Sedang Membaca
Diruwat Agar Tidak Ruwet
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Diruwat Agar Tidak Ruwet

Ruwatan, atau lengkapnya ruwatan murwakala, rasanya tidak terlalu asing pada masa kini. Ruwatan, tradisi yang mengakar di Jawa, makin menasional. Tradisi lisan dari Jawa itu juga dilakoni oleh berbagai suku di Nusantara. Masyarakat memercayai, ritual ruwatan dapat menghindarkan seseorang dari murka.


Ruwatan yang menjadi bagian dari laku kultural masyarakat Jawa juga telah diangkat ke tataran akademis melalui disertasi yang disusun oleh Lies Mariani, dengan judul “Ruwatan Murwakala di Jakarta dan Surakarta: Telaah dan Fungsi Makna”. Disertasinya telah diuji pada September 2016 dan Lies lulus dengan sangat memuaskan sebagai doktor Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia.

Ruwatan murwakala biasanya dilakukan oleh keluarga yang mempunyai anak golongan sukerta, di antaranya anak laki-laki yang diapit dua anak perempuan, anak perempuan yang diapit dua laki-laki, lima anak laki-laki, atau lima anak perempuan. Golongan sukerta ini dipercaya kerap mendapat kesialan dan bisa terbebas setelah diruwat. Orang kerap memelesetkan kata ruwatan ini, seperti untuk meledek. Misalnya ada teman yang suka bertingkah aneh, atau tersandung terus saat berjalan, lalu dikomentari, “Wah orang ini harus diruwat”.

Pergelaran wayang kulit lakon murwakala menjadi syarat utama ruwatan. Lakon murwakala dipentaskan dengan bertutur menggunakan wayang kulit. Alunan gamelan dan nyanyian sinden mengiringi selama upacara. Riasan dan busana antara dalang, sukerta, atau sinden memiliki makna simbolis masing-masing. Dalam penelitiannya, Lies menemui orang dari Suku Batak yang melakukan ritual ruwatan murwakala ini. Ternyata kelompok yang memercayainya makin luas.

Baca juga:  Wayang, Medium Komunikasi dan Dakwah Lintas Kelas
Topeng buto

Karena mananggap pergelaran wayang itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, muncullah inisiatif untuk menggelarnya secara massal, agar orang-orang tak mampu bisa turut serta. Hal ini misalnya dilakukan oleh Kirun, pelawak asal Madiun, pendiri Padepokan Seni Kirun. Ia telah beberapa kali menggelar ruwatan massal, hingga ratusan sukerta. Kirun juga menyewa grup kesenian dongkrek.

Seni dongkrek ini menjadi semacam simbol untuk mengusir kejahatan, kesialan, kemungkaran, dan hal-hal buruk lain. Bebunyian dongkrek mengiringi gerakan empat orang yang mengenakan topeng buto, perlambang angkara murka. Dongkrek juga mengiringi tarian topeng orang tua, lambang pemimpin bijaksana. Ada pula topeng perempuan menggendong anak/nenek, perlambang kasih sayang dan bakti. Di daerah lain di Jawa,  jenis keseniannya tentu berbeda. 

Pertunjukan wayang ruwat biasanya digelar selama tiga jam. Setelah itu, para sukerta yang telah mengenakan kain mori putih, Ruwatan telah menjadi tradisi yang dipraktikkan secara turun-temurun di Jawa. Di dalamnya mengandung petuah kebaikan dan harapan untuk menjadi seorang yang lebih baik, yang juga diajarkan oleh agama-agama. Di dalam ruwatan ada doa dan harapan, agar perjalanan hidup selanjutnya bisa dilalui dengan lebih baik.

Ruwatan sejatinya adalah simbol agar manusia selalu mawas diri, membersihkan diri dari keburukan. ‎Jika tiap-tiap diri sadar untuk mawas diri, kehidupan berbangsa dan bernegara pun, insya Alloh tentram. Ruwatan sebagai tradisi leluhur, adalah untuk membersihkan jasmani dan rohani kita. Bukan berarti kalau tidak diruwat, lantas tidak bersih. Ruwatan hanyalah sarana untuk pembebasan dan penyucian atas kealpaan dan kekeliruan yang telah dilakukan. Membuang hal-hal yang buruk, yang juga dianjurkan oleh Islam dan agama-agama lain.

Baca juga:  Dialog Habib Utsman dengan Masyarakat tentang Sedekah Laut

Para perkembangannya,  ruwatan menjadi semacam sarana berdoa untuk memohon apa pun.  Coba saja tanyai para sukerta itu mengenai tujuan mengikuti ruwatan.  Jawabannya bervariasi.  Ada yang ingin dikaruniai anak, ada yang ingin anaknya menjadi pegawai negeri,  ada yang ingin diterima kuliah di perguruan tinggi tertentu,  dan ada pula yang  ingin hidup tenang tidak banyak utang.

‎Ajaran warisan leluhur yang ada di daerah-daerah di Indonesia sebetulnya bisa diterapkan di mana pun. Kearifan di Jawa, bukan hanya untuk Jawa, tapi bahkan bisa untuk dunia. Misalnya kearifan di Jawa “wani ngalah luhur wekasane”‎ (berani mengalah akan mulia di kemudian hari), kan bagus diterapkan oleh siapa saja. Ngalah atau mengalah itu bisa berarti menuju Allah, begitu orang Jawa memercayai.

Mau diruwat? Yaaa supaya tidak ruwet hidupmu itu…….. He-he-he

#IslamNusantara

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top