Sedang Membaca
Ta’ammulat Qur’aniyyah: Tentang Misteri Alif-Lam-Mim
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Ta’ammulat Qur’aniyyah: Tentang Misteri Alif-Lam-Mim

Tulisan pendek ini akan mengemukakan sejumlah renungan (ta’ammulat) tentang pembukaan surah al-Baqarah.

Begitu membaca surah kedua dalam Alquran ini, hal pertama yang langsung memikat perhatian pembaca, terutama pembaca Alquran pemula yang belum berkenalan begitu jauh dengan Kitab Suci ini, ialah keberadaan tiga huruf yang seolah-olah tanpa makna: Alif-Lam-Mim.

Di kalangan para pengkaji Alquran, susunan huruf yang tak membentuk kata bermakna seperti ini disebut sebagai muqath-tha’at, huruf-huruf yang terputus-putus. Muhammad Asad, seorang mualaf Yahudi asal Austria yang menulis terjemahan dan tafsir Alquran dalam bahasa Inggris, The Message of the Qur’an, menyebutnya sebagai “disjointed letters”, huruf-huruf yang saling tak bersambung.

Disebut muqath-tha’at karena ia berupa huruf-huruf yang terpotong-potong, tidak membentuk sebuah kata yang bermakna. Jika Anda membuka kamus Arab mana pun, Anda pastilah akan sulit menemukan kata Alif-lam-mim dalam bahasa Arab.

Karena itu, para ulama tafsir sejak dulu berdebat tentang makna huruf-huruf seperti Alif-Lam-Mim ini. Ada banyak pendapat mengenai perkara ini yang kurang relevan jika saya ulas di sini, karena saking banyaknya. Seperti dikatakan oleh Asad, sebagian besar dari pendapat itu adalah sekedar dugaan” belaka, “conjectures” yang kurang berdasarkan argumen yang kokoh.

Sebagian besar ulama tafsir kembali kepada posisi dasar yang disepakati semua pihak: bahwa yang tahu apa makna ini ya hanya Tuhan saja. Formula ini yang sering dipakai oleh semua penafsir klasik dan modern: Allahu a’lamu bimuradihi bi-dzalika, hanya Tuhan lah yang mengetahui makna huruf-huruf ini. Ini sekaligus melambangkan intellectual humility, kerendahan hati intelektual di kalangan ulama kita dahulu. Mereka tak mau sok tahu dan menjelas-jelaskan perkara yang misterius ini.

Baca juga:  Didi Kempot dalam Perspektif Antropologi

Terkait tentang huruf-huruf muqath-tha’at ini, saya ingin mengemukakan dua amatan:

Amatan pertama, kita nyaris tak menjumpai suatu riwayat dari Nabi yang mengisahkan tentang tafsiran beliau atas huruf-huruf ini. Para sahabat pun tidak pernah bertanya mengenai “rahasia” huruf-huruf tersebut.

Ini lalu menimbulkan sebuah pertanyaan. Jelas huruf-huruf ini merupakan misteri yang layak diungkapkan, dan karena itulah para ahli tafsir pada era belakangan berspekulasi mengenai maknanya dan menyampaikan pendapat yang berbagai-bagai. Jika ini “misteri”, “Kenapa para sahabat Nabi tidak menanyakannya kepada Nabi? Kenapa?”

Kenyataan bahwa baik Nabi tidak menerangkan misteri ini, dan para sahabat juga tidak mengajukan pertanyaan mengenainya, menurut saya, mengindikasikan hal yang menarik: bahwa ada semacam “saling pengertian” baik pada pihak Nabi sendiri maupun para sahabat bahwa hal semacam ini tak usah dipersoalkan. Susunan-susunan huruf ini, pada generasi awal Islam, tampaknya dipandang sebagai hal yang “sudah begitu saja”, given.

Masyarakat Jawa memiliki ungkapan yang baik untuk hal semacam ini: pada ngertine, tahu sama tahu. Ungkapan ini bermakna bahwa semua pihak saling paham dan tahu bahwa perkara tertentu tak usah dipersoalkan, entah karena memang sudah ada makna implisit yang dipahami bersama; katakan saja semacam “a presupposed collective understanding”.

Atau, karena memang tak perlu dipersoalkan. Setiap masyarakat memiliki hal-hal yang masuk dalam kategori pada ngertine semacam ini. Mungkin saja bahwa Alif-Lam-Mim ini masuk dalam kategori itu. Mungkin saja. Wallahu a’lam.

Era Nabi dan sahabat bukanlah zaman ketika orang-orang Islam melakukan spekulasi filosofis. Ada fase sendiri yang akan datang belakangan, jauh setelah Nabi wafat, di mana umat Islam, setelah mapan secara politik dan ekonomi, mulai melakukan “spekulasi filosofis” itu.

Ini bukan hal yang aneh. Setiap bangsa biasanya baru memiliki kemewahan untuk mempelajari pengetahuan yang ndakik-ndakik (melangit),  dan mulai memikirkan hal-hal yang sifatnya teoritis, filosofis, setelah mereka mapan sebagai komunitas, setelah urusan-urusan uba rampe (berbagai syarat) sosial yang paling dasar (basic needs) telah selesai.

Baca juga:  Liverpool, Sepakbola dan Agama

Era di mana Nabi dan sahabat hidup adalah era generasi pembangun. Tugas pokok generasi seperti ini adalah meletakkan landasan, asas, fondasi yang dibutuhkan untuk membangun sebuah komunitas yang kokoh di kemudian hari.

Karena itu, yang dibutukan oleh generasi pembangun dan peletak-dasar adalah hal-hal yang bersifat ushul, pokok-pokok, hal-hal yang esensial dalam memahami agama. Pertanyaan soal apa makna Alif-Lam-Mim tidaklah masuk dalam kategori ini.

Inilah yang menjelaskan kenapa Nabi, kemungkinan besar, tidak menjelaskan secara detail makna huruf-huruf ini, dan sahabat pun tidak bertanya. Barulah generasi ulama Islam yang muncul sekitar tiga ratus tahun setelah Nabi wafat, generasi ulama yang hidup di zaman dinasi Abbasiyah dan seterusnya, memiliki “intellectual luxury”, kemewahan waktu dan pikiran untuk menjelaskan misteri Alif-Lam-Mim dan huruf-huruf muqath-tha’at yang lain.

Amatan kedua, yang ingin saya kemukakan adalah sebagai berikut. Bagi generasi yang hidup di era ketika singkatan dan akronim bertaburan di mana-mana, era yang kita alami saat ini, keberadaan huruf-huruf muqath-tha’at dalam Alquran ini sebetulnya tidaklah terlalu mengherankan. Kita sudah terbiasa dengan singkatan.

Bagi orang Indonesia, perkara singkatan ini tentu bukanlah hal yang aneh. Birokrasi pemerintahan kita, terutama birokrasi kemiliteran, mempunyai kegemaran aneh yang pada tingkat tertentu malahan sudah mendekati semacam addiction, kecanduan untuk menyingkat segala hal. Bahkan dua singkatan kadang disingkat lagi menjadi singkatan baru.

Baca juga:  Buya Hamka dan Sepenggal Narasi “Islam Nusantara”

Bisa dimaklumi manakala generasi yang akrab dengan singkatan akan langsung mengasosiasikan huruf-huruf muqath-tha’at ini dengan sebuah singkatan. Sebagian penafsir Alquran sejak zaman klasik bahkan sudah ada yang mulai menghubungkan huruf-huruf muqath-tha’at ini dengan sebuah singkatan.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Ibriz, tafsir berbahasa Jawa karya Kiai Bisri Mustofa dari Rembang, sebagian ulama ada yang menafsirkan bahwa Alif-Lam-Mim adalah singkatan dari Allahu Lathifun Majidun: Allah adalah Yang Maha Lembut dan Agung.

Tradisi menyingkat sama sekali tidak dikenal pada kalangan masyarakat Arab pra-Islam atau setelah Islam datang. Hampir tak pernah kita jumpai ada sebuah singkatan dalam literatur Arab klasik. Birokrasi pemerintahan di era dinasti-dinasti awal Islam juga tidak ada yang menyingkat nama-nama kementerian (wazarah) mereka.

Di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengenal huruf-huruf muqath-tha’at atau singkatan seperti masyarakat Arab, tiba-tiba Alquran mengenalkan hal yang baru semacam itu, tentulah ini semua merupakan fakta yang sangat menarik. Tak mengherankan bahwa sebagian ulama tafsir menerangkan bahwa keberadaan huruf-huruf “misterius” ini merupakan bagian dari keajaiban atau mukjizat Alqur’an (i’jazul Qur’an). Kita bisa mengatakan, inilah salah satu bentuk inovasi orisinal dalam Alquran:

dikenalkannya huruf-huruf yang terpotong-potong dalam sebuah karya sastra yang agung, sesuatu yang tak pernah dikenal dalam tradisi kesastraan di masyarakat Arab sebelum Islam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top