Sedang Membaca
Kisah Orang Sakit yang Diangkat Dosanya oleh Allah dalam Kitab al-Mawa’idz al-‘Ushfuriyah
Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Kisah Orang Sakit yang Diangkat Dosanya oleh Allah dalam Kitab al-Mawa’idz al-‘Ushfuriyah

Muslimheritage Damascus East Meets West Venice 8

Salah satu kabar menggembirakan ihwal sakit adalah ia dapat menjadi kafarat bagi dosa-dosa yang telah lalu. Perihal ini, sebuah hadis dari Abu Umamah al-Bahili menarik untuk disimak. Hadis ini dituturkan oleh Syekh Muhammad Abu Bakar dalam “al- Mawa’idz al-‘Ushfuriyah”. Sebuah kitab yang mencakup 40 hadis bermuatan mauizah dan dibersamai oleh kisah-kisah sarat hikmah.

Dikatakan dalam hadis itu, ketika seorang Mukmin atau Mukminah sakit, Allah mengutus kepadanya empat malaikat. Malaikat pertama diberi tugas merenggut staminanya, sehingga orang yang sakit menjadi lemah. Malaikat kedua punya tugas mencabut daya penyecap rasa dari mulutnya, sehingga ia tak bisa lagi merasakan lezatnya makanan. Malaikat ketiga ditugaskan mengambil sinar wajahnya, sehingga wajahnya menjadi pucat. Sedangkan malaikat terakhir kebagian tugas mengangkat seluruh dosa si sakit, sampai ia benar-benar bersih dari dosa.

Ketika hendak disembuhkan, Allah menyuruh malaikat-malaikat tadi mengembalikan nikmat yang sebelumnya telah direnggut dari hamba tersebut. Malaikat pertama diperintah untuk mengembalikan staminanya. Malaikat kedua ditugasi mengembalikan daya penyecap yang diambil dari mulutnya. Demikian juga malaikat ketiga diperintah mengembalikan sinar wajahnya.

Sementara itu, malaikat keempat kebingungan. Pasalnya, ia luput dari titah tersebut. Malaikat keempat tak diperintah mengembalikan dosa si sakit yang sebelumnya pernah ia renggut. Di tengah kebingungannya itu, malaikat keempat ini bersujud kepada Tuhan, sembari menghaturkan kebingungannya. “Wahai Tuhan! Kami, empat malaikatmu ini, tunduk patuh di bawah perintah-Mu. Engkau menyuruh mereka [tiga malaikat lainnya] untuk menyerahkan kembali apa-apa yang sebelumnya mereka ambil dari hamba yang sakit itu. Namun mengapa Engkau tak menyuruhku mengembalikan seluruh dosa yang telah kurenggut darinya?”

Baca juga:  Menafsir Kematian (4): Bukan Cinta Dunia Benar Menusuk Kalbu

Allah Ta’ala menjawab, “Tak elok, Aku Yang Maha Mulia menyuruh engkau mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku membuatnya lelah karena sakit.” Nampaknya, malaikat keempat ini masih bingung, hendak ia apakan dosa-dosa yang telah ia ambil itu. Allah lalu bertitah agar malaikat keempat ini membuang dosa-dosa hamba itu ke laut. Dengan demikian, hamba itu tetap bersih dari dosa. Sehingga andaikan ia meninggal dunia, itu berarti ia mangkat dalam keadaan suci tanpa dosa.

Membarengi hadis ini, dikisahkan pula tentang sorang lelaki fasik nan keparat dari kalangan Umat Nabi Musa As. Saking fasiknya, masyarakat setempat merasa resah dengan tingkah lakunya. Akhirnya, mereka yang sudah tak sanggup mencegah lelaki tersebut berhenti melakukan kefasikan memelas kepada Allah, mengadukan lelaki ini.

