Sedang Membaca
Dakwah Rasulullah Secara Diam-diam, Apa Rahasianya?
Sunnatullah
Penulis Kolom

Santri dan pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Bangkalan.

Dakwah Rasulullah Secara Diam-diam, Apa Rahasianya?

Dakwah

Perjalanan Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan ajaran Islam bukanlah perjalanan yang gampang, berbagai cobaan silih berganti berdatangan, mulai dari orang-orang luar, sahabat, sampai keluarganya sendiri. Namun, semua itu Rasulullah jalani dengan sabar dan tabah, meski tak sesekali Rasulullah menangis disebabkan banyaknya hinaan dan caci-maki yang dilemparkan kepadanya.

Setidaknya, ada 4 tahapan dakwah Rasulullah selama beliau hidup, yaitu: Pertama, Dakwah secara diam-diam yang berlangsung selama tiga tahun.vKedua, dakwah secara terang-terangan, tetapi hanya melalui lisan. Tahapan ini berlangsung hingga masa Hijrah. Ketiga, dakwah secara terang-terangan seraya memerangi pihak-pihak yang menyerang dan pihak-pihak yang memulai peperangan atau kejahatan. Tahapan ini berlangsung hingga disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah. Keempat, dakwah secara terang-terangan seraya memerangi semua kaum musyrik, antiagama, dan para penyembah berhala yang merintangi dakwah atau menghalangi orang dari masuk Islam setelah fase dakwah dan pemberitahuan. Pada tahapan terakhir itulah, syariat Islam mencapai kemapanannya dan saat itu pulalah hukum jihad diatur dalam Islam. Dan saat ini, penulis akan lebih fokus membahas tentang beberapa hikmah dari dakwah Rasulullah saw secara diam-diam.

Dakwah Secara Diam-diam

Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab Fiqihu as-Sirah an-Nabawiyah menjelaskan, bahwa Nabi saw menjalankan perintah Allah dengan cara mengajak orang untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan sembahan yang lain. Namun, beliau melakukannya diam-diam agar tidak mengejutkan kaum Quraisy yang fanatik pada kemusyrikan dan paganisme. Rasulullah berdakwah tidak secara terang-terangan, seperti berbicara di tempat-tempat umum atau di tempat ibadah mereka. Beliau hanya berdakwah kepada sanak kerabatnya yang sangat dekat atau orang yang sudah beliau kenal baik.

Baca juga:  4 Peradaban Sosial yang Dibangun Nabi Pasca Hijrah di Madinah

Orang yang pertama kali masuk Islam di antara mereka adalah Khadijah binti Khuwailid ra, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah saw sekaligus anak angkatnya, Abu Bakar (Ash-Shiddiq) bin Abu Quhafah, Utsman bin Affan, Az- Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa‘d bin Abi Waqqash, dan beberapa lainnya. Mereka bertemu dengan Nabi saw secara diam-diam. Apabila salah seorang di antara mereka ingin mempraktikkan suatu ibadah, dia pergi ke lorong-lorong Kota Makkah yang sepi agar tidak terlihat orang Quraisy.

Ketika jumlah pemeluk Islam mencapai lebih dari 30 orang laki-laki dan perempuan, Rasulullah saw memilih rumah salah seorang dari mereka, al-Arqam bin Abu al-Arqam, sebagai majelis pertemuan dan pengajaran. Dakwah pada tahapan ini menghasilkan sekitar 40 orang Muslim, laki-laki dan perempuan. (al-Buthi, Fiqihu as-Sirah an-Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], halaman 83)

