Mesir tak melulu kisah-kisah puitis di pinggir sungai Nil, Mesir bukan saja arsitektural yang tua dan indah, Mesir tidak hanya al-Azhar yang kharismatik. Tapi Mesir juga adalah kisah kegetiran, pemberontakan, kerakusan penguasa, kengerian penjara. Adalah Sayyid Qutb yang pernah merasakan itu semua.
Sebesar apa pun ketidaksetujuan Sayyid Qutb atas kekuasaan imperium Barat, target pertamanya selalu rezim otoriter di dunia Arab, dan pemerintah Gamal Abdul Nasser pada khususnya. Dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Alquran perihal “Orang-orang yang membuat Parit (Ashhabul Ukhdud)”, Qutb menarik alegori siluman tentang perjuangan Ikhwanul Muslimin dan Perwira Pembebas.
Dalam kisah Alquran itu, sekelompok “kaum beriman” disiksa karena imannya dan dilalak hidup-hidup oleh tiran yang berkumpul untuk menyaksikan kematian korban mereka yang beriman.
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit,” begitulah wahyu di dalam Alquran (85: 1-16). Sayed Khatab dalam bukunya, The Power of Sovereignity The Political And Ideological Philosophy of Sayyid Qutb (2006) mendedahkan bahwa para penzalim, dalam tafsir Qutb–“orang-orang yang sombong, degil, jahat, dan rusak”–menikmati kesenangan biadab dalam menyaksikan rasa sakit para syuhada.
“Dan tatkala beberapa pemuda atau gadis, anak-anak atau kamitua dari Kaum Beriman ini dilemparkan ke api,” tulis Qutb, “kesenangan jahat mereka akan mencapai ketinggian baru, dan teriakan sukacita liar akan keluar dari bibir mereka, saat melihat darah dan potongan daging”–fragmen yang mencabarkan itu tidak ditemukan dalam Alquran, tetapi mungkin terinspirasi oleh pengalaman Qutb dan rekan-rekannya di Ikhwanul Muslimin saat menghadapi penyiksaan di bui.
“Perjuangan antara Kaum Beriman dan musuh-musuh mereka,” pungkasnya, pada dasarnya adalah “perjuangan antara keyakinan–kafir atau beriman, jahiliah atau Islam”. Pesan Qutb terang, bahwa pemerintah Mesir tak sesuai dengan visinya Ikhwanul Muslimin; negara Islam. Salah satu harus menyingkir.
Qutb dibebaskan dari penjara pada 1964 bersamaan dengan penerbitan buku Ma’alim fi al-Tariq (Milestones). Reputasinya semakin harum dengan tulisan yang dibuatnya di penjara. Dia dengan cepat melanjutkan hubungan dengan rekan-rekannya dari Ikhwanul Muslimin yang sudah dilarang. Akan tetapi, Qutb pasti sudah tahu bahwa setiap gerakannya akan diikuti oleh polisi rahasia Nasser.
Penulis Islamis (pro-Islam, dalam artian politik kekuasaan) ini telah semakin masyhur di seluruh dunia muslim berkat pikiran barunya yang radikal dan akan menjadi bahaya besar bagi negara Mesir, baik di dalam maupun luar negeri.
Zainab al-Ghazali
Menurut John Calvert dalam karyanya, Sayyid Qutb and the Origins of Radikal Islamism (2013), para pengikut Qutb pun menghadapi pengawasan yang sama dan penuh risiko, sebagaimana halnya dengan sang pembaru itu sendiri.
Salah satu murid Qutb yang paling berpengaruh adalah perempuan Zainab al-Ghazali (1917-2005), pelopor gerakan kaum perempuan Islam. Saat berusia 20 tahun, Zainab mendirikan Perkumpulan Muslimah. Pergerakannya menarik perhatian Hasan al-Bana, pendiri Ikhwanul Muslimin yang baru saja dibentuk. Walaupun kedua gerakan ini melaksanakan program yang terpisah, Zainab menjadi pengikut loyal Hasan al-Banna.
Pada 1950, Zainab bertemu dengan saudara perempuan Sayyid Qutb yang sedang menjalani hukuman penjara. Ia memberikan draf bab-bab Ma’alim fi al-Tariq kepada Zainab, sebelum naskah itu diterbitkan.
Tersempena hati oleh apa yang dibacanya, Zainab mengabdikan diri pada peran garda depan yang diimpikan oleh manifesto Qutb–mempersiapkan masyarakat Mesir untuk menerima hukum Islam.
Sama seperti Nabi Muhammad saw yang menghabiskan waktu 13 tahun di Mekkah, sebelum berimigrasi ke Madinah untuk mendirikan komunitas pertama Islam, para pengikut Qutb menunggu waktu tiga belas tahun untuk mengubah masyarakat Mesir secara keseluruhan menjadi masyarakat Islam madani.
“Telah diputuskan,” tulisnya, “bahwa setelah 13 tahun pelatihan Islam atas kaum muda, kamitua, perempuan, dan anak-anak, kita akan membuat survei yang komprehensif ke seluruh penjuru negeri. Jika survei mengungkapkan bahwa setidaknya 75% pengikut percaya bahwa Islam adalah cara hidup yang lengkap dan yakin untuk mendirikan negara Islam, kita akan menyerukan pembentukan negara itu.”
