Sedang Membaca
Kopi dan Pemikiran Islam Penuh Rahmat
Mustain Romli
Penulis Kolom

Warga NU yang sedang menuntaskan studi (S1) di perguruan tinggi Universitas Nurul Jadid Probolinggo, sekarang sebagai mahasantri aktif di Ma'had Aly Nurul Jadid, paiton, probolinggo dengan konsentrasi fiqh-ushul fiqh.

Kopi dan Pemikiran Islam Penuh Rahmat

Bincang-bincang dengan ditemani kopi, baik di coffee shop atau tempat biasa menjadi bentuk sarana aktualisasi sosial-intelektual, tidak hanya di masyarakat secara luas, namun di lembaga-lembaga pendidikan khusus, seperti pesantren, baik santri ataupun para masyayikh –julukan untuk kiai-, sering kali di dalam perbincangan mereka, baik mengenai hal sederhana atau serius, seperti Bahtsul Masail –forum diskusi membahas permasalahan yang terjadi- ditemani dengan suguhan kopi sehingga acap kali muncul asumsi “berkumpul ngga asik tanpa ngopi”.

Biasanya ngopi bersama bagi kalangan pemikir dari kalangan akademisi atau non akademisi –bagi pecinta kopi- menjadi hal yang lumrah, lebih-lebih dikalangan santri yang dikenal serius dalam mengkaji permasalahan-permasalahan masyarakat yang selalu terbaharu disebabkan oleh perkembangan zaman, bahkan terkadang tidak hanya kopi semata namun ada sesuatu yang selalu membarenginya yaitu rokok.

Forum kajian serius bagi kalangan pemikir Islam akrap disapa dengan Bahtsul Masail, yang mana forum tersebut adalah sebuah forum diskusi yang melibatkan segala kalangan yang memiliki intelektual sangat komprehensif. Forum ini bertujuan untuk menjaga pemikiran Islam yang dikenal dengan pemikiran penuh rahmat serta menjawab permasalahan-permasalahan yang terbaharu di tengah masyarakat dan forum ini lebih menggunakan pendekatan tekstual kitab kuning. Arkoun menyebutnya sebagai pendekatan monolitik, sebuah pendekatan yang membatasi dirinya pada teks-teks tertulis.

Diakui atau tidak pemikiran Islam telah banyak diretas oleh sekte-sekte yang bersimpangan pemahaman dengan Ahlussunnah Wa Al-Jamaah, diretas dalam segi ideologi agama, yang semula pemikiran islam menebarkan rahmat-kontra radikal, lalu diubah menjadi penebar kekerasan bahkan dianggap menyokong radikalisme, sekte-sekte tersebut sering kali dianggap representasi dari agama islam, seperti ISIS –hanya menyebutkan contoh- padahal ideologi mereka dengan agama islam yang hakiki sangatlah bertentangan, oleh karenanya sekte-sekte yang menyimpang dengan pemahaman agama islam yang hakiki –Ahlussunnah Wal Jama’ah- disebut sebagai agama Islam bajakan.

Baca juga:  Petuah Ekologis dibalik Pesona Batik Priangan

Ada beberapa penyebab seseorang mau diajak ke dalam kelompok gerakan garis keras, sekurang-kurangnya ada 3 sebab, sebagaimana HM. Misbahus Salam dalam bukunya yang bertajuk Islam Rahmatan Lil Alamin, sebagai berikut:

Pertama, tidak memiliki wawasan keagamaan dan kebangsaan yang luas, sesuai dengan pemikiran paham Ahlussunnah Wal Jamaah. Pemikiran moderat dan penuh rahmat yang seharusnya diamalkan dan dijalankan oleh umat islam Indonesia tidak dijadikan rujukan, bahkan mereka tidak segan-segan menuduh kalangan Aswaja sebagai ahli bid’ah, syirik dan kafir.

Kedua, tidak memiliki posisi dan peran di tengah-tengah masyarakat, sehingga mencari eksistensi diri dan ruang aktualisasi, karena dilakukan tidak atas dasar yang objektif dan pemikiran yang sehat, maka mereka sering salah dalam melakukan pilihan aktualisasi diri. Anehnya lagi, pilihan paham yang mereka ikuti kerap mengancam paham dan prinsip-prinsip keislaman yang sudah dianut oleh masyarakat mayoritas yaitu masyarakat islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.

Ketiga, karena pengangguran dan lemah dalam bidang ekonomi. Dari beberapa pengamatan yang sudah dilakukan, banyak dari mereka yang tidak memiliki aktifitas yang begitu jelas. Bahkan yang lebih parah, mereka tidak memiliki dasar-dasar ilmu keagamaan yang cukup memadai.

Tiga faktor diatas muncul dikarenakan kurangnya pengayoman dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah atau kalah cepat dalam memberikan doktrin pemahaman ideologi agama islam yang hakiki, sehingga menyebabkan mereka masuk dalam kelompok Islam garis keras, lalu mudah didoktrin dengan ideologi yang membuat mereka mengambil jalan sesat. Doktrin yang telah mereka terima dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan menjamin mereka masuk surga, timbullah sikap eklusif-intoleran.

Faktor tersebut mencoreng beberapa ciri khas yang dimiliki oleh agama Islam yang sesungguhnya. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyyah (moderasi)”.

Dr (HC) KH. Afifuddin Muhajir, mengatakan “Islam itu indah”, akan menjadi tambah indah kalau disampaikan, diajarkan dan didakwahkan dengan cara yang indah”, ini yang disebut dengan dakwah santun yang berbudaya. Sebaliknya Islam akan tercoreng bila diajarkan dan didakwahkan dengan cara yang tidak baik. Salah satu manifestasi dari keindahan Islam adalah toleransi. Toleransi berarti tidak sama dengan justifikasi (pembenaran).

Baca juga:  Padasan, Padusan, Ramadhan: Budaya Menjaga Kesucian Melawan Wabah

Oleh karena itu pemikiran Islam yang murni dengan menebar rahmat-kontra radikal, moderat serta toleransi perlu dilestarikan, dirawat dan dijaga coro jowone “diopeni”. Memang tidak mudah menjaga (mengopeni) pemikiran islam, harus merasakan rasa pahit dalam memperjuangkannya, layaknya kopi yang dirasakan antara rasa pahit dan manis yang endingkan akan dirasakan kenikmatan dalam kopi tersebut.

Seandainya kopi dianalogikan sebagai agama Islam, kopi tersebut akan bisa dirasakan kenikmatannya, ketika kopi berada di tangan orang yang ahli dalam meraciknya layaknya para pendakwah islam ketika pemikiran Islam disampaikan dan didakwahkan sesuai dengan ciri khas Islam sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, maka wajah Islam akan dikenal sebagai agama yang memiliki pemikiran penuh rahmat, toleransi dan wasathiyah (moderat).

Sebaliknya ketika kopi berada ditangan orang yang tidak ahli dalam meraciknya, maka kopi tersebut akan dirasa sangat pahit bahkan tidak akan dirasakan kemanisan dan kenikmatan dari kopi tersebut, begitu pula pemikiran Islam akan salah dipahami ketika yang menyampaikan bukan dari kalangan orang yang kompeten dalam bidang tersebut, seperti Islam hanya dipahami dari kulit luarnya saja, tanpa tahu akan Islam yang sebenarnya. Dari sanalah para pembawa dakwah harus memahami makna islam dan dakwah yang sebenarnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top