Sebagai respons atas aduan mereka, Allah memberi tahu Nabi Musa bahwa di antara Bani Israil ada seorang lelaki fasik. Musa lalu diperintahkan mengusir laki-laki itu dari negeri mereka. Tujuannya supaya masyarakatnya tak turut menanggung azab jilatan api raksasa sebagai ganjaran atas perbuatan si fasik.

Musa pun menghampiri, lalu mengusirnya pergi dari negeri tersebut. Lelaki itu kemudian angkat kaki menuju perkampungan terpencil. Akan tetapi, nampaknya, Allah juga tak ingin penduduk kampung tersebut terdampak ekses-ekses kefasikannya. Untuk itu, Allah memerintahkan Musa lagi. Kali ini, agar mengusirnya keluar dari perkampungan terpencil itu.

Baca juga:  Menafsir Kematian (2): Mengapa Engkau Takut, Pecinta?

Hamba tadi pergi meninggalkan kampung itu. Tak tanggung-tanggung, ia menuju padang sahara yang tandus. Sebuah tempat yang nyaris tak ada kehidupan, tanpa seekor burung atau seekor hewan liar pun. Tiada seorang pula dapat menolongnya. Termasuk saat ia tak kuat lagi menyongsong tubuh, sebelum akhirnya tersungkur ke tanah. Di tempat kosong itulah ia melemah dan jatuh sakit, sampai ajal menjemput.

Menjelang sekarat, ia mengadu pada Tuhan sembari berandai-andai.

“Oh, Tuhan! Andaikan ibuku saat ini sedang menungguiku, pastilah ia mengasihiku dan menangisi deritaku. Andaikan ayahku hadir di sisiku, pastilah ia menolongku, memandikan lalu mengafaniku. Seandainya juga istriku sedang bersamaku, niscaya ia akan menangisi perpisahan ini.”

“Andaikan pula anak-anakku berada di sampingku, pastilah mereka menangis di belakang jenazahku sembari berdoa, “Ya Allah, ampunilah ayah kami yang terasingkan, lemah, durhaka, fasik, nan tercampakkan dari satu negeri ke negeri yang lain, dari negeri yang lain ke daerah terpencil, dari daerah terpencil ke gurun sahara. Dia pergi dari dunia ini dalam keadaan putus asa kepada semuanya, kecuali pada Rahmat-Mu. Dia pun berdoa, “Oh, Allah! Kalaulah Engkau pisahkan aku dengan anak-anakku, juga istriku, maka jangan Engkau putusasakan aku dari Rahmat-Mu. Engkau jua telah membakar hatiku sebab berpisah dengan mereka, maka janganlah Engkau bakar aku di neraka-Mu karena maksiat-maksiatku.” ”

Tampaknya, Allah Yang Maha Pemurah tak tega melihat kondisinya yang begitu mengenaskan. Lantas diutuslah kepadanya dua bidadari. Satu bidadari dalam sosok ibunya, satunya lagi menyerupai istrinya. Diutus pula pemuda-pemuda dalam sosok anak-anaknya. Juga sesosok malaikat dalam rupa ayahnya. Saat itulah hati hamba yang malang itu menjadi tenteram. Ia pun mangkat dalam keadaan suci dan terampuni, bahkan oleh Allah ia dipromosikan sebagai wali.

Baca juga:  Menafsir Kematian (1): Dzikr al-Maut Sebagai Kritik Hedonisme

Kisah ini menginformasikan, berkat Rahmat Allah sakit yang identik dengan penderitaan, nyatanya tak selamanya buruk. Ia bisa menjadi kafarat. Tak cuma bagi orang-orang yang taat, bahkan juga bagi yang keparat. Kisah-kisah semacam ini perlu sesekali ditampilkan. Bukan untuk menganjurkan agar kita sakit, apalagi angkuh terhadap penyakit. Dengan menyimak kisah ini, kita senantiasa optimis menyongsong Rahmat-Nya, sembari berbaik sangka kepada-Nya. Syukur-syukur dapat mengurangi intensitas ketegangan batin yang muncul bersama penyakit, terutama di masa-masa krisis.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top