Tarekat, Jalan Menuju Makrifat
Pengamalan tarekat akan membuahkan apa yang disebut dengan haqîqah, dan jalan tritunggal syarîat-tarekat-hakikat, pada gilirannya akan membuahkan al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) yang oleh Nabi SAW disebut sebagai “pangkal ilmu” (RA’s al-‘Ilm) (Musnad al-Rabi, halaman: 311), bahkan juga “pangkal harta atau modal “ (RA’s al-Mal). (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman: 7), semuanya tertuang secara ringkas dalam sabda Nabi SAW:
الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ
1532: Syariah adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqah adalah keadaan (batin)-ku, dan marifah adalah pangkal harta (modal)-ku, (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman :7).
Mengenal Allâh (al-makrifah billah) merupakan tujuan utama penciptaan makhluk. Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقَتُ الْخَلْقَ لِيَعْرِفُوْنِى
Dulu Aku adalah mutiara yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal; maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Abjad al-Ulum, Juz 2, halaman: 159).
Menurut al-Qari isi Hadis tersebut sesuai dengan firman Tuhan.
(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku, (QS. Adz-Dzariyat, 51:56)
Ungkapan li ya’buduni atau “agar mereka mengabdi kepada-Ku” oleh Ibn Abbas ditafsirkan dengan li ya’Rafuni yaitu agar mereka mengenal-Ku’, (Kasyf al-Khafa, juz 2, halaman: 173).
وقال مجاهد: إلا ليعرفوني. وَهَذَا أَحْسَنُ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَخْلُقْهُمْ لَمْ يُعْرَفْ وُجُوْدُهُ وَتَوْحِيْدُهُ، (تفسير البغوي، ج 7 ، ص: 380)
Penafsiran li ya’buduni dengan li ya’RAfuni dikemukakan juga oleh para mufassir lainnya seperti Mujahid yang dikutip oleh al Tsa’alibi dalam Jawahir al-Hisan fi Tafsir Alquran, al-Baghawi dalam Ma’alim al Tanzil, dan al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam Alquran, Abu al-Saud dalam Tafsir-nya, Ibn Juraij yang dikutip oleh Ibn Katsir dalam Tafsir-nya, dan juga Imam al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani.
Mengenal Allâh SWT merupakan keharusan bagi seorang hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Mengenal Allâh SWT juga berarti mengenal jalan kembali kepada-Nya. Jalan kembali ini pulalah yang sebenarnya juga disebut dengan tarekat, yaitu jalan yang memang disiapkan secara khusus untuk ditempuh oleh hati (qalb), jiwa (nafs) atau ruh (ruh), tiga istilah yang menunjuk kepada satu makna yang dalam bahasa Imam al-Ghazali disebut dengan lathifah RAbbaniyyah (yaitu Dzat Mahahalus yang dinisbatkan kepada Allâh Swt). (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 3-4)
Dzat yang sangat halus tersebut adalah unsur yang asal penciptaannya berasal dari Allâh SWT sebagaimana tersiRAt dari firman Allâh SWT, “nafakhtu fihi min ruhi” (setelah Kutiupkan kepadanya sebagian ruh-Ku).
(فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ ﴿٢٩
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, (Q.S. al-Hijr, 15:29).
(فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ ﴿٧٣
Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya, (QS. Shad, 38:72).
Unsur inilah yang mampu mencapai prestasi al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) dan ia pulalah yang kelak kembali ke “asal”-nya (Allâh ‘azza wa jalla).
Persoalan mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya ini sudah harus diselesaikan di dunia ini. Jika di dunia seseorang tidak mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah, setidak-tidaknya sangat sulit untuk kembali kepada Tuhannya; artinya, ia tidak akan masuk ke dalam golongan yang dipanggil oleh Allâh SWT dengan firman-Nya:
(يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, serta masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku, (Q.S. al-Fajr, 89:27-30).
Dalam kaitan ini pulalah Allâh SWT menegaskan:
(وَمَن كَانَ فِي هَـذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً ﴿٧٢
Barangsiapa di dunia buta (mata batinnya), maka dia di akhiRAt akan lebih buta lagi dan tersesat jalannya, (QS. al-Isra, 17:72)
Baca juga: