Sedang Membaca
Tafsir Surah Al-Ma’un (Bagian 1)
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Tafsir Surah Al-Ma’un (Bagian 1)

Surah Al-Maun terdiri atas tujuh ayat dan dua puluh lima kata. Jumlah hurufnya sebanyak seratus dua puluh tiga. Nama lainnya adalah Surah Ad-Din dan surah Araita. Surah ini diturunkan di Mekkah dan di Madinah.

Surah Al-Maun ayat 1-3 diturunkan di Mekkah. Ketiga ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu Sufyan. Dia biasa memasak dua unta besar setiap hari untuk disantap bersama kaumnya. Namun, pada suatu hari, ada seorang anak yatim mendatangi pintunya dan meminta pertolongan. Alih-alih mendapat pertolongan, Abu Sufyan malah memukul anak yatim itu dengan tongkat dan mengusirnya.

Adapun ayat 4-7 diturunkan di Madinah. Menurut Ibnu Abbas r.a., empat ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik, karena mereka selalu memamerkan salat mereka di hadapan orang-orang mukmin sewaktu orang-orang mukmin di antara mereka. Tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada, maka mereka meninggalkan salat.

Mereka menunjukkan keshalehannya di depan kaum muslimin lain agar mendapat pujian dari publik. Tetapi tanpa sepengetahuan kaum muslim ketika sedang tidak bersama orang-orang munafik, maka perlakuan mereka sangatlah bertolakbelakang dengan apa yang mereka lakukan di depan banyak orang.

Lalu bagaimana bisa dua ayat 1-7 dikumpulkan menjadi satu surah? Dalam hal ini para ulama mengemukakan pendapat. Pendapat yang kuat mengatakan bahwa penyusunan ayat dalam suatu surah merupakan sesuatu yang sudah tauqifi, artinya sudah menjadi perintah Allah melalui Rasulullah. Sehingga ada banyak surah di dalam Alquran yang turunnya tidak bersamaan dan tidak secara urut. Sebab penurunan ayat biasanya didasarkan pada suatu peristiwa atau berdasarkan suatu pertanyaan yang dikemukakan kepada Rasulullah. Baik pertanyaan itu dimunculkan oleh sahabat, orang kafir atau orang Yahudi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan ayat yang diwahyukan kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril. Kendati demikian tidak semua ayat Alquran turun karena suatu peristiwa atau karena pertanyaan kepada Rasulullah.

Baca juga:  Tafsir Sosial dalam Kisah Nabi Isa

 

Kemudian proses pembuatan urutan ayat dan surah dilakukan oleh Rasulullah sesuai panduan Allah melalui Malaikat Jibril. Sehingga alquran yang ada pada hari ini, khususnya mushaf usmani, telah sampai di tangan kita sesuai dengan urutan ayat dan surah yang telah ditentukan oleh Rasulullah dan dibukukan pada zaman pemerintahan Khalifah Usman bi Affan.

 

Dari fakta ini, seharusnya pengkaji Alquran menyadari bahwa untuk memahami ayat-ayat Alquran diperlukan pengetahuan tentang latar belakang diturunkannya ayat.

Surah ini dimulai dengan pertanyaan, “Tahukah Engkau (orang yang mendustakan agama?” artinya Alquran menyuruh agar masalah yang ditanyakan itu diperhatikan sunguh-sungguh. Pertanyaan pada ayat ini mengenai penerapan agama, yakni “Bagaimanakah ciri orang yang mendustakan agama?”, banyak yang mengira bahwa pendusta agama adalah mereka yang tidak melaksanakan rukun Islam saja, namun pemahaan ini kurang tepat.

Imam Al-Qurtubi mengatakan bahwa sebenarnya terdapat kalimat yang tidak disebutkan di dalam ayat ini yakni, “Bagaimana pendapat kamu mengenai orang yang mendustakan hari kiamat? Apakah benar tindakannya atau salah?”

Yunan Yusuf dalam Tafsir juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj menjelaskan bahwa ayat ini memperingatkan Nabi dan kaum beriman agar benar-benar memahami agama sebagai ajaran yang menerapkan nilai-nilai secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari mendustakan hari kiamat dalam ayat ini adalah mengingkari nilai-nilai Islam dalam hal berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dimuliakan Allah.

Baca juga:  Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (2)

Sedangkan menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, ayat ini sebetulnya untuk penekanan bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban sebab Allah maha mengetahui. Jadi ayat ini bertujukan untuk menggugah hati dan pikiran lawan bicara agar memperhatikan kandungan pembicaraan tersebut, yakni mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah.

Quraish Shihab ketika memberikan penjelasan terhadap pemaknaan addiin. Diin dari segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan, dan pembalasan. Kata diin dalam Q.S. al-Ma’un ayat pertama sangat populer diartikan dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan. Kemudian jika makna kedua ini dikaitkan dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya itu tidak menghasilkan apa-apa, maka berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan.

Sikap yang demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan terhadap ad-dỉn, baik dalam arti agama, lebih-lebih dalam arti hari pembalasan. Bukankah yang percaya dan meyakini bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di akhirat kelak.

Quraish Shihab melanjutkan, ia mengutip dari perkataan Sayyid Quthub tentang hakikat pembenaran ad-diin yaitu bukannya hanya pembenaran dengan lidah tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadapan sesama, Allah tidak menghendaki pembenaran tersebut hanya dengan lisan saja, namun harus dibuktikan dalam amalan sehari-hari.

Baca juga:  Mencari Keabadian: Kisah-Kisah Purba dari Banyak Peradaban

Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menyebutkan ciri-ciri orang-orang yang tidak percaya terhadap kebenaran agama atau hari pembalasan yakni, “Suka menghina orang-orang yang tidak mampu, bersikap sombong terhadap mereka.”

Dari uraian para mufassir di atas, maka penulis dapat memahami bahwa Ayat pertama ini menjelaskan tentang seperti apa sebenarnya maksud dari pendusta agama, dan bagaimana ciri-cirinya, yakni mereka yang menjalankan kehidupannya sehari-hari tanpa dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, kasar dan kikir terhadap anak yatim berlaku buruk kepada sesama dan beribadah bukan karena Allah, maka mereka yang berbuat demikanlah yang dikatakan sebagai pendusta agama.

Referensi

Tafsir Al-Qur’an al-Adhim karya Ibnu Katsir

Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani

Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab

Tafsir al-Maraghi Karya Ahmad Mustafa Al-Maragi

Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli Jalaluddin as-Suyuthi

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
7
Ingin Tahu
4
Senang
6
Terhibur
3
Terinspirasi
7
Terkejut
6
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top