Jika hasil jajak pendapat menunjukkan tingkat dukungan yang lebih rendah, Zainab dan kawan-kawannya akan bekerja sama selama 13 tahun lagi untuk mencoba mengubah kondisi masyarakat Mesir. Dalam jangka panjang, tujuan mereka adalah penggulingan rezim Perwira Pembebas dan menggantikannya dengan negara Islam sejati. Sementara Nasser dan pemerintahannya bertekad untuk menghilangkan ancaman gerakan Islamis ini sebelum mendapatkan dukungan luas.
Pihak berwenang Mesir mengeluarkan Sayyid Qutb dari hotel prodeo setelah dihukum selama satu dasawarsa. Zainab al-Ghazali dan pendukung Qutb yang lain merayakan pembebasan pimpinan mereka dan sering bertemu dengannya, di bawah pengawasan ketat polisi Mesir. Banyak yang percaya bahwa Qutb hanya dibebaskan untuk menuntut pihak berwajib mendekati kelompok Islamis yang berpikiran sama dengannya.
Pada Agustus 1965, setelah menikmati kebebasan hanya delapan bulan, Qutb ditangkap lagi, bersama dengan Zainab dan semua rekannya. Mereka dituntut dengan persekongkolan membunuh Presiden Nasser dan penggulingan Mesir. Meskipun tujuan jangka panjang mereka pastinya menggantikan pemerintah Mesir dengan sistem Islam, para terdakwa bersikeras mereka tidak bersalah untuk semua rencana rajapati presiden.
Zainab menghabiskan enam tahun berikutnya di dalam penjara, kemudian menuliskan sebuah kisah perihal cobaan yang dirasainya, menangkap kengerian penyiksaan yang dialami kelompok Islamis, baik laki-laki maupun perempuan, yang dilakukan oleh negara pro-Nasser. Ia dihadapkan dengan kekerasan sejak hari pertama di penjara:
“Aku hampir tak bisa memercayai mataku dan tidak ingin menerima kebiadaban itu, aku menyaksikan dengan membisu, saat anggota Ikhwan [yaitu Ikhwanul Muslimin] digantung dari atas dan tubuh bugil mereka dicambuk berkali-kali. Beberapa dibiarkan menghadapi belas kasihan anjing liar yang mengoyak tubuh mereka. Sementara yang lain, dengan wajah menghadap ke dinding, menunggu giliran.”
Zainab pun tidak luput dari kebengisan ini; ia menghadapi cambukan, pemukulan, serangan anjing, pengucilan, kurang tidur, dan ancaman kematian, semua dalam upaya sia-sia untuk memperoleh pernyataan yang melibatkan Qutb dan para pemimpin Ikhwanul Muslimin lainnya dalam dugaan konspirasi.
Tatkala dua perempuan muda yang baru ditangkap diperintahkan berbagi sel dengan Zainab, setelah menderita penyiksaan selama 18 hari, ia tak bisa menyampaikan kengerian yang dialaminya dalam kata-katanya sendiri, tetapi membacakan ayat Alquran tentang Ashhabul Ukhdud kepada kedua temannya itu.
Setelah mendengar ayat-ayat ini, salah satu perempuan itu menangis tanpa suara; yang lain bertanya, dengan tidak percaya, “Apakah semua ini benar-benar terjadi pada tahanan perempuan?”
Pengadilan atas Sayyid Qutb dan para pengikutnya dibuka pada April 1966. Secara keseluruhan, 43 aktivis Islamis–Qutb dan Zainab di antaranya–secara resmi didakwa bersekongkol melawan Pemerintah Mesir. Jaksa menggunakan tulisan Qutb sebagai alat bukti, lalu menuduhnya mempropagandakan kekerasan untuk menggulingkan pemerintah Mesir.
Agustus 1966, Qutb dan dua tersangka lainnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Zainab al-Ghazali diberi hukuman kerja paksa selama 25 tahun.
Arkian, dengan menghukum mati Qutb, penguasa Mesir tidak hanya menjadikannya sebagai syuhada kelompok Islamis, tetapi menegaskan banyak kebenaran di dalam tulisan Qutb, yang menjadi semakin berpengaruh pasca kematiannya tinimbang saat dirinya masih hidup. Tafsirnya tentang Alquran dan Ma’alim fi al-Tariq, esainya untuk aksi politik, dicetak ulang dan didistribusikan ke seluruh dunia Islam.
Sebuah generasi baru, yang menginjak usia dewasa pada 1960-an dan 1970-an, terbakar oleh pesan Qutb ihwal regenerasi dan keadilan Islam. Anggotanya mengabdikan diri untuk mencapai agenda Qutb, dengan segala cara, baik cara damai maupun kekerasan. Cara kekerasan itulah yang memunculkan tanya, “Apakah para penerus Qutb menjalani agendanya murni karena keislaman atau sudah bercampur dendam?”