Sedang Membaca
Cara Pandang Kita Terhadap Orang Lain yang Berubah
Kemas M. Intizham
Penulis Kolom

Lahir di Jambi. Kuliah S1 dan S2 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sekarang mengajar di Pesantren An-Nur dan UIN Sultan Thaha Jambi.

Cara Pandang Kita Terhadap Orang Lain yang Berubah

Kata orang-orang, sekarang kita hidup di zaman modern. Entah modern seperti apa yang mereka maksud. Apakah modern itu ditandai dengan setiap orang yang mondar-madir sambil pegang gadget? Ataukah kalau di lampu merah bertemu anak-anak gaul kekinian yang sedang potrat-potret di garis hitam-putih? Atau era modern itu adalah era kebebasan? Lantas kebebasan seperti apa yang dimaksud?

Yang jelas, kita sedang hidup ketika orang-orang sudah bebas menyampaikan pendapatnya. Tanpa perlu menimbang perasaan orang lain terlebih dahulu. Bebas mengomentari kehidupan orang lain. Bebas menjadi hakim yang dapat menghakimi segala macam masalah di dunia ini. Kita juga hidup pada saat semua menjadi hitam atau putih. Benar atau salah. Baik atau buruk. Selatan atau utara. Tidak ada lagi pilihan ketiga.

Saya punya kenangan yang tidak bisa saya lupakan semasa kuliah. Saya punya seorang teman yang agak gila. Suka melakukan hal-hal yang enggan dilakukan orang biasa. Suatu hari ia mencukur rambutnya hingga botak. Penampilannya sangat berubah. Hanya jenggotnya saja yang tidak ia cukur. Ia pun bercerita kepada saya tentang reaksi para dosen dan teman-teman ketika bertemu dengannya. Tatapan-tatapan sinis seperti orang asing yang baru bertemu yang ia dapati. Pertanyaan-pertanyaan seputar aliran apa yang ia anut sekarang. Sungguh ia seperti orang baru. Padahal ia adalah orang yang sama.

Baca juga:  Dakwah Sebagai Media Transformasi Sosial (1)

Teman saya itu cerita kepada saya: “Saya sengaja mencukur rambut saya, memanjangkan jenggot saya dan menaikkan celana saya hingga ke atas mata kaki. Itu saya lakukan hanya untuk merasakan apa yang selama ini telah dirasakan ikhwan berjenggot itu. Ternyata saya mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif. Mereka tidak lagi memandang saya sebagai mahasiswanya dan bahkan temannya, melainkan seorang yang salah jalan dan harus dibenarkan.” Hmmmm. Susah juga yah hidup sekarang ini. Mencukur jenggot dikata tidak ikut sunnah Rasul. Lah giliran memelihara jenggot, malah dianggap seperti orang asing.

Saya bisa menyimpulkan, saat itu ia baru saja menonton film “PK” yang dibintangi Aamir Khan. Film Bollywood yang rilis pada akhir 2014 lalu. Film yang menimbulkan kontroversi di negaranya, India. Tetapi menjadi salah satu film paling laris sepanjang sejarah Bollywood. Adegan-adegan yang ada di film itu nyata adanya. Benar-benar terjadi. Bukan omong kosong. Orang-orang menilai orang lain lewat pakaian yang ia kenakan. Padahal itu tidak bisa dijadikan dasar kepastian.

Cerita teman saya itu membuka pikiran yang selama ini ada di kepala. Sejak kapan saya mulai membedakan antara satu sama lain dengan tampilan yang ia kenakan? Sejak kapan pula saya membentengi diri untuk enggan bergaul dengan orang yang tidak sepaham dengan saya?

Baca juga:  Buku dalam Benak Ibnu Khaldun

Ditambah lagi jika memasukkan polarisasi politik pasca pemilu tahun 2014 lalu. Pemilu yang dampaknya begitu panjang dan tidak pernah sudah-sudah. Setidaknya sampai hari ini. Bela kebijakan pemerintah dituduh cebong. Kritik pemerintah dianggap kadrun. Bahkan membela dan mengkritik tokoh tertentu tidak pernah lepas dari stigma tersebut. Tidak ada hal positif yang didapat. Hanya merusak pertemanan. Menambah musuh. Bahkan kepada orang yang belum pernah bertemu sekali pun, bisa menjadi musuh. Padahal tidak kenal secara personal.

Saya pernah mengalami itu. Melepaskan kesempatan untuk berkenalan secara langsung kepada seorang cendikiawan. Orang yang tulisannya banyak sekali dimuat di alif.id.  Ya, pada 2017 lalu, tepat pada haul Gus Dur di Ciganjur, saya duduk dekat sekali dengan Mas Amin Mudzakkir. Karena isi kepala saya saat itu beliau adalah seorang cebong cum buzzer, saya urungkan untuk menyalaminya. Maafkan saya ya, Mas. Padahal, jika tidak ada polarisasi macam itu, saya bisa menyalaminya lalu ngobrol serta mengenalkan diri. Dan tentu saja selfie.

Memandang orang lain lewat pakaian tertentu adalah cara pandang kita kepada orang lain pada saat ini. Orang-orang bisa dijustifikasi dengan stigma tertentu lewat cara ia berpenampilan. Hal yang paling menyedihkan adalah, kita bisa bermusuhan kepada siapa saja yang berbeda pilihan politik. Sementara orang-orang yang karena mereka banyak orang bermusuhan, mereka baik-baik saja. Berteman begitu mesra dan akrab. Sampai kapan cara pandang seperti ini akan selesai? Tidak ada yang tahu!

Baca juga:  Lapis-lapis Penghayat Kepercayaan

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top