Kita barangkali mengalami, di lingkungan kerja, pergaulan, kebertetanggaan, bahkan di keluarga kita sendiri, ada gejala perubahan yang signifikan dalam memahami dan menghayati agama. Pelabelan ‘kafir’ begitu sering dilakukan, justru bukan oleh golongan yang berbeda teologi, melainkan misalnya muslim terhadap muslim, di mana latarbelakang ketauhidannya tidak bertentangan.
Dari tudingan kafir tersebut lahirlah bibit kemarahan, kebencian, hingga teror. Sebuah fenomena ironis yang menggelikan.
Hal semacam itu hanya salah satu contoh keseharian mengenai praktik keberagamaan kita masa kini. Ada pemberlakuan nilai-nilai moral mengenai baik dan buruk, benar dan salah, suci dan tidak suci berdasarkan satu tafsir tunggal yang secara otoritatif dikuasai kelompok tertentu.
Agama tidak lagi merupakan tuntunan akhlak juga sikap demi mengenal dan menjadi insan Tuhan, melainkan hukum untuk menilai manusia dari kacamata Tuhan itu sendiri. Sebuah pendakuan kebenaran yang sangat subyektif dan delusif. Bagaimana kita selaku manusia hasil ciptaan Tuhan, mampu mengetahui isi kepala Tuhan, lalu bertindak sesuai dengan acuan “pengetahuan kebenaran” tersebut? Ini seperti poin catur yang bergerak sendiri tanpa sentuhan jari sang pemain.
Tiada seorangpun manusia memiliki pengetahuan tentang keilahian berdasarkan sekadar hasil temuan observasi. Keilahian senantiasa terselimuti kabut abadi dalam penalaran manusia karena hakikat kefanaan kita. Sehingga, suatu pemutlakan kebenaran tentang Tuhan dalam laku beragama tertentu akan menjadi hal yang absurd, sebagaimana kita pun tidak sanggup mengetahui batas-batas Alam Semesta sebagai bagian dari ciptaan-Nya.
Meyakini “kebenaran” agama selalu mengandung sisi subyektif karena terkait dengan pengalaman spiritual tertentu. Tuhan tidak semata-mata hadir karena kita berpikir Dia ada, atau karena berhasil melihatNya tersenyum dari balik langit, melainkan karena Dia mampu menyentuh tubir jiwa kita hingga kita pun menyerahkan diri dalam iman.
Sebaliknya, kaum fundamentalis justru tergelincir dalam jerat ilusi dogmatik mereka. Memutlakan hasil penafsiran sebagai suatu pengetahuan berhukum positif yang memiliki logika matematis rigid, sehingga berasumsi kebenaran tersebut tidak bisa dipatahkan.
Kepincangan Praktik Toleransi
Katakanlah, tindakan dan praktik beragama kita didasarkan atas kebenaran pengetahuan tentang Tuhan. Kebenaran pengetahuan tentang Tuhan bersumber pada Alquran dan hadis. Kebenaran tentang Alquran dan hadis, jangan dipertanyakan lagi, adalah berasal langsung dari Tuhan dan utusanNya.
Sayangnya, kita luput menyadari bahwa setelah berganti abad dan generasi, Alquran dan hadis tidak mampu mengejawantahkan dirinya sendiri kecuali karena ada para ulama yang menafsirkan kandungan nilai dan pengetahuan di dalamnya.
Artinya, sebuah penafsiran pada teks suci an sich justru akan mengalami kebuntuanx apabila tidak dihadapkan pada pedoman penafsiran lain berkaitan dengan konteks sejarah, sosial, kultur, dan politik zaman tertentu.
Sebagaimana dalam pemikiran Karlina Supelli, apabila dengan kerendahan hati kita memahami bahwa pengetahuan apapun, termasuk sains dan agama, memiliki ciri antropologis di dalamnya, barangkali kita akan terhindar dari fanatisme atas pengetahuan tersebut. Pengetahuan bukanlah wahyu karenanya tidak pernah steril dari sifat manusia sebagai perumusnya. Agama sebagai tatanan dan praktik pengetahuan juga mengandung ciri antropologis yang membuatnya memiliki batas-batas cakrawalanya sendiri.
