Rifqi Fairuz
Penulis Kolom

Mahasiswa S2 di Center for Religious and Cross-Cultural Studies di Universitas Gadjah Mada, aktif di Gusdurians Jogjakarta

Alissa Wahid Sudah Ngabdurahman

Alissa Wahid Sudah Ngabdurahman

Berhubung ilmunya Gus Dur itu sundul langit tujuh, rasanya hampir mustahil kita yang ilmunya karam di dasar samudera ini bilang mau meniru jejak beliau di bidang keilmuan. Tapi yakin saja, kita sedikit-sedikit bisa meniru jejak beliau yang lain.

Kata teman-teman Gusdurian, ketika kita tidak nyandak ilmunya, minimal kita bisa tiru guyonannya, atau sikap santai ala “Gitu aja kok repot” yang populer itu.

Ciri khas paling kentara dari Gus Dur adalah humornya. Humor bisa memancing tawa, dan dengan tertawa kita sedang menunjukkan ekspresi fitrah dari manusia. Ciri khas ini bukan tanpa sebab. Gus Dur dilahirkan dari jantung tradisi pesantren, dan humor tidak bisa dipisahkan dari tradisi Islam tradisional. Itu.

Tradisi pesantren yang sudah berlangsung lama, pasti akrab dengan tingkah polah ganjil nan lucu dalam tokoh sufisme Abu Nawas (Abu Nuwas), Bahlul, Nasruddin Hoja, Majnun dan lainnya. Mereka kerap dianggap sebagai ‘orang gila’, namun pada dasarnya mereka adalah orang cerdas, bahkan jenius yang mampu mengakali situasi supaya tidak terjebak ke pusaran arus masalah. Bagi kalangan Islam yang tidak punya selera humor, tokoh-tokoh yang saya sebut itu disebut Zindiq, orang yang terlalu banyak menabung dosa.

Kebijaksanaan dan teladan luhur yang mendalam dapat muncul dari mana saja, termasuk dari orang-orang yang dipandang gila oleh masyarakat umum. ”Kegilaan” semacam ini lebih sebagai sanggahan atas ketidaksucian duniawi, sekaligus untuk menunjukkan bahwa tak ada yang perlu ditakuti kecuali Allah semata.

Maka tidak heran. Jangankan haters kelas sosmed, diktator bengis saja bisa ditertawakan ramai-ramai oleh orang gila ini. Tidak terkecuali Gus Dur. Sudah tak terhitung guyonan beliau yang dialamatkan kepada kawan atau lawannya.

Baca juga:  Yang Lebih Penting dari Sepak Bola adalah Kemanusiaan

Saat diwawancara oleh Rolling Stones Indonesia di tahun 2008, Gus Dur bercerita tentang Pak Harto setelah turun dari jabatan presiden.

“Pak Harto bertanya ke pembantunya, kenapa saya nggak dikenalkan dengan makelar tanah dari Nazareth? Ada apa Pak?” kata pembantunya.

“Saya dengar di sana kalau ada orang mati, setelah tiga hari bisa hidup lagi..” jawab Pak Harto.

Tak hanya di dalam negeri. Sewaktu kunjungan kepresidenan ke Tokyo di tahun 1999, Gus Dur disambut oleh Perdana Menteri Jepang Keizo Obuchi.

PM Obuchi mengucapkan selamat atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden. Gus Dur tertawa mendengar sambutan Obuchi. Gus Dur menjelaskan bahwa beliau tertawa karena ucapan selamat itu terdengar seperti ‘congratulation for Mr. Wahid’s erection (election)’, sambil menirukan aksen Jepang Obuchi. Maklum, orang Jepang melafalkan huruf L seperti R. Mungkin Gus Dur jadi satu-satunya presiden yang bisa membahas ereksi di forum resmi kepresidenan.

———-

Sementara sikap selow Gus Dur tidak kalah menarik untuk dirasani. Istilah “Gitu aja kok repot!” sudah menjadi cap paten Presiden ke-4 ini. Banyak yang menilai “Gitu aja kok repot!” ini merupakan bentuk lain dari falsafah Jawa kuno, “Ojo kagetan, ojo gumunan”. Ketika dapat durian runtuh atau ketika jatuh ketiban tangga, falsafah itu mengajari kita untuk menanggapi segala sesuatunya dengan tenang. Tidak terburu-buru repot dan panik atas apa yang terjadi.

