Rohmatulloh
Penulis Kolom

Dosen Pendidikan di Universitas Islam An Nur Lampung dan bergiat di Komunitas Sekolah Sadar Energi.

Kebudayaan Islami dan Kebiasaan Nyorog Menjelang Ramadan

Nyorog

Seiring dengan perkembangan manusia melalui proses belajar sehingga melahirkan banyak sekali kebudayaan yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan fitrah keagaamaan manusia. Kebiasaan atau budaya nyorog pada setiap menyambut bulan suci ramadan dalam masyarakat Betawi merupakan produk kebudayaan yang baik dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Kehidupan manusia bersifat dinamis dari dari satu tahap ke tahap berikutnya tergantung dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapinya. Perbedaan waktu dan tempat memengaruhi masyarakat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahannya. Pastinya akan melahirkan kebudayaan atau pola pikir yang berbeda sesuai konteksnya.

Pengertian kebudayan sendiri memiliki banyak ragamnya dan hampir tidak ada kesepakatan di antara para ahli kebudayaan. Salah satu pengertian yang digunakan di sini adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Kebudayaan sebagai sebuah proses, memiliki tahapan dalam proses perkembangannya mencakup tiga tahap, yaitu mitis, ontologi, fungsional.

Tahap terakhir, manusia memiliki sikap dan alam pikiran yang rasional. Sudah tidak terpesona lagi dengan alam mistis dan tidak lagi membuat jarak terhadap objek penyelidikannya. Manusia pada tahap ini memiliki kesadaran dan kecerdasan termasuk memfungsikan kekuatan agama dan adat untuk melakukan komunikasi dan adaptasi membangun strategi bertahan hidup. Segala sesuatu yang dianggap berbelit-belit mulai disederhanakan pada tahap fungsional.

Baca juga:  Literasi Islam dengan Puisi di SD Al-Islam Solo

Hal ini tentu saja selaras dengan konsep kebudayaan dalam perspektif Islam yang dibahas dalam buku Minhaj al-tarbiyah fi al-tasawwur al-Islami karya Dr. Ali Ahmad Madkur pada sub bab “Tsaqafah fi al-tasawwur al-Islami.” Dasar kebudayan dalam perspektif Islam berdiri di atas kaidah dasar pengesaan dan penghambaan kepada Allah sebagai sumber hukum. Dua aspek kebudayan, yaitu normatif sebagai wujud ideal yang terwujud dalam syariat mencakup aspek keyakinan, hukum, akhlak dan etika, serta pengetahuan. Dan aspek praktis atau amaliah yang masuk dalam kategori wujud ucapan, tindakan, perilaku,  dan fisik.

Kebudayaan Islami bersumber pada Ketuhanan berupa wahyu yaitu al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw untuk melahirkan berbagai produk kebudayaan dalam hidupnya. Sedangkan kebudayaan lain atau sekuler hanya bersumber dari pemikiran yang dibuat oleh manusia berupa teori filsafat dan pemikiran atau sains dalam melahirkan berbagai bentuk produk kebudayaannya.

Karakteristik lainnya, kebudayaan Islami memiliki kekhasan alamiah dan kemanusiaan. Maksudnya, tidak dibatasi oleh geografi, politik, negara, dan corak atau ideologi pemikiran yang terbatas. Sehingga dalam penerapannya, kebudayaan Islami mengkuti kondisi tempat dan waktu yang menyebabkan adanya perbedaan budaya. Kendati demikian perbedaan tersebut secara substansi tetap mengacu pada sumber normatif wahyu al-Qur’an dan sunnah.

Baca juga:  Sistem Tulisan dalam Bahasa Jawa

Kebiasaan Nyorog Menjelang Ramadan

Kebiasaan atau budaya nyorog yang dilakukan setiap menjelang awal bulan ramadan di masyarakat Betawi pada umumnya dapat ditemukan juga di masyarakat daerah lainnya walaupun namanya berbeda-beda misalnya munggahan di tanah Sunda. Istilah nyorog yang khas asli produk masyarakat Betawi-Jakarta dilakukan bukan hanya menjelang ramadan, tetapi juga menjelang idulfitri, acara lamaran, dan lainnya.

Tardisi berkunjung kepada orangtua, saudara yang lebih tua, atau pun keluarga besan dilakukan dengan membawa masakan khas daerah Betawi. Misalnya sayur ikan bandeng, semur daging kerbau, sayur pucung gabus, oblok ayam, dan lainnya menggunakan rantang. Pengalaman penulis membekas sampai sekarang karena pernah diminta membawakan makanan menggunakan rantang ke rumah kakek dan nenek.

Walaupun dalam praktiknya saat ini sudah mengalami banyak pergeseran dari segi makanan yang dibawa dan peralatannya sudah tidak menggunakan rantang sehingga sudah menjadi lebih fungsional. Apalagi dalam kondisi pandmei yang lalu, tradisi nyorog mengalami pergeseran terkait teknis penerapannya. Banyak yang menggantinya secara praktis dengan makanan lain yang langsung dibeli di toko dan dikirim menggunakan dengan jasa paket. Hal ini sah-sah saja karena ini sudah menyangkut nilai instrumental yang dinamis. Tetapi yang terpenting bahwa nilai intinya (core value) tetap atau tidak berubah.

Baca juga:  Rahasia Keilmuan Pesantren yang Mengubah Peradaban: dari Doa Kiai hingga Tradisi Arab Pegon

Nilai inti tradisi nyorog meliputi nilai akhlak menjalin penghormatan untuk orangtua dan saudara yang lebih tua, silaturahmi, dan bersedekah. Secara normatif, nilai-nilai tersebut memiliki landasan teologis yang bersumber dari ajaran Islam al-Qur’an dan hadits.

Dalam Tafsir Ringkas dan Tahlili al-Qur’an Kementerian Agama surah al-Aḥqāf [46]:15, diperintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dengan kebaikan yang sempurna sesuai dengan perintah agama, seperti menghormatinya dengan terus menjaga silaturahmi, memelihara, dan memberi nafkah apabila ia sudah tidak mempunyai penghasilan lagi. Pengorbanan orangua khususnya ibu yang telah mengandung, menyapih, dan membesarkan hingga sempurna perkembangan jasmani dan rohaninya. Berbuat baik terus dilakukan kepada kedua orangtua baik yang masih hidup maupun telah meninggal dunia.

Mari kita menyambut ramadan pada tahun ini dengan tidak lupa melakukan kebiasaan nyorog yang maknanya selaras dengan konsep kebudayaan dalam perspektif Islam. Hal ini bisa dilakukan siapa saja dan di mana saja walaupun istilahnya mungkin berbeda-beda sesuai kekhasan bahasa di wilayahnya masing-masing. Banyak nilai-nilai kebaikan dalam tradisi nyorog yang dapat ditanamkan sebagai bentuk pendidikan karakter. Wallahua’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top