Sedang Membaca
Islam Banjar dan Politik (5): Tradisi, Haji, dan Negara dalam Pengalaman Urang Banjar
Supriansyah
Penulis Kolom

Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute Banjarmasin

Islam Banjar dan Politik (5): Tradisi, Haji, dan Negara dalam Pengalaman Urang Banjar

Whatsapp Image 2021 11 23 At 23.08.23

Haji bagi masyarakat Banjar, sebagaimana umat muslim lainnya, tidak terbatas pada ritual belaka, ada sekian unsur lain yang berkelindan dengan rukun Islam kelima ini. Diantaranya, urang Banjar memandangnya sebagai bagian dari ekspresi kesalehan di ruang publik. Dus, hasrat masyarakat Banjar berangkat haji terhitung salah satu yang tertinggi di Indonesia.

Hal tersebut bisa dilihat dari angka keberangkatan haji yang terus meningkat setiap tahunnya di Kalimantan Selatan. Tercatat sekitar puluhan ribu orang masih harus mengantri untuk bisa berangkat ke tanah suci. Bahkan, beberapa pasangan muda juga sudah mulai ikut mengantri, ini disebabkan daftar tunggu keberangkatan yang sudah mencapai puluhan tahun.

Adapun dalam setiap perbincangan prosesi haji di Indonesia, termasuk tanah Banjar, maka Negara sebagai operator utama dalam pelaksanaan haji tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Di mana hampir seluruh proses keberangkatan haji terkait atau diurus oleh Negara, hanya ada sedikit agen-agen travel keberangkatan haji dan umrah yang dapat pemberangkatan, dan itupun tetap harus berkoordinasi dengan negara.

Dalam kondisi seperti itu, dinamika haji di masyarakat Banjar yang memiliki perjumpaan intens dengan Negara pasti menyimpan banyak cerita di dalamnya. Setelah banyak mendengar dan membaca catatan terkait haji yang dilakukan oleh urang Banjar, kehadiran Negara atau politik di dalamnya selalu saja mendapatkan porsi tertentu. Bahkan termasuk berbagai irisan terkait tradisi dalam masyarakat Banjar terkait keberangkatan haji yang masih berkompromi atau bernegosiasi dengan kehadiran Negara.

Dalam pengalaman haji masyarakat Banjar memiliki irisan atau berbagi banyak hal. Seperti pengalaman Adul, pedagang asal Barabai, yang mengaku harus bermalam di penginapan sekitar Asrama Haji Banjarmasin karena ingin memenuhi keinginan keluarganya, untuk bisa melakukan tradisi penyambutan kedatangan jemaah haji di rumah Adul.

Baca juga:  Hari Santri: Bagaimana Hubungan NU dan Muhammadiyah?

Adapun dalam tradisi penyambutan jemaah haji di masyarakat Banjar terdapat beberapa rangkaian seremoni. Seorang jemaah haji yang datang ke kampung halaman biasa mendapatkan berbagai sambutan dari masyarakat hingga menjalani berbagai tradisi dan ritual. Dimulai dari seorang jemaah haji biasanya sebelum ke rumah harus berziarah kubur orang tua atau keluarga dan melakukan salat di masjid terdekat dari rumah.

Tradisi tersebut dilakukan untuk mengenang dan mendoakan orang tua atau keluarga, karena seseorang yang baru datang dari tanah suci dianggap memiliki keberkahan dan doanya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun salat di masjid dimaknai sebagai perjalanan haji yang dilakukan adalah dari masjid ke masjid.

Sedangkan di tempat tinggal, warga setempat atau keluarga biasanya sudah membangun  Lawang sakiping (sejenis gapura buatan bermotif atau bergambar masjid, dan dipasang di dekat jalan masuk ke rumah orang yang berangkat haji), dan di antara rumah dan lawang sakiping tersebut biasanya dibentangkan kain putih di atas kepala.

Jadi, ketika si jemaah haji sudah tiba, dia harus berjalan melewati lawang sakiping tersebut dan di bawah kain putih tersebut, biasanya disambut dengan bacaan salawat kepada Nabi Muhammad. Hal ini dimaknai oleh masyarakat Banjar sebagai menyambut keberkahan yang dibawa oleh jemaah haji. Oleh sebab itu, mereka yang menyambut biasanya memeluk dan meminta didoakan oleh jemaah haji, sebagai tanda tabarrukan (baca:mengambil berkah). Biasanya ditutup dengan jemaah haji yang datang membaca doa.