Bahwa kebenaran dalam pengetahuan tersebut perlu dipegang teguh untuk menjaga bangunan epistemologinya itu benar, tapi oleh sebab sifatnya yang dinamis sesuai dengan pencapaian dan kondisi zaman yang melahirkan, bukan berarti pengetahuan harus diabsolutkan. Hal itu justru akan mengurung dan menghalangi perkembangan pengetahuan demi mencapai hakikatnya, yakni mewujudkan kehidupan dan manusia yang lebih baik.
Dalam hal perjuangan pluralisme melalui praktik toleransi misalnya, kita tidak akan bisa menembus akar persoalan yang menyebabkan tindak teror dalam beragama apabila kita tak memahami ikat persilangannya dengan persoalan lain, seperti kemiskinan, pendidikan, politik global, dan kehausan spiritual. Tanpa berangkat dari nilai pemahaman dan kesalingmengertian mengenai perbedaan, kita tidak akan mampu mencapai prinsip toleransi. Akan tetapi, prinsip toleransi saja tak bisa mencapai maksudnya apabila tidak diiringi dengan pengetahuan atas aspek-aspek persoalan lain yang terkait.
Iman dan Misteri Pengetahuan
Pengetahuan mengenai awal penciptaan semesta, hingga kelahiran dan kematian kita, tak pernah terpecahkan. Pengetahuan yang kita bangun tentang itu selalu menyisakan misteri. Laksana kain pengetahuan yang tidak pernah selesai ditenun.
Di atas pesona misteri itulah, manusia selalu berupaya memberi bahasa dan makna atas ketidaktahuan. Semata-mata menyelamatkan jiwa dari ketakutan atas hal-hal yang tidak, atau belum diketahui. Barangkali di ranah ini teologi dan agama memiliki peran penting dalam membantu manusia meniti satu jembatan misteri ke jembatan misteri lainnya. Misteri yang juga tidak mampu sepenuhnya dijawab oleh sains.
Hal yang mengganggu dalam perkembangan agama dewasa ini, ada kecenderungan fanatisme, terutama di tubuh Islam. Kecenderungan memurnikan agama dari elemen-elemen di luar teks suci. Anggaplah ini merupakan sebuah cara demi memecahkan persoalan rumit dari hidup manusia, di aspek apapun itu. Namun, pemberlakuan dogmatik pada praktik beragama mengandaikan kebenaran otentik atas petunjuk dari teks suci, yang tentu saja telah ditafsirkan ulang oleh kelompok pengimannya.
Jika praktik keagamaan sebagai ekspresi seluruh nilai, norma, dan aturan agama dirangkum dari rasionalitas dalam bentuk tafsir, berarti secara tidak langsung meyakini bahwa penalaran sebagai satu-satunya jalan menuju ‘kebenaran’. Padahal, dalam menjalani agama seseorang tidak bisa sebatas bertumpu pada akal, ada keterlibatan intuisi dan emosi yang lahir dari ragam pengalaman. Dengan demikian, agama dapat dihayati secara mendalam. Menjadi beriman bukan karena sebatas membaca teks suci, melainkan karena telah mengalami gejolak spiritual. Di titik inilah keimanan dan spiritualitas perlahan mewujud serta meneguhkan dirinya.
Akhirnya, gejala dogmatisme agama yang tengah menjangkiti kehidupan kita menjadi sebuah penanda ilusi ketakterbatasan nalar dan keimanan yang semu.
Pendakuan kebenaran lewat tafsir tunggal dan sepihak pada dasarnya bukan mengacu pada kebenaran ilahiah –yang selamanya berada di luar kuasa dan daya pengetahuan manusia– tetapi justru menghamba pada otoritas nalar yang terkunci, tanpa mau membuka diri pada kemungkinan penafsiran lain dan pada sumber pengetahuan lain, terutama hati kita sendiri.