Beberapa minggu ini ramai diperbincangkan di wilayah UIN Antasari Banjarmasin soal edaran dari Wakil Rektor III yang menyoal aturan penutup muka perempuan (baca:Cadar). Pro-kontra dari edaran yang disebar ke seluruh lapisan pimpinan hingga lingkungan administrasi tak terhindarkan.
Perbincangan soal aturan bercadar bagi perempuan muslim di satu lingkungan pendidikan memang tidak kali ini saja terjadi. Ada Bukittinggi hingga Yogyakarta sudah pernah dihebohkan persoalan yang sama. Walau, edaran wakil rektor III UIN Antasari tersebut adalah kelanjutan dari peraturan dari Kementerian Agama.
Negosiasi Pelik di Ranah Agama dan Negara
Kehadiran cadar (niqab) di ranah publik bukan persoalan yang baru di Indonesia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, persoalan pakaian keagamaan pasti mendapatkan atensi di kalangan umat dari persoalan model hingga hukum. Disebutkan banyak ahli, perbincangan soal penutup kepala dan tubuh perempuan muslim mulai menggeliat di tahun 1980an beriringan dengan arus revolusi Islam di Iran. Yang kemudian memunculkan diksi jilbab sebagai model penutup kepala.
Jika generasi kelahiran 70an, akrab dengan sebutan kerudung. Seiring perjalanan sejarah yang panjang juga turut mengubah diksi dan model penutup kepala dari kerudung menjadi hijab dan cadar. Dua kata ini sangat populer di masyarakat Islam sekarang selain jilbab yang juga sudah lama mewarnai keberagamaan di Indonesia. Di tengah geliat keberislaman yang mendapatkan angin segar berselang keruntuhan Orde Baru, yang cukup ketat mengatur hingga persoalan pakaian. Sehingga, hijab dan cadar sekarang mendapatkan cukup ruang di masyarakat Indonesia.
Berbanding terbalik, pasar sebagai lambang geliat ekonomi malah merespon sangat baik kehadiran cadar dan hijab. Dibuktikan dengan mudah sekali menemukan penjualan cadar dan hijab dengan beragam model dan variasi dari pasar hingga penjual daring. Kelindan antara konsumerisme dan keislaman juga merasuki persoalan pakaian sebagai salah satu penanda dalam gaya hidup, sehingga para desainer model pakaian, baik yang amatir hingga profesional, juga mengadopsi model berpakaian hijab dan cadar.
Saat agama dan konsumerisme berjalan beriringan dengan mesra memang tidak hanya menyentuh persoalan pakaian bagi kaum muslimin saja, tapi hampir seluruh nadi kehidupan muslim bersentuhan dengan konsumerisme. Boleh jadi cadar dan hijab disebut tidak bisa menghindari persentuhannya dengan konsumerisme sebagai bagian dari kehadirannya di ruang publik. Tapi di saat bersamaan, kehadiran cadar dan hijab di ruang publik juga tidak bisa menghindari berurusan dengan tafsiran agama, kebebasan pribadi hingga negara.
Saat cadar hadir dalam pakaian sehari-hari, masyarakat perlu waktu beradaptasi dan bernegosiasi. Beberapa alasan yang bisa dikemukakan, alasan iklim tropis kita yang menjadi alasan model pakaian yang diadaptasi lebih pendek dan terbuka ketimbang cadar. Selain itu, alasan lainnya adalah Islam yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia tidak ada yang mempromosikan cadar sebagai alternatif pakaian yang harus dikenakan oleh perempuan saat di ruang publik.
Arkian, masyarakat muslim dari dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, NU dan Muhamadiyah, tidak ada banyak yang memakai cadar. Hanya segelintir kalangan perempuan dari dua organisasi tersebut yang memakai cadar. Perbicangan soal ajaran cadar dalam Islam, memang masih diperdebatkan hingga sekarang, termasuk NU dan Muhammadiyah. Sedangkan model penutup kepala seperti jilbab dan hijab lebih diterima walau memiliki sejarah yang berbeda dalam resepsinya.
Ekspresi keberislaman sekarang yang sangat cair, karenanya semua kalangan muslim bebas menyalurkan nilai Islam yang mereka percayai tanpa dibatasi oleh Negara, selama tidak menganggu ideologi negara. Pemakai cadar semakin mudah ditemui di berbagai kesempatan dan stigma bagian dari ekstrimisme yang melekat di masa awal Reformasi juga semakin luntur.
Namun sebagaimana disebutkan di atas, hingga sekarang cadar juga harus bernegosiasi dengan nilai-nilai yang telah ada sebelumnya, seperti peraturan di ruang publik seperti sekolah, kantor, hingga pabrik kerja. Di sisi lain, cadar juga masih menghadapi dari kalangan yang memiliki penafsiran yang berbeda atas ajaran soal penutup aurat perempuan.
Sebagaimana kebanyakan persoalan cadar lainnya di Indonesia, sebenarnya persoalan edaran cadar di UIN Antasari tidak hanya berkutat pada persoalan tafsiran agama, tapi di dalam polemik cadar ada kebebasan pribadi, ruang publik, dan administrasi negara atau kampus. Saat cadar hadir di masyarakat Indonesia, maka pemakainya harus sadar bahwa tidak bisa menghindari beririsan dengan hal-hal tersebut.
Lantas yang perlu dipahami oleh pemakai cadar sebelumnya adalah kondisi ruang publik di Indonesia, yaitu ruang publik yang demokratis. Indonesia jelas bukan negara agama, apalagi negara otoriter. Dalam kondisi ini, hak warga negara jelas dijamin untuk menjalankan apa yang dipercayai atau dipeluknya. Sehingga di Indonesia, orang dengan bebas memakai cadar walau tidak sedikit yang mendapatkan kritik hingga kekerasan verbal.
Persoalan cadar muncul saat negara, seperti organisasi pendidikan, juga harus ikut beradaptasi dalam perkara ini. Dari sekolah hingga universitas diharuskan menyesuaikan diri dengan persoalan busana yang dipakai baik murid hingga pengajarnya, walau cadar akhirnya harus bersentuhan dengan tafsiran Negara yang biasanya tertuang dalam diksi “kepantasan” atau “kemudahan administrasi”. Persoalan ini menjadi pelik karena negara tidak seharusnya turut campur mengatur bagaimana warganya berpakaian, namun dengan berpangkal pada alasan kepantasan dan “nilai etika ketimuran”, negara tidak sedikti harus turun tangan dalam perihal busana rakyatnya. Tapi, tafsir pakaian pantas dalam sudut pandang negara sampai sekarang masih belum bisa menerima cadar, dengan berbagai alasan dari kesulitan administrasi, komunikasi dan lain-lain, juga harus diterima selama tidak meninggalkan persoalan baru yaitu perundungan.
Selain di ranah konsumerisme yang sangat ramah dengan cadar, polemik seperti UIN Antasari masih terus terjadi. Sebab, pemakai cadar masih bernegosiasi hingga sekarang dengan perbedaan penafsiran agama dan “kehadiran” negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, kebebasan pribadi memang masih dijaga termasuk dalam hal berbusana. Sehingga, negosiasi yang terjadi akan terus mengevaluasi kehadiran cadar di tengah masyarakat dan tarik menarik kepentingan dari semua pemangku kepentingan, akan menemukan formulasi tepat dalam menempatkan cadar dalam konteks masyarakat Indonesia.