Sedang Membaca
Membedah “Manuskrip Sunan Kudus” di Leiden
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Membedah “Manuskrip Sunan Kudus” di Leiden

Jan Just Witkam, seorang profesor paleografi dan kodikologi dalam dunia Islam di Universitas Leiden mencatat bahwa sebelas manuskrip berkode Or. 3040 hingga Or. 3050 dibeli pada 1885 dari Antonie Rutgers (1805-1884), seorang profesor bahasa Yahudi di Universitas Leiden sejak 1837.

Namun dia kemudian beralih mendedikasikan hidupnya untuk mengkaji bahasa Sanskerta. Oleh Prof Kern, dia dianggap sebagai “Bapak Kajian Bahasa Sanskerta” di Belanda. Lebih dari itu, dia juga mengerti bahasa Arab. Dia telah mengedit sebuah kitab berbahasa Arab.

Ketertarikannya dengan bahasa Arab, lebih lanjut dapat kita lihat dari sebelas koleksi manuskripnya ini. Tujuh dari sebelas manuskrip ini berbahasa Arab. Dua manuskrip berbahasa Turki. Satu manuskrip berbahasa Latin. Sedangkan satu terakhir adalah manuskrip yang kita bahas (Jan Just Witkam, Inventory of The Oriental Manuscripts of The Library of The University of Leiden, vol. 4, 2007, h. 13).

Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, seorang cendekiawan sastra Jawa Kuno, memperkirakan bahwa manuskrip ini berasal dari Kudus abad ke-17 (Literature of Java, vol. II, Nyhoff, 1968, h. 76). Memang beberapa teks yang dikandung manuskrip ini adalah ajaran dari Sunan Kudus.

Namun, hal itu tidak mengharuskan bahwa ia ditulis di Kudus. Sedangkan untuk usia manuskrip, kita tidak memiliki data yang cukup. Selain tidak ada nama penulis yang disebutkan, naskah ini juga tidak mengandung kolofon (informasi kapan ia dituliskan).

Baca juga:  Meluruskan Kekafiran Filsuf Muslim dan Kritik Pemikiran Al-Ghazali

Meskipun demikian, para filolog terkadang memprediksi usia naskah dari kosakata, gaya bahasa, dan elemen-elemen bahasa lainnya yang muncul dalam suatu naskah. Kita akan kembali kebahasan ini lebih dalam setelah kita mendeskripsikan kondisi naskah secara umum.

Manuskrip ini dalam kondisi yang sangat bagus. Kecuali halaman pertama yang terdapat lubang, keseluruhan kertas dalam keadaan tanpa cacat. Ia ditulis di alas kertas daluwang. Aksara yang digunakan adalah Arab-Pegon, sedangkan bahasanya adalah bahasa Jawa.

Beberapa katalog secara keliru menyebutkan bahwa manuskrip ini mengandung 57 halaman. Kesalahan ini disebabkan oleh kesalahan penomoran halaman yang merupakan tambahan baru ketika dia disimpan di perpustakaan.

Penomoran ini keliru karena tidak menghitung halaman pertama yang berisi catatan pendek wirid pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadan. Artinya seharunya keseluruhan halaman manuskrip ini adalah 58 halaman. Pada setiap halaman terdapat 14 baris teks, kecuali pada halaman pertama yang hanya mengandung 12 baris teks dan halaman kedua yang mengandung 19 baris teks normal serta tiga baris tambahan ditulis di sisi kiri dari bawah ke atas. Pada halaman 10, 13, 15, 16, 24, 26, 27, 33, 36, 39, 40, 41, 45, 53, 57, dan 58 terdapat kata tambahan di luar ruang penulisan teks, yaitu di bagian margin kiri dan kanan.

Witkam dan Pigeaud memberikan catatan khusus tentang betapa buruknya ejaan kata dalam manuskrip ini.

Dengan melihat secara detail naskah ini, kita dapat membenarkan hal ini. Penulisan ejaan kata dalam bahasa Arab dan bahasa Jawa sama buruknya. Kekeliruan ini dapat dibagi ke dalam empat jenis.

Baca juga:  Di Pesantren, Pengajaran Menulis Arab Pegon Lemah

Pertama adalah memisahkan bagian kata yang harusnya disambung. Misalnya dalam penulisan takbir tul ihram pada halaman 58 yang dipenggal menjadi tiga kata, semestinya ditulis takbiratul ihram terdiri dari dua kata saja.

Kedua adalah menggabungkan dua kata, atau sebagian dari kata kedua, yang harusnya ditulis secara terpisah. Misalnya pada penulisan kata denpesthi di halaman 58 yang mestinya ditulis terpisah antara huruf nun pada kata den dengan huruf fa’ pada kata pesthi.

Ketiga adalah memisahkan huruf dalam satu kata yang semestinya disambung. Misalnya pada penulisan kata tunggal di halaman 58. Huruf “ng” (´ain dengan titik tiga di atas) harusnya disambung dengan huruf “g” (kaf dengan titik satu di bawah), bukan dipisah seperti dalam yang tertulis dalam manuskrip ini.

Kesalahan yang sama terulang ketika menuliskan kata ingkang dan pinanggih. Di banyak tempat di manuskrip ini huruf ´ain dan huruf kaf dalam satu kata secara keliru ditulis terpisah.

Terakhir adalah tidak konsisten menggunakan satu huruf. Huruf “p” secara bergantian diwakili dengan fa’ dan fa’ dengan titik tiga. Selain itu, huruf “g” secara bergantian

Dari bukti ini kita patut berkesimpulan bahwa penulisnya bukan merupakan seorang yang memahami dengan baik bahasa Arab dan cara penulisannya. Juga sangat mungkin bahwa ia bukanlah seorang yang berinteraksi secara intens dengan teks-teks berbahasa Arab, untuk nantinya diberikan terjemahan antarbaris.

Baca juga:  Kenusantaraan yang Bagai Semar Sang Pakubumi

Bila penanggalan dari Pigeaud benar, maka kita bisa membandingkan manuskrip ini dengan maunskrip berkode Sloane 2645 dari masa yang sama, tepatnya yaitu 1623. Manuskrip ini mengandung teks makna gandul dari kitab fikih populer di Jawa, Muqaddimah Ba Fadhal.

Penulisnya menunjukkan bahwa dia adalah catatan santri di pesantren atas kajian kitab ini. Ejaan kata dari bahasa Arab dan bahasa Jawa di manuskrip ini tepat. Kekeliruan fundamental pada manuskrip Or. 3050 tidak terdapat sedikit pun di manuskrip Sloane 2645.

Dari sini kita dapat mengatakan bahwa penulis manuskrip Or. 3050 bukanlah seorang yang sudah matang dalam studinya di pesantren. Bahkan mungkin ia adalah bagian dari sub-kultur pesantren yang disebut oleh Ahmad Baso sebagai santri pendengar (mustami’).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top