Avatar
Penulis Kolom

Pernah menempuh pendidikan di salah sebuah pondok pesantren di Pemalang.

Salat Lebih Baik daripada Allah

Alangkah indah jika kita sebagai khalifah di bumi tidak saling menyalahkan perilaku, cara berpakaian, adat, dan kepercayaan orang lain. Kebanyakan kita terlalu disibukkan dengan menyalahkan itu semua secara sepihak, karena terlalu mendewakan junjungannya, gurunya, maupun kiainya.

Menganggap setiap titah yang dikatakan mursyidnya sebagai kebenaran mutlak, tanpa menimbang, menggelar, menggulung, bahkan mengejawantahkannya terlebih dahulu. Menganggap setiap perilaku yang tak dicontohkan oleh mursyidnya adalah sebuah kekeliruan.

Kita terlalu disibukkan dengan benar dan salah, hak dan batil. Laiknya anak kecil yang dilenakan dengan permen dan makanan yang bergizi, kekeliruan yang begitu fenomenal adalah menjadikan apa pun yang seolah-olah benar bagi kita sebagai kebenaran universal, dan setiap individu harus sesuai dengan yang kita anggap benar itu.

Kita lupa bahwa hak prerogatif tentang kebenaran hanyalah milik Sang Mahabenar. Bukankah Tuhan tak senang jika kita memakai jubah-Nya? Laiknya kesombongan hanyalah milik Tuhan, jika kita sombong atau takabur, sama saja  kita tengah memakai jubah kebesaran-Nya. Kebenaran pun sama adanya. Jika kita mengultus seorang tokoh maupun mursyid dan beranggapan bahwa apa pun yang tak sesuai dengan perilaku tokoh yang kita ikuti adalah suatu kesalahan atau pun kesesatan bahkan bidah, bukannya kita tengah memakaikan jubah Tuhan pada mursyid kita.

Fenomena cadar syar’i maupun blangkon, atau pun kerudung Nusantara, semua benar pada porsinya masing-masing, selagi tidak menyalahkan yang liyan. Kekeliruan terletak pada pengultusan bahwa yang tak berkerudung Nusantara adalah salah, yang tak berhijab syar’i adalah sesat, bahkan yang memakai blangkon dianggap laknat.

Benar salahnya sesuatu itu hanya bisa dinilai dari hasilnya, bukan subjeknya, melainkan hasil yang didapat dari  (Subjek+Predikat+Objek = benar/salah). Itu pun bukan kebenaran atau kesalahan mutlak. Ilmu “mbuh” adalah ilmu yang sering kali saya terapkan jika saya mengalami kebuntuan ketika dihadapkan dengan hal-hal yang seolah-olah benar maupun salah.

Baca juga:  Beratnya Jadi Imam Jumat (Beberapa Pengalaman Teman)

Sebagai contoh, saya pernah mendengar adzan subuh di salah satu masjid di ujung Pemalang, ketika sedang mengerjakan kaligrafi di situ. Sang muadzin salah melafalkan bacaan adzan yang seharusnya “Assholatu khoiru minan naum” menjadi “Assholatu khoirum minaallah.”

Saya begitu terkejut mendengarnya. Sekilas ini adalah kesalahan mutlak. Namun kembali saya gelar, gulung, dan saya coba mengejawantahkannya lagi. Sang muadzin tersebut seorang pria renta yang telah mendekati senja. Maka saya berspekulasi jika saya menegurnya, mungkin ia bisa memperbaiki dan menerima atau mungkin sebaliknya, ia akan malu dan tak mau lagi menjadi muadzin di masjid itu, bahkan mungkin ia tak akan mau lagi datang ke masjid karena merasa bersalah atau malu, sementara ia telah menjadi muadzin di masjid tersebut selama bertahun-tahun lamanya.

Kembali saya gelar, gulung, dan berspekulasi pikir lagi, mungkin yang di maksudkannya “Assholatu khoirum minallah” bukan “sholat itu lebih baik daripada Allah” melainkan “Sholat itu datangnya dari Allah.” Kalau dalam ilmu gramatika Arab yang dulu pernah saya pelajari, memang, (min) itu dapat bermakna membandingkan beberapa hal atau bisa juga (min) bermakna dari.

Pada kebuntuan itu akhirnya kembali saya pakai ilmu mbuh. Setidaknya saya tak begitu mengultusnya, dengan menyalahkan secara sepihak. Mungkin bagi kita sang muadzin tadi terlihat salah, belum tentu jika di mata Tuhannya. Toh, Tuhan kita dengan sang muadzin tadi pun belum tentu sama walau pun kita sama-sama menganggap bahwa tuhan Allah itu Satu, namun jalan untuk menuju-Nya belum tentu sama. Ingat, selain tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Dia pun Maha Menyesatkan.

Jadi marilah kita bersama-sama mencari kebenaran. Satu hal yang pasti, Tuhan menjadikan kita khalifah fill ardi itu untuk  iqra’ belajar atau pun membaca, bukannya ahdi mengaku-ngaku benar, mencari pembenaran, membenarkan diri, sendiri bahkan memerkosa kebenaran.

Berhentilah mengultus salah satu mursyid, habib, maupun kiai. Mereka pun pasti memiliki kesalahan laiknya manusia biasa. Berhenti pulalah kita menyalahkan saudara-saudari kita yang bercadar, yang memakai blangkon, atau pun yang berkerudung Nusantara. Sampai kapan kita akan bertengkar karena mempertahankan kebenaran kita masing-masing? Sampai kapan kita sibuk menyalahkan orang lain?

Baca juga:  Genosida di India: atas Nama Agama

“Ukur dirimu sebelum kau mengukur orang lain, dan ukirlah kebenaran orang lain sebelum kauukir kebenaranmu sendiri.”

Jakarta, 29 Juni 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top