Sedang Membaca
Sejarah Arsitektur Kubah, dari Gereja hingga Masjid
Maria Fauzi
Penulis Kolom

Alumni Al Azhar Cairo, CRCS UGM. Tinggal di Jogjakarta

Sejarah Arsitektur Kubah, dari Gereja hingga Masjid

Dalam tradisi Islam, biasanya, selain menara, elemen arsitektur masjid yang kerap kali digunakan adalah kubah. Kubah seakan menjadi ciri khas sebuah masjid. Tak hanya di kota-kota besar, bahkan tak jauh dari kampung saya baru-baru ini dibangun masjid yang tak begitu besar, namun yang menjadi perhatian saya adalah penggunaan kubah semi bulat yang cukup megah. Seperti hendak meniru kubah masjid Sulaimaniye yang ada di Istanbul.

Di beberapa negara mayoritas muslim, dan yang mempunyai akar sejarah perkembangan tradisi seni dan arsitektur Islam yang cukup panjang, seperti Kairo, Isfahan, Samarkand, Damaskus, Cordoba dan Istanbul misalnya, keberadaan kubah tak melulu berkaitan dengan masjid.

Kubah dapat dengan mudah ditemukan dalam bangunan sejarah lain seperti istana raja, maktab, khanqah, wikalah, madrasah, rumah sakit, sabil kuttab, zawiyah, bahkan untuk sebuah makam. Tak sembarang makam tentunya. Kubah menjadi salah satu penanda bahwa makam tersebut merupakan makam baik para petinggi negara, wali, ulama, atau  para elit yang punya pengaruh luas di zamannya.

Di sisi lain, elemen arsitektur kubah juga erat kaitannya dengan gereja atau katedral. Hal ini tentu saja banyak dijumpai di belahan bumi utara, tepatnya di Eropa.

Misalnya saja, Pantheon di Roma, St. Peter di Vatikan, Berliner Dome di Berlin, Sacre Coer di Prancis, St. Mark Basilika di Venesia, Katedral Florensia, Mezquita di Cordoba, dan masih banyak lagi. Bentuk kubahnya juga bermacam-macam sesuai perkembangan, teknik dan material bangunan yang booming saat itu.

Penggunaan kubah, baik di dalam masjid maupun gereja tentu saja tidak sekedar menjadi pemanis belaka. Lebih dari itu, ia mempunyai dimensi spiritualitas yang hampir sama, yang dipahami kedua tradisi tersebut. Bagi keduanya, kubah dianggap sebagai metafora visual akan perjalanan spiritual seseorang kepada Tuhannya.

Misalkan saja, lingkaran pada struktur bangunan kubah digambarkan sebagai sesuatu yang kekal, dan abadi. Lingkaran tak berawal dan berakhir, ia wujud dari sesuatu yang sempurna.

Baca juga:  Shah Cheragh dan Masjid yang Berkilau

Kubah juga kerap diartikan sebagai surga. Persegi atau octagon, sebagai dasar bangunan dimaknai sebagai bumi. Sedangkan bagian yang menghubungkan lingkaran dan persegi diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan alam Tuhan.

Untuk itu lazim adanya bahwa kubah-kubah tersebut, pada masa awal perkembangannya, di bangun di dalam sebuah sacred space, atau ruang-ruang ibadah.

Kubah bisa berada di gereja, masjid, atau temple, tempat peribadatan masyarakat pagan jauh sebelum datangnya agama Kristen dan Islam.

***

Perjalanan sejarah kubah bisa dikatakan cukup panjang, melewati berbagai peradaban gemilang dalam sejarah manusia. Persia, menjadi pelopor utama struktur bangunan ini. Dari Persia, ia kemudian bertransformasi dan diadaptasi oleh Greco-Roman, Byzantium, hingga Islam.

