Bumi sebagai rumah manusia kini menghadapi masalah serius. Meningkatnya suhu bumi tentu menjadi perhatian besar semua kalangan, efek yang ditimbulkanpun tidak main-main. Mencairnya es di kutub utara dan selatan sehingga membuat permukaan air laut meningkat, daratan pun semakin menyusut. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah populasi manusia yang semakin tahun pasti semakin bertambah dan tentunya semakin membutuhkan tempat tinggal yang lebih luas.
Dampak lainya, perubahan iklim juga mengancam. bencana alam akan sering terjadi dan sulit diprediksi. Suhu air laut yang meningkat akan berefek pada rusaknya terumbu karang dan ekositem laut lainya. Di belahan bumi lain, kekeringan melanda dan krisis air menjadi ancaman lain yang akan timbul. Ditambah keragaman hayati yang akan punah karena tidak mampu beradaptasi dengan suhu bumi yang semakin panas.
Pemanasan global (Global Warming) menjadi masalah serius yang menjadi perhatian semua kalangan. Penyebabnya, meningkatnya gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida, gas methana dan gas berbahaya lainya. Sejak revolusi industri, kegiatan manusia semakin membuat kadar gas tersebut meningkat di atmosfer.
Menilik lebih dalam, usaha manusia dalam sektor industri, peternakan sapi, dan penggunaan kendaraan bermotor tentu mempunyai nilai lebih dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin melonjak. Namun demikian, kemanfaatan yang dihasilkan tersebut berbanding lurus dengan dampak negatif yang semakin meningkat. Lantas bagaimana fikih menanggapi aktifitas manusia yang dapat menimbulkan efek negatif, bila dipandang mereka beraktivitas dengan menggunakan barang-barang milik pribadinya?
Udara dan Pencemarannya
Udara merupakan elemen vital dalam kehidupan, udara yang bersih mengandung oksigen yang sangat bermanfaat bagi sistem metabolisme tubuh. Mencemarinya adalah suatu tindakan yang dilarang syariat, karena dapat membahayakan orang lain dan lingkungan. Berdasar hadits nabi;
مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Barang siapa membuat bahaya, maka alloh akan memberikan kemudlaratan kepadanya, barang siapa mnyusahkan orang lain, maka allah akan menyusahkannya”(HR. Ibnu Majah)[1]
Di lingkungan fikih, hadits ini menjadi dalil umum atas segala bentuk tindakan yang berpotensi menyebabkan bahaya. Apalagi bahaya yang dampaknya dirasakan secara umum. Seperti mencemari udara yang merupakan komponen vital kehidupan.
Bahkan beberapa para pakar fikih masa lalu, telah memandang pencemaran udara sebagai salah satu dloror (bahaya) yang tidak boleh dilakukan. Seperti penjelasan Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi (w. 1221 M.) seorang pakar fikih madzhab Syafi’i. Dalam kitab beliau, Tuhfath Al Habib ‘ala Syarh Al Khotib, beliau menyebut maksud dari hadits tersebut ialah mengharamkan segala jenis perbuatan yang berbahaya entah secara mikro maupun makro, seperti diantaranya mengoperasikan sesuatu yang dapat menyebabkan polusi yang berbahaya[2].
