somalia, Suriah, atau Afganistan, tapi kita masih sering melihat berita korupsi di wajah surat kabar minimal sepekan sekali. Di Indonesia, mereka –para koruptor– mampu melakukan perbuatan bejatnya tersebut berkali–kali, dan hanya perlu menunggu beberapa tahun sampai mereka mampu memperkaya diri.

Lembaga pemasyarakatan yang dibangun guna mendidik para narapidana agar tidak melakukan perbuatannya lagi, bahkan menjadi istana mewah bagi para koruptor. Lambat laun masyarakat Indonesia  geram dengan apa yang terjadi di negerinya, peristiwa-peristiwa kejahatan bintang lima di Indonesia tersebut laksana deja vu yang menggeroti pikiran dan pikiran kita terus menerus.

Alam pun seakan marah dengan apa yang terjadi di Indonesia, dan menunjukan keganasannya dengan sejumlah bencana dahsyat. Sejak awal Januari hingga September 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat ada 1.999 bencana yang terjadi di Indonesia.

Dengan melihat gambaran di atas, apakah  kita menilai bahwa ada yang salah dengan bangsa ini, ada yang salah dengan hukum ini, ada yang salah dengan pemerintahan ini? Sampai-sampai alam marah dan bencana datang? Lantas kita harus mengganti sistem pemerintahan? Apakah khilafah solusinya? Jika jawabannya iya, maka kita termasuk orang-orang yang dangkal ilmunya.

Baca juga:  Saya, Gus Dur dan Ajarn (Guru) Sulak

Ilmu yang dangkal tidak mampu membaca sejarah bangsa ini, kerumitan dalam membuat hukum, dan apa yang terjadi di balik layar sistem pemerintahan. Diskriminasi terhadap orang-orang yang bersih, pencemaran nama baik, penghianatan, sampai penjebakan terhadap orang yang menolak untuk melakukan korupsi bersama, memang terjadi di Indonesia. Namun, apakah semua itu bisa hilang dengan sistem khilafah?

Tong yang diisi penuh tidak akan pernah nyaring bunyinya. Kekosongan di dalam diri pengusung khilafah itulah yang memunculkan suara-suara nyaring. Bayangkan, ratusan ribu tong yang kosong dibunyikan secara serentak di Monas dalam satu waktu, jangankan bumi, langit-pun akan bergetar karenanya.

Di Balik Alasan Khilafah

Saya sepakat bahwa mereka bersuara bukan tanpa alasan. Cacatnya sistem pemerintahan adalah alasan paling utama. Mereka menuntut untuk mengganti sistem yang berlaku sekarang dengan sistem khilafah yang dulu diterapkan oleh Sang Utusan صلى الله عليه وسلم.Mereka berargumen jika hukum-hukum Islam diterapkan di Indonesia secara kaffah, maka secara ajaib Indonesia akan menjadi negara yang tentram dan damai.

Pada hakikatnya mereka mentuhankan sistem khilafah yang mereka percayai dapat membawa kedamaian. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia telah menyebabkan bencana-bencana itu,  seakan-akan jika sistem khilafah diterapkan maka secara otomatis  mencegah bencana-bencana itu. Padahal, bencana adalah sunnatullah.

Indonesia sekarang sudah tentram dan damai, lalu mengapa harus diubah ke sistem khilafah yang akan menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan terlebih dahulu? Alasannya, mereka ingin menampilkan esensi Islam sebagai pelopor kedamaian di Indonesia, yang mana selama ini (menurut mereka) Islam hanya berperan di baik layar kedamaian Indonesia. Seakan-akan selama ini Islam tidak pernah menjadi pelopor, seakan-akan para ulama dan umat Islam yang mayoritas ini tidak berperan.