Dalam sejarah Islam, arsitek kenamaan Usmani, Mimar Sinan (1488-1588), termasuk yang paling populer dan dianggap brilian dalam mengembangkan seni pembuatan kubah, termasuk teknik dan dekorasinya. Berbagai corak bentuk kubah yang populer sebelumnya, kemudian disempurnakan dan terus mengalami perkembangan hingga mencapai sebuah kematangan. Tak ayal, perkembangan pesat seni kubah di dunia Muslim saat itu telah menginspirasi katedral-katedral besar di Eropa.

Jauh sebelumnya, Katedral Hagia Sophia (537 M), sebagai puncak kebesaran arsitektur Byzantium di Konstantinopel telah banyak menginspirasi Sinan, dan seni arsitektur lainnya di dalam tradisi Islam. Bentuk kubah di Hagia Sophia mengadopsi unsur Persia (Iran, dan Armenia), yaitu berupa kubah melingkar diatas dasar berbentuk persegi.

Tahun 1542 M, oleh Sultan Mehmed II, katedral ini dialihfungsikan menjadi sebuah masjid tanpa sedikitpun menghancurkan struktur bangunan utama. Hanya menutupi beberapa mozaik dan gambar berbentuk manusia dengan lapisan lain, dan menggantinya dengan kaligrafi Kufic bertuliskan Allah, Muhammad dan keempat sahabat nabi. Mengapa?

Karena struktur bangunan gereja dianggap mempunyai makna dan hakekat yang sama, dan sekaligus tidak bertentangan dalam ajaran Islam, maka pengalihfungsian tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang signifikan.

Pengalihan fungsi dari gereja ke masjid tidak hanya terjadi di Hagia Sophia. Masjid Qarawiyin, yang terletak di Fes juga dibangun diatas bekas gereja. Begitu juga, The Great Mosque of Damascus, dibangun diatas puing-puing yang sebelumnya merupakan basilica. Dan juga, Mezquita di Cordoba.

Baca juga:  Masjid Kebon Jeruk, Tempat Singgah Para Pendakwah

Yang menarik, tentu saja bagaimana gereja-gereja tersebut sepenuhnya diadopsi menjadi masjid, tanpa merusak dan menghancurkan. Jika saja dianggap tidak sesuai dengan hakekat ajaran Islam, sudah barang tentu bangunan gereja tersebut akan dihancurkan terlebih dahulu.

Abad ke 15 sampai 16 Masehi, Mimar Sinan kemudian membangun maha karya populer yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Turki, yaitu masjid Sulaimaniye di Istanbul (1550-1558). Mengadopsi gaya arsitektur gereja Hagia Sophia, termasuk struktur kubah semi lingkaran diatas dasar persegi yang menjadi unsur paling menonjol di masjid ini, nama Sinan kian berkibar.

Arsitektur bercorak Usmani, yang identik dengan menara pensil dan juga kubah-kubah gigantis, kian menjamur seluas wilayah kekuasaannya bahkan sampai ke Hungaria. Puncak kegemilangan seni dan arsitektur di dunia Islam, turut menginspirasi beberapa karya monumental lainnya yang tersebar dari Italia, hingga ke London.

***

Filippo Brunelleschi, arsitek dan juga desainer kenamaan Italia pada masa Renaissance (1377-1446), adalah salah satu diantaranya yang terinspirasi atas bangunan dan teknik baru pembuatan kubah dari Timur.

Kubah di gereja Santa Maria del Fiore, atau dikenal dengan Katedral Florensia, merupakan masterpiece Brunelleschi. Tidak hanya karena ukurannya yang melebihi kubah di Pantheon Roma, lebih dari itu, Brunellecshi mampu menghadirkan dan mengenalkan teknik baru yang diadopsi, salah satunya dari Istanbul.

Bagaimana kubah dengan ukuran sangat besar mampu menahan beratnya sendiri tanpa merobohkan struktur bangunan dibawahnya? Dan, bagaimana mendukung kubah yang sangat tinggi sehingga tidah runtuh sebelum selesai dibangun?