Konsep Pengoperasian Barang Milik Pribadi
Fikih memang mengizinkan aktivitas dan penggunaan (Tasharuf) hak milik pribadi seperti produksi pabrik, penggunaan kendaran bermotor, dan tasharuf lainya, asal tidak melebihi batas dan dilakukan sesuai kewajaran. Memandang memang setiap orang berhak menikmati kepemilikannya dan juga penggunaannya masih dalam batas-batas kewajaran.. Khazanah Turats menjelaskan ;
يَتَصَرَّفُ كُلُ وَاحِدٍ فِي مِلْكِهِ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَا ضَمَانَ فِيْمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ بِشَرْطِ جِرْيَانِهِ عَلَى العَادَةِ وَاجْتِنَابِ الإِسْرَافِ
“Setiap orang diperkenankan mentasharufkan/mengoperasikan barang miliknya dengan baik, dan tidak wajib bertanggung jwab pada masalah yang muncul dari pengelolaan tersebut asalkan tetap sesuai dengan keumuman dan tidak berlebihan” [3]
Namun demikian, bila aktifitas tersebut menimbulkan dampak negatif yang dapat mengancam kelangsungan hidup dan mencemari lingkungan, maka syari’at jelas melarang. Apalagi jika aktifitas tersebut dijalankan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku dan telah melebihi batas kewajaran. Imam Ar Ramli dalam nihayatul muhtaj menjelaskan
(فَإِنْ) (تَعَدَّى) فِي تَصَرُّفِهِ بِمِلْكِهِ العَادَةَ (ضَمِنَ) مَا تَوَلَّدَ مِنْهُ
“maka jika pengelolaan seorang terhadap benda miliknya melewati batas kewajaran (tidak sesuai prosedur yang berlaku) ia wajib bertanggung jawab dan mengganti rugi terhadap dampak yang timbul dari aktivitas tersebut” [4]
Dari keterangan ini, maka pabrik yang operasinya dijalankan tidak sesuai prosedur dan aturan yang berlaku hingga melahirkan limbah berbahaya serta polusi yang mencemari lingkungan, tentu mendapat ancaman dari syariat. Fikih juga menuntut Pemerintah untuk menegur atau bahkan menghentikan aktivitas pabrik tersebut. Pemerintah juga dilarang memberikan izin operasionalnya.[5]
Bijak dalam Beraktivitas
Walaupun syariat melegalkan aktifitas penggunaan hak milik pribadi yang berpeluang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, namun bukan berarti setiap individu bisa berbuat semaunya. Sikap bijak menjadi kunci keberhasilan mengurangi dampak negatif tersebut. Jika kita ingin bumi tetap stabil dan berumur panjang, serta tidak banyak bencana terjadi, semua kembali pada manusia sendiri. Bukankah manusia mengemban tugas kekhalifaan merawat bumi?.
Namun jika memang dampak dari aktivitas-aktifitas semua itu telah benar-benar berbahaya bagi kehidupan, pemerintah berhak mengeluarkan peraturan yang walaupun isinya mengintervensi pengguaan seseorang dalam kepemilikna pribadinya. Karena para akademisi fikih, telah menetapkan kemaslahatan umum harus didahulukan dari kemaslahatn khusus / pribadi.[6]
Demikian pula seluruh lapisan masyarakat wajib berpartisipasi melakukan hal-hal yang bertujuan mengurangi pemanasan global dan dampaknya. Seperti penghijauan, mengurangi penggunaan alat elektronik yang menimbulkan CFC (Chloro fluoro carbons) karena mencegah bahaya apapun yang mengancam secara global adalah keharusan setiap orang yang mampu[7].
Naskah ini terpilih sebagai pemenang juara 3 dalam kompetisi Esais Muda Pesantren 2020 yang diadakan oleh Alif.id dan Kemenag RI.
Daftar Pustaka
[1] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Quzwaini, Sunan Ibnu Majah No. 2335
[2] Sulaiman bin Muhammad al Bujairimi, Tuhfatul habib ‘ala syarhil khotib, Juz 3 Hal. 411 (CD. Maktabah Syamilah)
[3] Muyidin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut thalibin wa ‘umdatuh al muftin , Juz 10 Hal. 203 ( Beirut : Dar Al Kutub Al Ilmiyah )
[4] Muhammad bin Ahmad Arramli, Nihayah Al Muhtaj Ila Syarh Al Minhaj, Juz 5 Hal. 337 (Beirut : Dal Al-fikr 1984)
[5] Abdurahman Al-Jaziri, Al fiqh ‘ala Madzahib Al-A’ba’ah Juz 5 Hal 193 (CD. Maktabah Syamilah)
[6] Wahbah Azzuhaili, nadzariyah Al-Dlarurat Al-Syar’iyyah Hal. 232
[7] Muhammad bin Ahmad Arramli, Nihayah Al Muhtaj Ila Syarh Al Minhaj, Juz 8 Hal. 49 (Beirut : Dal Al-fikr 1984)