Baca juga:  Sengkarut Kasus Pelecehan Seksual oleh Anak Pengasuh Pesantren

Bisa dibayangkan bagaimana sibuk dan betapa ramai sambutan dan tradisi di masyarakat Banjar dalam proses kedatangan jemaah haji. Kisah di atas hanya sebagian dari bagaimana tradisi urang Banjar dalam urusan ibadah haji. Oleh sebab itu, pengalaman Adul yang harus mengkalkulasi ulang kepulangannya ke rumah, karena kedatangan dia ke tanah air pada malam hari, yang sangat tidak mungkin melakukan beragam tradisi dan sambutan tersebut.

Kasus Adul hanya secuil cerita dari bagaimana haji dan Negara saling tarik menarik dan memaksa masyarakat Banjar, untuk bernegosiasi ulang atau memformat ulang tradisi yang selama ini dilaksanakan. Dinamika kedatangan atau kepulangan jemaah haji yang diatur dengan kesesuaian jadwal pesawat terbang saja, sudah cukup banyak mempengaruhi bagaimana masyarakat Banjar menjalankan tradisinya.

Namun, narasi resistensi atas pelayanan dari Negara juga dapat kita temukan dalam pengalaman haji urang Banjar. Seperti dalam bagaimana pembelajaran manasik haji masyarakat Banjar, di mana mereka lebih terbiasa melakukan manasik dengan para Tuan Guru (ulama). Sebab, tuan guru dianggap lebih kompeten dan materi yang disampaikan juga dipercaya diambil dari sumber-sumber yang lebih valid.

Arkian, posisi pembimbing dan bimbingan ibadah dari Negara sedikit “diabaikan” oleh masyarakat Banjar. Namun dari sisi lain, kondisi tersebut juga memunculkan kerumitan lain, di mana tidak jarang terjadi ketidakseragaman dalam pelaksanaan haji di tanah suci, yang sedikit banyak dapat menganggu menambah permasalah dalam perjalanan, seperti perbedaan batas terakhir atau miqot pemakaian Ihram, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Filosofi Santri dan Hari Santri: Ngaji, Muji, dan Bakti

Menariknya, kondisi tersebut juga memunculkan “ruang kosong” yang kemudian “dimanfaatkan” oleh oknum untuk mengambil keuntungan material, yang nilainya disebut cukup fantastis. Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Raihani, Irfan Noor, dan Muhammad Iqbal yang diterbitkan menjadi buku “Urang Banjar Naik Haji : Teks, Tradisi, Dan Pendidikan Nilai Kalangan Haji Banjar Di Nusantara”,  dituliskan bahwa terjadi komodifikasi agama dalam pelaksanaan haji urang Banjar.

Sepanjang pembacaan saya atas buku tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa komodifikasi dalam ibadah haji terjadi akibat dari kekosongan otoritas pelaksana dalam pelaksanaan, dan ketidakpercayaan publik atas pelayanan haji yang dijalankan pemerintah (baca: Negara). Akibatnya, oknum-oknum yang melakukan komodifikasi dalam ibadah haji tersebut menyediakan berbagai layanan yang tidak bisa dihadirkan oleh Negara, dengan meminta imbalan yang beragam.

Uniknya, sebagian besar layanan yang dihadirkan oleh para oknum tersebut adalah layanan yang tidak dapat dijangkau oleh Negara dengan berbagai alasan, walau mayoritasnya masih terkait dengan tradisi di masyarakat. Dari layanan Ojek mencium Hajar Aswad hingga pelayanan Badal Haji (penganti pelaksana haji) dan Dam (denda) adalah sebagian kecil layanan yang mereka sediakan.

Kompleksitas hubungan antara haji, tradisi, dan Negara dalam pengalaman urang Banjar tidak bisa dibilang sederhana, ada pasang-surut dan naik-turun yang terus mewarnai hingga sekarang. Ada berbagai narasi dan kerumitan yang muncul dan berkelindan dalam pelaksanaan haji di masyarakat Banjar. Apa yang dialami Adul hingga komodifikasi ibadah terangkum cukup jelas dalam pengalaman kalangan haji Banjar.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top