Perjalanan Brunelleschi ke Pantheon di Roma, untuk mempelajari teknik pembuatan kubah tak membuahkan hasil, hingga ketika kakinya menjejaki wilayah Usmani.

Dunia Timur mengenalkan teknik kerangka ganda dalam pembuatan kubah. Kerangka interior menggunakan material yang lebih ringan, sedangkan untuk kerangka luar menggunakan material yang lebih berat. Teknik ini tidak hanya meringankan beban, namun juga memungkinkan setiap kerangka menyesuaikan secara proporsional antara masing-masing kerangka dalam dan dalam.

Baca juga:  Fatima, Saintis Muslimah dari Madrid

Selain itu, ia juga mengadopsi teknik Herringbone dalam penyusunan batu bata, dan juga teknik ribbing, yang juga digunakan di Mezquita Cordoba dan sangat populer pada masa dinasti Mamluk di Mesir. Ribbing berfungsi untuk menekankan penggunaan geometri dalam struktur bangunan kubah.

Beberapa tehnik inilah yang digunakan Brunelleschi untuk membuat Katedral Florensia, yang pada perkembangan-nya diadopsi oleh Michael Angelo (1475-1564) untuk membuat kubah megah di St. Peter basilica di Roma, dan juga Katedral St. Paul di London oleh Sir Christopher Wren.

***

Kesamaan beberapa unsur bangunan sekaligus fungsi spiritualitas kubah, seakan membawa pesan atas sebuah common understanding dari kedua tradisi Kristen dan Islam. Persamaan tersebut mengajak kita untuk berkontemplasi lebih jauh melampaui dimensi visual, tentang hakekat dan tujuan utama yaitu untuk mendekatkan kita kepada Tuhan, dan juga sebagai upaya mewujudkan manifestasi Tuhan yang transenden dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, juga untuk membangkitkan pemahaman akan rasa kemanusiaan yang sama, bahwa Islam dan Kristen juga memiliki kepercayaan yang sama sebagai agama keturunan Ibrahim.

Dan, tradisi kita tak lepas dari keterpengaruhan peradaban terdahulu seperti Greco Roman, Byzantium, Persia dll. Saling memengaruhi, saling silang budaya, akan menjadi kekuatan tersendiri guna menciptakan dialog kebudayaan yang akan memperkaya perspektif sejarah dan materi lainnya terkait hubungan kedua agama Kristen dan Islam.

Jika dewasa ini, hubungan antar umat beragama, menjadi renggang akibat perpecahan ideologi, politik dsb, maka dialog budaya yang konstruktif dari perspektif seni dan arsitektur diharapkan mampu menawarkan opsi positif lainnya yang lebih baik untuk terciptanya mutual understanding and harmony.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (4)
  • Secara etimologi kata kubah (dome) tertua adalah dari bhs Yunani “cupola” artinya rumah tuhan atau rumah para dewa tepatnya sesuai paganisme yg dianut bangsa Yunani.

    Yunani dikalahkan okeh Romawi. Bangsa Romawi meniru menerapkan kubah pd bbrapa bangunan kuil, istana kaisar dan bangunan besar lainya.

    Bangsa Romawi berhasil menguasai separuh dunia, dimana setiap jajahanya didirikan bangunan berkubah.

    Juga ketika menguasai Jerusalem sehingga menarik bangsa Yahudi untuk membuat synagog dengan atap kubah.

    Pada masa agama Kristen berkembang di Jerusalem gereja pun mengadopsi atap kubah.
    Hingga ketika Islam menang Perang Salib I dan menguasai Jerusalem, bangunan masjid turut mengadopsi kubah.

    Dari Jerusalem arsitektur kubah menyebar ke Timur Tengah dan Asia.

    Masjid berkubah pertama du Indonesia adalab Masjid Baiturrahman di Banda Aceh karya Arsitek. Belanda.

Komentari

Scroll To Top