Kebingungan pemerintah, sejak era Orde Baru hingga kini, ikut memberi ruang bagi diskriminasi terhadap penganut kapitayan. Banyak undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah sama sekali tak menjawab persoalan. Mulai dari UU Pemajuan Kebudayaan, UU Masyarakat Adat, dst., membuktikan bahwa pemerintah telah gagal memahami prinsip autochthony yang sebenarnya telah dirumuskan secara implisit oleh UUD 1945 dengan pemisahan istilah “agama” dan “kepercayaan.”
Berbagai Undang-undang tersebut tak urung menjadikan kalangan penghayat secara khusus menjadi fokus pemerintah, sebab autochthony dalam hal ini lebih dipahami sebagai sesuatu yang identik dengan keraton. Padahal, autochthony—apalagi yang berkaitan dengan kalangan penghayat—sama sekali tak identik dengan keraton. Misalnya penggalian dan perumusan Pancasila serta UUD 1945 yang sama sekali tak berkaitan dengan keraton sebagaimana yang selama ini dimengerti.
Otomatis keraton adalah yang menjadi tolak-ukur berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan warisan-warisan masa silam yang merupakan keaslian bangsa Indonesia. Dengan kata lain, keraton dan berbagai kebudayaan turunannya pada akhirnya yang menjadi fokus pemerintah, sementara aliran-aliran penghayat yang telah diakui dan dijamin oleh konstitusi luput dari perhatian. Dalam hal ini, saya mengatakan bahwa pemerintah telah salah alamat. Sebab, perlakuan tak layak tetap saja diterima oleh para penganut aliran penghayat, baik pada tataran birokratik maupun tataran kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Perlakuan-perlakuan tak layak itu, dari berbagai penelitian saya selama ini, dipicu oleh upaya-upaya gencetan kalangan radikal keagamaan di satu sisi dan kalangan ultra-nasionalis yang secara picik mengartikan autochthony sebagai sebentuk feodalisme yang telah lapuk (Hasrat yang Terkebiri: Radikalisme di Balik RUU HIP, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Layaknya pemerintah pula, kalangan aktivis yang selama ini berupaya mengadvokasi mereka pun justru menjadi sesosok “orangtua” atau “kakak tertua” di mana kalangan penghayat adalah seperti halnya “anak” atau “adiknya” yang tak tahu dan belum mengerti bagaimana mengurus kehidupannya sendiri (Intertonikalitas: Perihal Awal Sekaligus Akhir Musik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Padahal, apa yang diungkapkan kalangan aktivis itu sama sekali tak mencerminkan kalangan penghayat sendiri. Bukannya menolong, kebanyakan kalangan aktivis itu justru “memakan” kalangan penghayat. Pada titik inilah rezim diskursus bekerja, sehingga tampak bukanlah kalangan penghayat yang dibicarakan mereka selama ini, namun tangkapan mereka atas kalangan penghayat.
Taruhlah kasus Sedulur Sikep yang pernah bersitegang dengan kalangan korporasi pada 2012 lalu. Kalangan aktivis justru seperti mencerabut autochthony mereka. Isu yang digelontorkannya pun sama sekali tak menyentuh problem nyata kalangan Sedulur Sikep. Mereka tertelan oleh omong besar HAM, keadilan ekologis, bahkan agama dominan tertentu. Pada situasi seperti ini orang menghadapi apa yang dikenal dalam kajian pascakolonial sebagai problem reprentasi. Logika dan mekanisme pemerintah dan para aktivis layaknya membicarakan kamus dimana istilah-istilahnya tak pernah merujuk pada kenyataan yang benar-benar dialami, namun selalu merujuk pada istilah-istilah lainnya. Mereka menjadi sibuk dengan istilah dan konsep-konsep besar yang mereka adakan sendiri. Persis logika dan mekanisme para politisi yang hanya berpura-pura “baik” ketika memiliki pamrih dan lupa ketika sudah meraih apa yang diinginkan.
Kalangan penghayat, dengan demikian, menyingkapkan problem serius yang menjangkiti negeri ini: abstraksi yang melumat atau memakan problem yang kongkrit dan sering bernuansa keseharian. Oleh karena itu, meskipun rezim berganti, keadaan tetaplah seperti sedia kalanya. Dengan demikian, lewat tulisan ini, saya kira sudah selayaknya politik representasi dan segala omong besar yang tak pernah menyentuh masalah mendasar (grand narratives) dikaji-ulang. Langkah inilah yang sebenarnya diambil oleh berbagai kalangan penghayat sendiri selama ini: menghadapi masalahnya sendirian, memilih “dewasa,” melawan dan bertahan dengan caranya sendiri untuk memenuhi hak beragama dan hak-hak sipil lainnya (“Kawruh (Ekonomi) Beja di Tengah Pagebluk,” dlm. Kepercayaan dan Pandemi: Antologi Esai Penghayat Kepercayaan Menghadapi Covid-19, IRCiSoD, Yogyakarta, 2020).