Kota kecil Mashhad Ardahel, kabupaten Kashan, sudah akrab di telinga saya sejak tujuh tahun lalu. Tepatnya tanggal 8 Desember 2012, ketika berbagai media lokal memberitakan upacara unik “Ghali Shuyan” yang saat itu baru tercatat sebagai warisan budaya tak benda UNESCO. Ghali Shuyan?
Ghali Shuyan adalah upacara pencucian karpet massal yang diselenggarakan untuk mengenang kematian seorang tokoh ulama yang sangat dicintai rakyatnya.
Setiap Jumat kedua di awal musim gugur atau sekitar bulan Oktober, masyarakat dari kota-kota yang berdekatan tumpah ruah ke Mashhad Ardahel untuk mengikuti upacara pencucian karpet.
Sayangnya, saya datang di awal musim semi. Tak terlihat kesibukan sama sekali, bahkan kota ini terkesan senyap. Saya hanya mampu membayangkan kepadatan masyarakat di tepi-tepi jalan kecil, menyambut iring-iringan pembawa karpet.
Tradisi Ghali Shuyan atau pencucian karpet ini sudah ada sejak 1200 tahun lalu, yaitu abad kedelapan Masehi atau kedua Hijriah. Saat itu Sultan Ali diundang dari Madinah oleh pemuka masyarakat Mashhad Ardahel untuk mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat.
Ia adalah salah seorang cicit Rasul generasi keempat, putra dari Muhammad Bagir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain putra Fatimah binti Muhammad Rasulullah.
Masyarakat setempat mencintai Sultan Ali bukan hanya karena nasabnya, tetapi ia dikenal memiliki kedalaman ilmu dan ketinggian akhlak. Ia juga sering membantu berbagai kesulitan warga. Lambat laun pengaruh Sultan Ali di Mashhad Ardehal semakin kuat.
Penguasa saat itu yang merasa terancam dengan kharismatik sang ulama, berencana menangkap dan membunuhnya. Saat warga mengetahui kabar tersebut, mereka berdatangan dari berbagai tempat untuk membantu Sultan Ali dengan membawa tongkat kayu. Sayangnya, mereka terlambat. Sang Alim telah terbunuh.
Dengan penyesalan yang amat mendalam, mereka membawa jenazah Sultan Ali ke dalam gulungan karpet untuk dimandikan dan disalatkan. Dalam tradisi masyarakat Iran klasik, terutama Kashan, karpet merupakan simbol kepemilikan yang paling berharga. Ketika masyarakat mengusung jenazah Sultan Ali ke dalam gulungan karpet, mereka seolah merelakan benda kesayangan untuk orang yang paling dicintainya.
Sampai sekarang, untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut, setiap tahun masyarakat berkumpul dan mencuci kembali karpet yang saat itu digunakan dalam pemakaman Sultan Ali.
Mereka membawa tongkat kayu yang dipukulkan pada karpet sebagai simbol perlawanan terhadap aksi kekerasan yang menimpa Sultan Ali. Iring-iringan lautan manusia itu memasuki kompleks pemakaman Mashhad Ardehal, tempat Sultan Ali dikebumikan.
Di sinilah sekarang saya berdiri, di sebuah kompleks masjid dengan pelataran yang cukup luas. Mashhad Ardahel terletak di kecamatan Neyasar, kabupaten Kashan yang berada di Provinsi Isfahan. Jarak daerah ini dari Teheran sekitar 258 kilometer.
Kota kecil ini dikelilingi gugusan gunung-gunung yang menghadiahkan udara segar. Desiran kuat angin musim semi menggerakkan awan-awan ke atas pegunungan yang masih dilapisi sisa-sisa salju. Pemandangan terlihat semakin indah dengan latar langit yang begitu biru.
Para peziarah datang dari berbagai tempat untuk napak tilas. Di gerbang masuk, seorang penjaga membagikan kain penutup panjang bermotif bunga kepada pengunjung perempuan. Biasanya kain semacam ini harus dipakai di tempat-tempat yang dianggap suci, seperti kompleks pemakaman atau masjid.
Dengan sedikit kerepotan, saya memegang kuat dua tepi kain agar tidak lepas. Jadi teringat saat memasuki gerbang candi Borobudur, para penjaga juga membagikan kain sarung khusus untuk para turis.
Makam inti Sultan Ali tidak terlihat karena dipagari kaca dan ornamen dari besi atau biasa disebut zarih. Bersama para peziarah lain, saya memasuki ruangan dalam.
Setelah salat tahiyyatul masjid dan membaca doa ziarah yang disediakan di beberapa sudut ruangan, para peziarah terlihat mendekati ruangan zarih. Mereka memegang zarih sebagai tanda penghormatan. Dari kejauhan, saya sempat mengabadikan peristiwa sakral ini.
Di tengah keheningan orang-orang yang sedang berdoa, saya teringat cerita salah seorang penjaga. “Jika Anda datang saat upacara pencucian karpet, mungkin Anda akan kesulitan mencari tempat duduk di area dalam. Ribuan masyarakat akan tumpah ruah di sini,” jelasnya dengan penuh antusias.
Dari sudut ruangan ini, saya mengenang kembali foto para lelaki yang membawa tongkat kayu di hari haul Sultan Ali sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang menimpa maula mereka.
Sejarah memang harus dikenang, bukan untuk merawat dendam. Sejarah memberi kita pelajaran, betapa besar kecintaan masyarakat setempat pada sang alim. Padahal peristiwa itu sudah terjadi lebih dari seribu tahun lalu.
Suatu hari, saya ingin kembali ke tempat ini, menyaksikan langsung upacara “Ghali Shuyan” dan merekam pertalian cinta yang terawat indah.
Terima kasih atas kisah indahnya.