Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Membaca Nasruddin Hoja, Tokoh Muslim Paling Lucu

Siapa tidak kenal Nasruddin Hoja? Ia sangat masyhrur di kalangan penikmat literatur Islam, tapi tak sedikit pula yang membayangkan bahwa Hoja adalah tokoh fiktif belaka. Mengapa? Karena buku-buku atau kisah-kisah yang sampai di tangan kita, di telinga kita, orang Indonesia, hanyalah kisah lucunya. Oleh sebab itu, namanya tidak dikutip di khatbah Jumat sebagaimana Imam al-Ghazali misalnya.

Nasruddin Hoja bukan tokoh fiktif! Ia ada sebagaimana asy-Syafi’i, al-Ghazali, al-Farabi, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan deretan nama-nama yang kita kita kenal. Kalimah dan petuah Nasruddin Hoja, juga mencerahkan, penuh hikmah dan sarat pelajaran kehidupan, sama seperti kalimah atau kisah al-Ghazali atau Ibrahin bin Adham.

Tak berhenti di situ, Hoja diakui Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Dia dianggap sebagai tokoh yang turut memberikan andil dalam memperkaya khazanah kemanusiaan dunia. Selain dia, tokoh muslim yang namanya tercatat adalah Rumi. Demikian informasi yang saya baca dalam buku Solat Jumat di Hari Kamis: 101 Kisah Jenaka Nasruddin Hoja yang ditulis Muhibin.

Nasruddin Hoja hidup pada akhir abad ke 14 dan awal abad 15. Lahir di desa Khortu, Sivri Hisar, Anatolia Tengah Turki 776 H/1372 M, dan meninggal di kota Ak-Shehir, Propensi Konya 838 H/1432 M, dan dimakamkan pula di sana pula. Nasruddin barmazhab Hanafi. Ini menurut pendapat masyhur.

Cerita tentangnya, pertama ditemukan dalam manuskrip abad ke-15. Dalam manuskrip Ebu ‘l-Khayr-i Rumis Saltuk-name (1480 M), Nasruddin diceritakan sebagai murid sufi Seyyid Mahmud Hayreni di Ak-Shehir, Barat Laut Turki Modern. Kalau memperhatikan tahun hidupnya, Nasruddin hidup di era dinasti Seljuk.

Baca juga:  Cipto Mangunkusumo dan Keengganannya pada Feodalisme

Pemberi Petuah yang Bijak

Pemberi petuah atau nasehat jumlahnya sangat banyak, tapi yang masuk dalam katagori bijak tidaklah banyak. Nasruddin Hoja, salah satunya.

Suatu ketika Nasruddin dipanggil oleh khalifah ke istana. Khalifah meminta masukan kepadanya perihal penegakan hukum dan keadilan di kerajaan tersebut, yang menurut khalifah belum maksimal.

Lantas Nasruddin menyarankan raja, hakim, para pejabat dan rakyat semunya berlatih mengenali kebenaran secara lebih dalam. Menurutnya kebenaran pada sisi yang lebih dalam, hanya memiliki perbedaan tipis dari kebenaran pada permukaan.

Mendengar sarannya, khalifah pun menginginkan contoh. Nasruddin meminta diberi waktu, dan undur diri dari istana, pulang ke rumahnya.

Ada sebuah pemeriksaan yang ketat, jika rakyat umum ingin masuk ke ibu kota kerajaan. Sebelum diizinkan masuk, selain diperiksa barang-barang yang dibawa, terlebih dahulu dicecar pertanyaan oleh penjaga gerbang, terkait tujuan dan keperluan. Jika diketahui berbohong maka akan digantung.

Nasruddin Hoja, saat ia berkehendak masuk ke ibu kota pun ditanyai, apa keperluannya. Ia menjawab, “Aku mau masuk, karena aku mau dihukum gantung.”

Penjaga gerbang tak percaya. Nasruddin lalu menimpali, jika ia terbukti berbohong, Ia mempersilahkan dirinya digantung.

“Kalau aku menggantungmu karena berbohong, bukankah justru aku menjadikan pernyataan awalmu tadi sebagai sebuah kebenaran,” jawab penjaga.

Jawaban penjaga, menurut Nasruddin merupakan jawaban yang tepat. Nasruddin juga menilai bahwa penjaga tersebut—dengan jawabannya—telah bisa mengetahui sisi kebenaran yang lebih dalam, yang sebelumnya ia sampaikan di hadapan khalifah. Ia pun meminta penjaga menyampaikan itu kepada Khalifah (mojok.co).

