Sedang Membaca
Dua Kisah dari Nabi Musa
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Dua Kisah dari Nabi Musa

Alif.ID

Ketika bani Israil tahu bahwa Musa adalah Nabi yang dekat dengan Allah sehingga mendapat julukan Kalimullah, mereka bilang ke Nabi Musa, “Kita sedang paceklik loh, Kanjeng Nabi Musa. Mbok ya kita ini dimintakan makanan ke gusti Allah. Kan panjenengan dekat dengan Allah. Pasti dikasih. Mintakan makanan cepat saji biar bisa langsung dimakan.”

Nabi Musa pun minta ke Allah. Lalu mereka diberi Manna dan Salwa.

Karena manusia punya sifat bawaan yang selalu kurang, Bani Israil pun merasa masih kurang dengan makanan yang sudah diberi Allah. Bani Israil adalah keturunan Nabi Ya’kub. Israil adalah nama lain Nabi Ya’kub. Kata Israil berasal dari bahasa Suryani yang artinya sama dengan Abdullah dalam bahasa Arab

“Kok cuma begini to Nabi Musa? Menunya kurang variatif. Harusnya ya ada lain-lain dong menunya.”

Barangkali kalau orang sekarang, permintaan Bani Israil bisa berupa sego pecel, soto Lamongan, Nasi Goreng, bakso, sate ayam, sate kambing, getuk, roti bakar, terang bulan, martabak, atau makanan Italia pizza dan spageti.

Nabi Musa pun enggan memintakan lagi sebab tahu Bani Israil takkan pernah puas dengan pemberian Allah.

Di saat yang sama, iblis juga tahu pangkat Nabi Musa. Iblis pun sowan ke Nabi Musa.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (12): Syaqiq al-Balkhi, Di-Skak Penyembah Berhala

“Ya Musa, Kamu ini orang dekat Allah. Mbok ya aku minta tolong tanyakan ke Allah bagaimana caraku tobat kepada-Nya?”

Nabi Musa sowan menuju Allah. Lalu memberi jawaban. Jawaban tersebut disampaikan kepada iblis.

“Jadi begini, Blis. Kata Allah, Kamu bisa tobat. Dulu kamu kan hamba Allah yang tertib. Kesalahanmu kepada Allah satu. Kamu tak mau nurut ketika disuruh sujud kepada Nabi Adam. Nah, sekarang Kamu sujud sana ke makam Nabi Adam. Dengan sujud, tobatmu bisa diterima.”

Apa jawaban Iblis? Ternyata penyakitnya iblis kumat.

“Bagaimana mungkin aku sujud kepada Adam yang sudah mati. Waktu masih hidup saja aku ndak mau sujud kok malah waktu mati aku diminta sujud. Ya ndak mau lah,” jawab iblis dengan angkuhnya.

“Apa pesan moral dari cerita ini, Kiai?” tanyaku pada guruku.

“Pesan moralnya kalau menurutku ya itu. Kita tahu bakat manusia memang tertarik pada hal duniawi. Jika sekarang ada orang yang kelihatannya alim, biasanya orang yang sowan mempertanyakan urusan dunia. Jarang yang mempertanyakan tentang masalah agama yang dihadapi. Misalnya cara salat yang benar, cara agar bisa puasa dengan baik, bersuci, dll. Dalam kasus Bani Israil yang ditanyakan masalah makanan. Kalau konteks sekarang bisa jadi permintaannya tambah macam-macam. Minta didoakan kaya, minta doa punya kendaraan, minta doa biar jadi bupati, gubernur, DPR dll. Nah. Uniknya iblis yang dilaknat Allah malah bertanya tentang cara tobat kepada Allah. Jadi ndak perlu heran jika banyak orang sowan kiai atau datang kepadamu malah minta didoakan hal-hal yang sifatnya duniawi. Bukan bertanya tentang masalah agama. Sudah bakat manusia.”

Baca juga:  Benarkah Ibnu Arabi Penggagas Paham Wahdatul Wujud?

“Tapi tidak semua orang begitu kan?” tanyaku lagi.

“Ya ndak juga. Di dalam Alquran dan hadis nabi banyak sekali kisah-kisah sahabat yang menanyakan masalah agama. Masalah infak, masalah haid, masalah hilal, khamr, dll.”

Begitulah, Sudara. Bakat manusia memang unik. Dan itu semua wajar-wajar saja. Sing penting tertib.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top