Sedang Membaca
Pesan Sunan Gunung Jati Ini Relevan di Era Digital
Syakir NF
Penulis Kolom

Mengabdi di PP IPNU dan NU Online sebagai kontributor. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pesan Sunan Gunung Jati Ini Relevan di Era Digital

Soal keagamaan bangsa Indonesia akhir-akhir ini mengalami pergeseran ke arah yang lebih eksklusif. Orang-orang merasa diri paling benar sehingga menganggap kelompok yang lain salah. Pemahaman demikian menimbulkan situasi jalinan kemasyarakatan terganggu. Keharmonisan yang biasa dirasakan sirna. Padahal, tidak ada kebenaran yang mutlak. Imam Syafii saja sedikit meragukan kebenaran pandangannya atau ijtihadnya guna memberi ruang ketidakmutlakan atau menghentikan fanatisme dalam beragama.

Hal tersebut diperparah dengan kondisi perekonomian masyarakat yang juga mengalami ketimpangan. Mengutip Rhoma Irama, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Peredaran uang di negeri ini sebagian besar hanya berputar pada segelintir orang saja.

Demikian ini yang sebetulnya sudah diantisipasi sejak dahulu kala oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati dengan memunculkan ungkapan, ingsun titip tajug lan fakir miskin, saya titip mushala dan fakir miskin. Wasiat penting ini harus disegarkan kembali dalam konteks kekinian mengingat kondisi keagamaan dan perekonomian yang digambarkan di atas.

Setidaknya, ada dua kata kunci dalam wasiat salah satu dari sembilan wali penyebar Islam di Jawa itu, yakni titip tajug dan titip fakir miskin. Elemen kehidupan tentu sangat banyak. Akan tetapi, Kanjeng Sunan hanya memfokuskan pada dua hal tersebut saja. Bukan tanpa sebab mengingat dua hal tersebut cukup mewakili berbagai elemen kehidupan lainnya.

Tajug secara etimologi memang berarti tempat untuk melaksanakan shalat bersama-sama atau secara simpelnya bisa disebut juga mushala. Namun, lebih jauh dari itu, tajug tidak saja menyimpan domain keagamaan, tetapi juga memberikan fungsi sosial. Hal tersebut mengingat tajug juga menjadi tempat bertemu masyarakat karena adanya jamaah dan pengajian. Hal terakhir, pengajian, juga menunjukkan bukti bahwa tajug berfungsi sebagai wadah pendidikan. Dari mulai usia anak-anak hingga usia lansia, semuanya mengaji di tempat tersebut.

Baca juga:  Denys Lombard ke Makam Kiai Telingsing: Ziarah dalam Sepi (2)

Dari sini, kita penting melihat bahwa kehidupan keagamaan bermula dari tajug ini. Maka dalam konteks eksklusifitas keberagamaan masyarakat Indonesia saat ini, yang perlu dilakukan adalah mulai membenahi dari tajug, masjid, ataupun mushalanya. Karena di situlah akar pandangan keagamaan masyarakat yang teraktualisasi dalam laku hidupnya. Tak aneh jika banyak tindakan intoleran mengingat pandangan yang menyebar di masjid-masjid adalah demikian. Sudah maklum juga pandangan keagamaan beberapa orang harus hitam putih karena mereka tidak mempercayai pilihan empat mazhab yang ditawarkan ahlussunnah wal jamaah dalam menjalankan hukum Islam yang memiliki kecenderungan sangat beragam atas satu persoalan hukum saja.

Jika fungsi tajug adalah edukasi keagamaan, maka untuk menjalankan wasiat Kanjeng Sunan Gunung Jati titip tajug adalah dengan aktif bermedia sosial (medsos). Sebab, medsos sudah menjadi sarana dakwah yang cukup efektif. Pasalnya, berdasarkan hasil riset Wearesosial Hoosuite yang dirilis pada Januari 2019 lalu, pengguna medsos di Indonesia sudah mencapai 150 juta orang atau 56 persen dari jumlah total populasi penduduk.

Terlebih akhir-akhir ini tak sedikit orang yang teradikalisasi melalui sarana medsos. Keaktifan kita di dunia maya ini setidaknya untuk dapat mengimbangi narasi-narasi radikal, ujaran kebencian, dan hal negatif lainnya yang deras mengalir di pelbagai platform digital itu.

Baca juga:  Gubernur NTB: Kenapa Masjid Ini dinamakan Hubbul Wathan?

Di sisi lain, tentu Kanjeng Sunan juga berpesan agar masyarakat dapat menjaga shalatnya secara berjamaah di tajug. Sebab, di situ ada pertemuan, ada interaksi untuk setidaknya saling menyapa satu sama lain, saling mengenal. Lebih jauh, interaksi tersebut dapat melahirkan kesalingan untuk kebaikan dan kemaslahatan yang berlanjut.

Di samping itu, Kanjeng Sunan Gunung Jati juga menitipkan fakir miskin kepada kita semua. Dalam hal ini ada dimensi ekonomi dan kemanusiaan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pada Juli 2019 lalu, bahwa ada 25,14 juta orang atau 9,41 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Mereka semua bukan saja tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kita semua sebagai orang-orang yang berada di sekitarnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, Islam sebetulnya sudah mensyariatkan zakat dan sedekah. Orang yang kaya harus hadir kepada mereka yang fakir dan miskin dengan menunaikan kewajibannya berzakat atau melakukan kesunahan bersedekah. Sebab, yang kaya juga dilarang untuk menimbun hartanya, sementara ada orang-orang di sekitarnya yang kelaparan.

KH Said Aqil Siroj dalam Tasawuf sebagai Kritik Sosial menggarisbawahi perihal pemerataan distribusi kekayaan. Sebab, tumpukan kekayaan akan mengancam keimanan dan moral seseorang. Dalam hal ini, Allah swt. dengan tegas mengancam dan mencela orang yang berbuat mengumpulkan dan menghitung-hitung hartanya dalam Al-Qur’an surat al-Humazah. Pun dengan kurangnya kekayaan juga dapat mengikis keyakinan orang sebagaimana disebutkan, kada al-faqru an yakuna kufra, kefakiran dekat untuk menjadi kufur. Kesenjangan inilah yang harus diatasi mengingat hal tersebut menjadi akar instabilitas yang membawa ke jurang kehancuran. Tak ayal, Sunan Gunung Jati berpesan menitipkan fakir miskin.

Baca juga:  Mengapa Imam Salat di Kampung Suka Baca Surah al-Kafirun?

Di era digital ini, ada berbagai lembaga atau situsweb filantropi. Jika pun kita tidak mampu membantu secara material, kita dapat menjadi penghubung melalui web filantropi tersebut atau tersambungkan langsung dengan pemerintah. Jabar Quick Responses, misalnya, yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang secara cepat menindaklanjuti berbagai laporan yang masuk mengenai hal-hal yang harus segera dilakukan penindakan.

Pada prinsipnya, melalui ingsun titip tajug lan fakir miskin, Sunan Gunung Jati berpesan untuk menjaga hubungan baik dengan Allah, habl min Allah, dan hubungan baik dengan sesama manusia, habl min al-nas. Hal tersebut juga memberikan sinyal peringatan bagi kita untuk menjaga keimanan, pendidikan, hubungan sosial kemasyarakatan, dan ekonomi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top