Sekarang kita ke Alissa Wahid. Mari kita rasani putri sulung Gus Dur, atau cucu pertama Kiai Haji Abdul Wahid Wasyim, salah satu pendiri bangsa.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Doa Harimau

Mba Lisa, begitu saya biasa menyebutnya, dua hari ini ramai menjadi sasaran makian warganet. Terdapat gambar dirinya dengan tulisan huruf kapital: “ANAK SI BUTA”. Entah apa sebabnya, hingga keluar kata-kata begitu. Dan siapa yang melempar makian itu, adalah anonim. Pengecut, sangat pengecut. Na’udzubillah!

Siapapun lazimya akan marah jika dirinya menjadi olok-olok. Apalagi kondisi fisik bapaknya ditertawakan. Namun tidak demikian bagi seorang Alissa. Dengan percaya diri ia unggah kembali gambar itu di akun twitternya, disertai dengan tulisan: Anak si Buta. YES, I AM PROUD OF IT.

Ya, dia bangga menjadi anak “si Buta” itu. Sambil kemudian berpesan kepada kawan difabel, supaya tidak menyerah dengan apa yang orang lain katakan kepada mereka. Saya terisak atas respon Mba Lisa. Kok tidak marah? Kok tidak reaktif? Kok malah kalem? Kok…? I love you, Mba.. love you full..

Dan tiba-tiba, saya ingat pernyataan Gus Dur dalam sebuah forum formal di Denpasar, saat dirinya menjadi presiden. “Bahwa bersama Megawati sebagai wakil presiden, ini merupakan pasangan yang ideal. Kenapa? “Karena Presidennya tidak bisa melihat, Wakil Presidennya tidak bisa ngomong…”

Sebagai seorang yang diolok “anak si Buta”, Alissa berhak marah. Kalau pun mau main grudugan, bisa dilayani. Bisa juga melempar wacana “Penistaan Ulama”. Tapi sikap demikian tentu tidak elok. Dan pastinya, teman-teman Mba Lisa tahu persis, menggruduk, mengajak marah, bukan pilihannya. Di belantara twitter yang demikian buas, reaksi yang dipilih oleh Alissa dalam merespon olok-olok yang dialamatkan kepadanya (dan bapaknya) terasa langka.

Baca juga:  Wajah Gus Dur di Kendaraan

Gus Mus saja twitternya ikut geram. “Tak ada yang bisa menyakiti anakku Alissa Wahid. Apalagi hanya gpecundang yang sakit jiwa. Dia adalah putri Gus Dur yang perkasa,” demikian dukungan @gusmusgusmu me-reply @AlissaWahid, dini hari tadi, pukul 02.21. hingga pukul 13.14 cuitan yang ditulis begitu jelas tanpa singkatan-singkatan yang lazim di dunia maya di-retweet 2.593 akun dan di-like 3.730 akun. Ini belum menghitung screenshoot yang menyebar di aneka macam media sosial. Allah karim. Bergetar hati ini.

Sikap-sikap seperti ini yang terasa hilang dari kita. Di tengah industri media yang gemar mempertontonkan olok-olok dan membikin panggung kebebalan, kita perlu belajar lagi jadi orang yang paham kapan menekan tombol pause dalam merespon situasi tertentu.

Kita hari ini, kekurangan orang yang tidak kagetan dan tidak gumunan, yang statemen publiknya tidak membuat keruh masyarakat dan simpatisan. Ironis bukan, ketika pemimpin yang mengaku mewakili jutaan umat, justru menyodorkan umatnya sendiri ketika dihadapkan pada masalah.

Ujian yang mutlak perlu dilewati seorang pemimpin adalah tentang bagaimana dia bisa merespon terhadap serangan yang dialamatkan kepadanya secara tepat. Dan sebaik-baik respon adalah yang bersumber dari jernih pikiran, serta tidak membuka ruang bagi ego pribadi, barang satu inci. Dengan mengubur ego, niscaya seorang pemimpin bisa menghela napas lebih panjang, kemudian berpikir lebih jernih. Sehingga kemaslahatan orang banyak lah yang dikedepankan. Bukan sentimen pribadi yang jadi urusan orang banyak.

Akhirul kalam, selamat Mba Lisa, Panjenengan sudah Ngabdurahman Wahid sekali.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top