Sedang Membaca
Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 56: Larangan Merusak Lingkungan
Wildan Fatoni Yusuf
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Lirboyo. Juaran Tiga Lomba Esais Muda Pesantren.

Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 56: Larangan Merusak Lingkungan

Wadas (1)

Dalam perumusan fikih, penggunaan akal dan dalil nash  (‘aql wan naql) harus berjalan beriringan sesuai dengan metode yang telah disepakati dan diakui. Akal menolak eksploitasi alam  yang menyebabkan kerusakan, hingga pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Namun apakah alquran yang merupakan sumber rujukan utama fikih juga mencantumkan larangan perusakan lingkungan? Memandang Al Qur’an merupakan sumber dalil naqli utama dalam fikih.[1]

Ada beberapa ayat yang disinyalir menjelaskan larangan perusakan lingkungan. Salah satunya surat Al-A’raf ayat 56 ;

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

dan janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik, berdoalah kepadanya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya kasih sayang Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik”

oleh karena itu, menelaah ayat tersebut secara mendalam menjadi salah satu instrumen penting dalam pembahasan Fikih Lingkungan, tentunya dengan tetap merujuk pada literatur tafsir yang mu’tabarah (diakui kevalidannya).

Membedah Tafsir

            Secara etimologi, kata fasad / ifsad adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan. Cakupannya sangat luas, mencakup segala hal, baik berhubungan dengan rohani, fisik dan lain-lain. Oleh karena itu, para pakar tafsir mempunyai tafsiran yang beragam dalam menjelaskan maksud kata “wala tufsidu” tersebut.

Al-Dlohak (w.723 M.)  adalah yang paling tegas menyebut tafsir ayat tersebut ialah larangan merusak lingkungan yang membahayakan kehidupan, seperti menebang pohon secara sembarangan atau menimbun sumber air.[2]

Baca juga:  Fikih Lingkungan (5): Nabi Muhammad Sangat Menyayangi Alam

Sedangkan Imam Fahrudin al-Razi (w. 1209 M.) menggunakan pendekatan Maqosid al-Syar’iyyah (tujuan pensyariatan) dalam menafsiri ayat ini. Karena larangan ini bersifat umum, mencakup segala kerusakan di bumi, maka standar kerusakan yang dilarang tersebut ialah segala hal yang bertentangan dengan Maqosid al-Syar’iyyah, yakni menjaga agama, nyawa, harta, keturunan, dan akal. Sehingga pada akhirnya dapat diarahkan pada larangan melakukan kekafiran, membunuh tanpa sebab yang dibenarkan, mencuri, berzina, meminum minuman keras dan hal-hal lainya.[3]

Para mufassir lain juga memiliki tafsiran yang berbeda dalam menafsiri kata ifsad. Ibnu ‘Abbas (w. 687 H.) menyebut makna kata tersebut adalah kekafiran. Mujahid (w. 722 M.) menyebut kata ifsad memiliki arti meninggalkan ketaatan pada Allah. Pakar tafsir lain mengartikannya dengan kemaksiatan, seperti penafsiran imam Abu ‘Aliyah dan Muqotil (w. 767 M.). Sedangkan ‘Ali bin ‘Ubaidillah menyebut tafsir kata ifsad adalah kemunafikan.

Jika disimpulkan, ragam penafsiran  yang terakhir ini lebih  bermuara pada hal-hal yang bersifat rohani-spiritual. Lalu kenapa larangan ifsad tersebut dihubungkan dengan kata fi alardli?