Baca juga:  Gus Dur, Ki Ageng Suryomentaram, dan Konsep Hidup Bahagia

Cerita di atas adalah salah satu cara bijak Nasruddin dalam memberi petuah. Ia tak terburu-buru, dan menunggu momen yang tepat, agar petuahnya bisa diterima dan dipahami. Metodenya juga terkesan tak menggurui. Ia mengajak berpikir, dan mengajak menemukan dan merasakan kebenaran bersama.

Metode seperti ini mengingatkan penulis kepada sosok Sokrates, filsuf Yunani, guru Plato. Ia tak mendikte murid-muridnya akan kebenaran, namun mengantarkan, dengan cara berdialog. Sokrates hanya bertanya kepada murid-muridnya, apa itu kebenaran, apa itu keadilan dan apa-apa yang lain. Ia adalah lalat pengganggu (Goenawan Mohamad, dalam Caping 2), dan menyebut dirinya hanya bidan yang membantu lahirnya kebenaran (K. Bertens, dalam Sejarah Filsafat Yunani).

Kenapa bukan dengan langsung menunjukkan kebenaran, tapi justru bertanya apa itu kebenaran? Jawabannya mungkin bisa dirujuk ke pernyataan Plato yang dikutip Gus Dur dalam buku Islamku Islam Anda Islam kita, ‘’Pertanyaan adalah separo kebenaran”.

Metode Nasruddin yang tak buru-buru memberi petuah, juga mengingatkan kepada Al-Ghazali di kitab Bidayatul Hidayah, yang menyarankan, dalam memperingatkan kemungkaran dengan cara yang halus dan menasihati pelaku saat ada harapan nasihat tersebut diterima. Bukankah tak jarang, nasihat yang diberikan dengan cara yang tidak tepat (penyampaian maupun timing), selain tidak diterima, justru memicu permusuhan?

Seorang yang Optimis

Nasruddin adalah seorang yang optimis, selalu punya harapan. Pernah suatu ketika ia dipanggil rajanya. Nasruddin diberi hadiah seekor keledai, namun raja meminta Nasruddin mengajari keledai membaca. Jika Nasruddin berhasil, raja akan memberinya hadiah yang besar, jika ia gagal, akan dihukum.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Membayangkan Serdadu Israel

Nasruddin meminta waktu tiga bulan, dan biaya untuk keperluan melatih keledai membaca.

Setelah tiga bulan, Nasruddin kembali ke istana. Raja sudah menyiapkan buku besar. Keledai Nasruddin pun memandang buku tersebut, lalu membuka lembar demi lembar.

Raja takjub, namun curiga. Raja bertanya bagaimana Nasruddin mengajari keledai membaca. Nasruddin bercerita, ia biasanya menghadapkan keledai dengan lembaran besar yang mirip buku, dan ia sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Akhirnya keledai terbiasa membalikkan lembaran-lembaran tersebut, demi mendapatkan biji gandum untuk dimakan.

Mendengar jawaban Nasruddin, raja protes, berarti keledai itu tak bisa membaca.

“Memang demikian cara keledai membaca, Tuan Raja. Hanya membalik-balik halaman buku, tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka buku-buku tanpa mengerti isinya, bukankah kita (bisa) disebut setolol keledai?

Raja mengangguk dan tertawa mendengar jawaban Nasruddin Hoja (Dikutip dari Solat Jumat di Hari Kamis, 101 Kisah Jenaka Nasruddin Hoja).

Mengajari keledai membaca adalah hal yang bisa dikatakan mustahil menurut akal. Tapi Nasruddin tak kehabisan akal. Dia optimis akan mampu menyelesaikan tantangan di hadapannya. Bahkan lebih jauh, ia bisa mengajarkan hikmah, dalam keadaan sulit sekalipun.

Dengan meminjam salah satu percakapan film Star Trek Beyond 2016, Nasruddin laiknya Spock yang mencari harapan dalam keadaan mustahil, saat pesawatnya hancur di sebuah planet asing dan para kru menghilang.

Nasruddin Hoja mungkin tak menulis karya berjilid-jilid, atau menulisnya, namun tak sampai ke generasi kita. Tapi aksi-aksi dan cara ia hidup, terekam dan terus menginspirasi laiknya sebuah buku yang hidup.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top