Di sebuah sudut Kabupaten Jember, tepatnya di wilayah Pabrik Gula Semboro, tersimpan tradisi yang tak hanya berbicara tentang ritual agraris, tetapi juga menyuarakan jejak panjang sejarah sebuah bangsa yang pernah dijajah. Petik Tebu Manten, begitu tradisi ini dinamai, bukan hanya soal memulai masa giling tebu, tetapi sebuah potret harmonisasi antara warisan lokal dan narasi kolonial yang membayanginya.
Setiap tahunnya, ketika musim giling tiba, Pabrik Gula Semboro menjadi saksi sebuah prosesi yang penuh makna. Sepasang tebu dipilih secara khusus untuk “dijodohkan” dan dirias layaknya pengantin. Tebu manten itu diarak menuju pabrik, diiringi doa-doa dan seni tradisional, sebagai simbol kesuburan dan harapan hasil panen yang melimpah. Namun, keindahan tradisi ini menyimpan jejak sejarah panjang yang membawa kita kembali ke masa kolonial Hindia Belanda.
Jejak Kolonialisme dalam Petik Tebu
Pabrik Gula Semboro, seperti banyak pabrik lainnya di Jawa, dibangun pada masa kolonial sebagai bagian dari politik tanam paksa (cultuurstelsel). Tebu menjadi komoditas utama untuk memenuhi tingginya permintaan gula di pasar Eropa. Dalam proses itu, tanah dan tenaga kerja pribumi dieksploitasi, menjadikan tebu simbol kekayaan bagi pemerintah kolonial dan penderitaan bagi rakyat. Di tengah tekanan itu, tradisi seperti petik tebu manten lahir. Ritual ini awalnya digunakan oleh pengelola pabrik kolonial untuk menciptakan ilusi kebersamaan antara penguasa dan pekerja. Dengan memanfaatkan ritual lokal, semangat kerja dibangun, namun di sisi lain, dominasi kolonial semakin kukuh.
Meski begitu, masyarakat pribumi tak sepenuhnya tunduk pada skenario penjajah. Mereka menghidupkan kembali tradisi ini dengan cara yang merefleksikan identitas budaya mereka sendiri. Setiap elemen dalam prosesi—dari busana yang dikenakan tebu manten hingga iringan gamelan—menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap homogenisasi budaya yang diupayakan kolonial. Dalam perjalanan waktu, petik tebu manten menjadi ruang ekspresi kolektif, di mana seni, doa, dan kerja sama komunitas menyatu.
Walaupun tradisi ini kini terlihat sebagai perayaan budaya, bayang-bayang kolonial sulit dihapus sepenuhnya. Tradisi ini tak bisa dilepaskan dari Pabrik Gula Semboro, yang menjadi pusat ritual dan pengingat masa lalu yang penuh luka. Berdiri sejak 1921, pabrik ini adalah simbol eksploitasi di masa kolonial, tetapi kini menjadi saksi transformasi tradisi lokal. Dalam setiap alunan gamelan yang mengiringi arak-arakan, terselip pengakuan atas dualitas: tradisi ini adalah milik mereka, tetapi sejarahnya lahir dari sistem yang bukan milik mereka.
Ironisnya, masyarakat lokal berhasil berdamai dengan warisan ini. Mereka menghidupkan tradisi ini dengan kebanggaan, menjadikannya sebagai simbol keberanian untuk mempertahankan identitas budaya di tengah dominasi kolonial. Petik tebu manten bukan hanya ritual agraris, tetapi juga sebuah narasi tentang ketahanan budaya di tengah berbagai tekanan.
Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi
Seiring waktu, tradisi ini menghadapi tantangan baru. Modernisasi, perubahan struktur agraris, dan tekanan ekonomi global menjadi ancaman bagi keberlangsungannya. Pergeseran nilai di masyarakat juga membuat tradisi ini kehilangan sebagian daya tariknya, terutama bagi generasi muda yang lebih terhubung dengan budaya populer. Meski begitu, masyarakat Semboro tetap menjaga tradisi ini sebagai bagian dari identitas mereka.
Kini, petik tebu manten tak lagi sekadar ritual untuk memulai masa giling, tetapi telah menjadi simbol kebanggaan lokal. Dalam prosesi yang penuh warna ini, mereka merayakan warisan nenek moyang, menyerap pengaruh sejarah, dan memaknainya ulang sesuai kebutuhan zaman. Tradisi ini mengajarkan bahwa budaya adalah proses yang terus bergerak, beradaptasi, dan bertahan tanpa kehilangan akarnya.
Petik tebu manten adalah cerita tentang ketahanan budaya di tengah bayang-bayang kolonialisme. Di balik arak-arakan tebu yang penuh warna dan iringan gamelan yang memukau, tersimpan narasi panjang tentang perjuangan masyarakat agraris untuk menjaga identitas mereka. Pabrik Gula Semboro, yang dahulu menjadi simbol eksploitasi, kini menjadi saksi bagaimana budaya lokal mampu bertahan dan berkembang.
Tradisi ini adalah pengingat bahwa budaya bukanlah sesuatu yang statis. Ia hidup, menyerap, dan beradaptasi, melintasi batas waktu dan sejarah. Di antara doa-doa yang dipanjatkan dan irama gamelan yang mengiringi, terselip harapan bahwa warisan ini akan terus berlanjut sebagai simbol perlawanan, harmoni, dan kebanggaan komunitas, kini dan nanti.
Sumber bacaan:
Kuntowijoyo. (1987). Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Boomgaard, P. (1989). Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880. Amsterdam: Free University Press.