Imam Abu Hayan (w. 745 H.) menjelaskan ;

وَلَيْسَ ذِكْرُ الأَرْضِ لِمُجَرَدِ التَّوْكِيْدِ بَلْ فِي ذَلِكَ تَنْبِيْهٌ عَلَى أَنَّ هَذَا المَحَلَ الَذِي فِيْهِ نَشْأَتُكُمْ وَتَصَرُّفُكُمْ-إلى أن قال- جَدِيْرٌ أَنْ لَا يُفْسَدَ فِيْهِ ، إِذْ مَحَلُ الْإِصْلَاحِ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُجْعَلَ مَحَلَ الْإِفْسَادِ

penyebutan kata bumi dalam ayat tersebut bukan hanya penguat makna semata, namun dalam penyebutan tersebut terdapat peringatan bahwa sesungguhnya tempatmu tumbuh, tempatmu bertasaruf, tempat hidupmu, pantas untuk tidak dirusak, karena tempat kebaikan tidak seyogyanya dijadikan tempat berbuat kerusakan”[4]

Lebih jauh lagi, Abu Hayan menjelaskan bahwa beragam penafsiran kata ifsad tersebut sebenarnya merupakan tamtsil (contoh) dari keumuman kerusakan yang tercakup dalam kata ifsad. Pada dasarnya substansi larangan tersebut ialah agar tidak terjadi kerusakan di bumi. Oleh karena itu, larangan tersebut diarahkan pada sesuatu yang bisa menyebabkan kerusakan di bumi[5].

Baca juga:  Fikih Lingkungan (4): Pencemaran Udara dalam Perspektif Fikih

Sebagai contoh, jika manusia berbuat kekufuran atau kemaksiatan, hal itu akan menyebabkan kemurkaan Allah. Nah, kemurkaan inilah yang nanti pada akhirnya membuat Allah tidak menurunkan kebaikannya pada bumi yang berupa hujan dan suburnya tanah, pada akhirnya kerusakan lingkungan secara besar akan terjadi di bumi. Sebaliknya, jika manusia beriman serta bertakwa, Allah akan menurunkan kebaikannya ke bumi.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (الأعراف : 96)

“dan kalau saja para penduduk desa itu mau beriman dan bertakwa, niscaya akan kami limpahkan kepada  mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” ( QS. Al A’raf : 96)

Hal ini menunjukan bahwa kerusakan di bumi memang tidak semata berupa kerusakan lingkungan hidup saja, namun kerusakan moral-spiritual juga merupakan kerusakan yang memiliki dampak negatif yang cukup besar. Kebobrokan moral manusia seperti sifat egois dan cinta dunia yang berlebihan tentu akan membuat mereka tidak memperdulikan kelestarian lingkungan di sekitarnya. Hal ini lah yang pada akhirnya akan menjadi sebab utama dari segala bentuk kerusakan di bumi.

Walhasil, ayat tersebut secara garis besar melarang kita untuk merusak lingkungan serta melakukan hal-hal lain yang akan berdampak negatif pada lingkungan.

Baca juga:  Bagaimana Nabi Ibrahim Memaknai Sakit?

 

[1] Dalil naqli merupakan istilah untuk menyebut Al Qur’an dan hadits. Disebut naql karena Al-Quran dan Hadits senantiasa di sampaikan dari generasi awal islam ke generasi selanjutnya melalui proses penukilan / periwayatan yang ketat. Hal ini tidak lain untuk menjaga keotentikan dan validitas sumber rujukan fikih tersebut. Selain itu, kebanyakan ulama pasti menyelipkan kutipan (nukilan) ayat Al-Qur’an atau Hadits dalam karya mereka.

[2] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, Juz 7 Hal. 226 (Kairo :  Dar Al Kutub Al Misriyah 1964)

[3] Fahru Ad Din Muhammad bin Umar Al Razy, Mafatih Al Ghaib juz 7 Hal. 146 ( CD. Maktabah Syamilah )

[4] Abi Hayan, Muhammad bin Yusuf al Andalusi, TafsirBahr Al Muhith Juz 1, Hal. 197 (Beirut: Dar Al kutub Al islamiyah 2001)

[5] Abi Hayan, Muhammad bin Yusuf al Andalusi, TafsirBahr Al Muhith Juz 4, Hal. 313 (Beirut: Dar Al kutub Al islamiyah 2001)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top