Baca juga:  Manuskrip Hikayat Isra’ Mi’raj dan Ulama yang Mengerti Bahasa Hewan

Jikalau sistem khilafah akhirnya diterapkan di Indonesia, sudah barang pasti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak akan utuh seperti sekarang, dan mereka –pengusung  sistem khilafah- tidak akan puas hanya dengan sistem khilafah yang sudah diterapkan di Indonesia sebelum mereka menyebarkan paham khilafah di negara sekitarnya. Selain itu mereka akan berlagak seperti al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang melakukan ekspansi wilayah kekuasaan.

Kontras memang, di satu sisi mereka menginginkan kedamaian melalui sistem khilafah, tapi di sisi lain mereka juga memecah kedamaian tersebut untuk mencapainya. Semua itu dilakukan untuk menunjukan esensi Islam sebagai pelopor kedamaian di Indonesia, yang sebetulnya bisa kita lakukan bersama-sama dalam sistem kita sekarang.

Siapa Pantas Menjadi Pemimpin Khilafah?

Hal lain, jikalau sistem khilafah pada akhirnya diterapkan di Indonesia, pantaskah salah satu dari mereka menggantian sang utusan صلى الله عليه وسلم dalam memimpin negara? Tentu saja tidak, jika melihat bagaimana sikap dan tingkah laku mereka. Sikap dan tingkah laku mereka sangatlah bertolak belakang dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah  صلى الله عليه وسلم

Sistem khilafah mungkin tidak  cacat jika diterapkan di Indonesia, akan tetapi orang-orang yang akan menjalankannyalah yang memiliki kecacatan, yang akan berdampak pada kecacatan sistem khilafah. Sama halnya seperti sistem pemerintahan di Indonesia yang sekarang, letak kecacatan bukanlah pada sistem itu sendiri, tapi letak kecacatan terdapat pada orang-orang yang menjalakannya.

Seideal apapun sistem pemerintahan, jika tidak dijalankan oleh orang-orang yang berkompeten maka akan seperti teknologi mutakhir yang dipakai orang gila, tidak akan bermanfaat. Lalu untuk apa mengubah Indonesia ke sistem khilafah jikalau pada akhirnya hasilnya sama saja, atau malah akan menjadi lebih buruk.

Baca juga:  Mengenang Prof Merle Ricklefs: Membaca Kesimpulan "Islamisation and Its Opponents"

Apabila doktrin-dokrin tentang sistem khilafah di Indonesia terus berlanjut, maka masa depan Indonesia bisa dilihat dari sekarang, dari mulai hilangnya toleransi, diskriminasi agama, peperangan, kerusuhan, kekacauan politik, hilangnya kebudayaan, sampai kemungkinan terburuk terpecahnya NKRI. Itulah masa depan yang akan dialami Indonesia jika doktrin tentang sistem khilafah terus berlanjut di Indonesia.

Orang-orang yang memperjuangkan sistem khilafah seakan tidak peduli dengan sejarah bangsa ini dalam memerdekakan diri. Mereka tidak peduli jutaan orang gugur untuk memperjuangkan NKRI. Mereka tak peduli penderitaan ratusan tahun yang di alami para pejuang bangsa. Mereka juga tak peduli dengan perjuangan  para pahlawan Indonesia yang rela mengorbankan nyawanya.

Yang mereka pedulikan hanya eksistensi dan pengakuan yang tidak ada harganya sama sekali dengan apa yang akan terjadi di Indonesia di masa depan. Dari pada kita sibuk mengurus sistem pemerintahan, lebih baik kita mengurus generasi yang akan menjalankannya. Karena sehebat apapun doktrin kita terhadap generasi penerus tentang sistem khilafah tidak akan meningkatkan kemampuan dan kualitas mereka dalam menjalankan pemerintahan.

Agaknya jawaban dari pertanyaan mengapa kita tidak sepakat dengan khilafah di Indonesia, adalah karena kita tidak perlu mebuang waktu kita untuk mengubah sistem pemerintahan. Lebih baik waktu tersebut kita gunakan untuk meningkatkan kualitas generasi penerus yang akan menjalankan pemerintahan dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Wallahu a’lam bissawab

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top