Hikmah di Balik Dakwah Rasulullah Secara Diam-diam

Allah swt memberi ilham kepada Rasulullah agar memulai dakwah pada tahapan awal ini secara diam-diam dan hanya kepada orang yang beliau yakini akan menerimanya. Tahapan awal ini mengandung pelajaran penting bagi kaum Muslimin saat ini. Tahapan ini mengajarkan kepada umat Islam agar selalu membuat perencanaan yang matang dan mengambil langkah-langkah yang praktis dan efektif agar bisa berhasil meraih tujuan. Sebagai umat Islam, juga seharusnya mempersiapkan secara cermat berbagai sarana yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan. Namun, semua langkah itu jangan sampai menafikan sikap tawakal kepada Allah, dan jangan dianggap sebagai satu-satunya penentu keberhasilan. Sebab, sikap yang menafikan kuasa Allah seperti itu akan merusak fondasi keimanan kepada Allah dan bertentangan dengan tabiat dakwah Islam. Dari sini dapat diketahui bahwa cara dakwah Rasulullah saw pada tahapan ini merupakan kebijakan hukumnya sebagai imam, bukan bagian dari tugas tabligh-nya sebagai nabi.

Baca juga:  Tangisan Umar Ketika Rasulullah Meninggal

Menurut Syekh al-Buthi, bagian ini mengandung pelajaran bagi para dai Islam untuk senantiasa bersikap lentur (tidak kaku) dalam menyampaikan dakwah sehingga mungkin di satu waktu dakwah dilakukan secara diam-diam tetapi di waktu lain secara terang-terangan; di satu waktu dengan metode yang lemah lembut dan di waktu lain dengan sikap yang lebih tegas dan keras, sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi pada zamannya. Inilah kelenturan yang diajarkan syariat Islam seperti yang tergambar dalam Sîrah Nabi saw. Setiap dai dapat menemupuh jalan dan metode dakwah tertentu selama dia tetap memperhatikan kemaslahatan kaum Muslim dan keberlangsungan dakwah Islam. (Lihat, Fiqih as-Sirah an-Nabawiyah, h. 82)

Oleh karenanya, kebanyakan ulama ahli fiqih bersepakat bahwa ketika jumlah kaum Muslimin masih sedikit atau posisinya masih lemah, dan kemungkinan besar mereka akan dibunuh, serta tak memiliki peluang untuk mengalahkan musuh maka yang harus didahulukan adalah kemaslahatan pertama, yaitu keselamatan jiwa. Sebab, kemaslahatan yang lain, yaitu kemaslahatan agama, dalam keadaan seperti ini belum dapat diwujudkan. Dalam kitab Qawaidul Ahkam, Syekh Izzuddin memberikan alasan yang sangat logis, beliau mengatakan:

فإذا لم تحصل النكاية وجب الانهزام لما في الثبوت من فوات النفوس مع شفاء صدور الكفار وإرغام أهل الإسلام وقد صار الثبوت ههنا مفسدة محضة ليس في طيها مصلحة

Baca juga:  Praktik Nahi Munkar bil Ma'ruf: Mengingat Bapak

Artinya, “Apabila tidak bisa mengalahkan, seseorang wajib mengalah karena perlawanan (dalam keadan ini) justru mengakibatkan kematian, dan hanya akan membuat senang orang kafir yang terus menghina kaum Muslim. Perlawanan seperti ini hanya menimbulkan kerusakan, bukan kemanfaatan.” (Lihat, Qawa’idul Ahkam, juz 1, h. 95)

Oleh karenanya, menurut Syekh al-Buthi, dalam tahapan ini yang didapatkan tidak hanya kemaslahatan jiwa. Sebab, dari sisi hakikat dan rencana jangka panjang, tahapan ini pun mengandung kemaslahatan agama. Karena, keberlangsungan atau kemaslahatan agama menuntut keselamatan hidup kaum Muslim. Jika mereka bisa bertahan hidup, mereka bisa melakukan jihad dan terus menyebarkan dakwah di medan-medan jihad lainnya yang masih terbuka. Sebaliknya, jika mereka mati, tentu agama pun terancam punah dan semakin banyak kesempatan yang dimiliki kaum kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup. (Lihat, Fiqih as-Sirah an-Nabawiyah, h. 83)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top