Selama ini, kata ‘pencitraan’ memiliki arti yang kurang baik di mata para manusia. Bila melihat asal katanya, pencitraan berasal dari kata citra. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online mendefinisikan citra sebagai gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk.
Bila melihat definisi kata citra, maka dapat disimpulkan bahwa pencitraan memiliki arti sebuah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan hal-hal baik dengan tujuan agar orang lain memandangnya sebagai sosok yang baik.
Reza Nugraha Setiawan dalam tulisannya “Personal Branding” Vs Pencitraan (Kompas.com, 13/02/2017) menjelaskan bahwa sebenarnya, pencitraan lebih terkait kepada kegiatan yang dilakukan untuk membentuk citra seseorang sesuai keinginan atau harapan publik guna mendapatkan simpati, kadang kala usaha ini dilakukan juga untuk menutupi sesuatu yang buruk. Atau dengan arti lain, pencitraan adalah “pembungkusan diri” dengan gambaran yang disukai oleh publik, walaupun apa yang diberikan sebagai value (nilai) kadang tidak jelas atau bahkan cenderung “kosong”.
Biasanya, pencitraan ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan menjelang Pemilu, Pilkada, Pilkades, dan momentum pemilihan tokoh-tokoh. Pada momentum seperti ini, mereka (para calon-calon pemimpin dan wakil rakyat) biasanya akan saling adu pencitraan (misalnya dengan melakukan beragam aksi sosial, termasuk merayu lewat janji-janji manis) agar masyarakat merasa kagum, kesengsem dengan pesonanya, lantas dengan mantap akan memilihnya.
Kebaikan Murni Tanpa Pencitraan
Berbicara tentang berbuat kebaikan memang sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Bahkan kita diajarkan agar saling berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Misalnya, saling berlomba-lomba melakukan sedekah dan berbagai aksi sosial lainnya, untuk meringankan beban dan penderitaan rakyat. Namun, bila kebaikan tersebut memilik maksud atau tujuan terselubung, maka hal ini tentu tidak diperkenankan. Misalnya, seorang calon wakil rakyat yang hanya akan berbuat baik ketika jelang Pemilu, tujuannya tentu agar dianggap baik dan kelak dipilih oleh rakyat. Ketika ia sudah terpilih (atau tidak terpilih) menjadi wakil rakyat, dia menghentikan perbuatan baiknya.
Maka tak usah merasa heran bila ada calon pemimpin merasa tertekan, stres, hingga masuk ke dalam rumah sakit jiwa gara-gara ambisinya menjadi wakil rakyat tidak tercapai. Mungkin, ia merasa tertekan dan sangat rugi telah mengeluarkan uang beratus-ratus juta untuk berbuat kebaikan yang tujuannya pencitraan belaka. Oleh karenanya, ketika kita hendak berbuat kebaikan, berusahalah berbuat tanpa ada pamrih atau niat terselubung. Jangan sampai perbuatan baik yang secara rutin kita kerjakan terkotori oleh niat “mencitrakan diri” untuk mengelabuhi publik.
Sekali lagi saya tekankan, ketika kita hendak berbuat baik, berbuat baiklah karena kebaikan itu memang telah menjadi dasar sifat manusia. Kalau pun orang-orang lantas mengenal kita sebagai sosok yang gemar berbuat kebaikan terhadap sesama, itu memang risiko atau imbas positif yang memang sudah menjadi keniscayaan dari hukum efek timbal balik; barang siapa yang gemar berbuat kebaikan maka orang-orang akan menjulukinya sebagai orang baik dan dermawan. Namun, julukan tersebut jangan lantas menjadikan kita jumawa dan berbangga diri.
Bukan Tradisi Islam
Hannan Putra, dalam tulisannya Pencitraan dalam Bingkai Islam (Republika, 04/12/2015) menguraikan, pencitraan sebenarnya tak pernah ada dalam tradisi kepemimpinan Islam. Jangankan melakukan pencitraan diri, mengajukan diri sebagai pemimpin saja merupakan hal tabu dalam adab Islam. Nabi Muhammad Saw. kerap menegur para sahabatnya yang begitu berambisi dengan kekuasaan. Terkait hal ini, Nabi pernah berpesan kepada Abdurrahman Ibnu Samurah r.a., “Janganlah engkau meminta jabatan. Sebab, jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk melaksanakannya. Tetapi, jika engkau diberi kekuasaan dengan sebab adanya permintaan darimu, maka engkau akan dipalingkan dari pertolongan Allah” (HR. Bukhari Muslim).
Bila hadis nabi tersebut kita pahami serta renungi, ternyata menjadi seorang pemimpin itu luar biasa berat, terlebih bagi mereka yang sedari awal berniat “mencalonkan diri” sebagai pemimpin. Nabi bahkan melarang sahabatnya yang secara langsung atau terang-terangan meminta jabatan (meminta di sini bisa dimaknai dengan mencalonkan diri sebagai pemimpin). Namun entah mengapa banyak orang yang sangat ingin (berambisi) menjadi sosok pemimpin dengan cara-cara licik seperti melakukan beragam pencitraan agar dianggap baik, sementara kebaikan-kebaikan tersebut hanyalah bersifat sementara, alias sekadar pencitraan di awal. Selanjutnya, setelah ambisinya menjadi pemimpin telah tercapai, ia lupa dengan janji-janji manisnya dan berhenti melakukan kebaikan seperti saat sebelum menjadi pemimpin. (RM)