Sedang Membaca
Sabilus Salikin (123): Perjalanan Intelektual al-Syadzili
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (123): Perjalanan Intelektual al-Syadzili

Pendidikan yang diperoleh diawali dari orang tuanya, kemudian dilanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi lagi di Tunisia kurang lebih 19 tahun. Setelah al-Syadzili belajar beberapa lamanya di Tunis, ia pergi ke negara-negara Islam bagian Timur, di antaranya mengunjungi Mekah. Ia beberapa kali melaksanakan ibadah haji sebelum bertolak ke Irak.

Al-Syadzili menceritakan,

“Tatkala aku masuk ke Irak, pertama kali aku bergaul dengan Abu Fath al-Wasithi (w. 632 H) (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 196). Di Arab terdapat banyak Syaikh yang bersedia mengajar.

 

Ketika aku minta ditunjukkan guru yang berkedudukan Quthb, Abu Fath al-Wasithi mengatakan kepadaku bahwa guru yang aku cari itu ada di negeriku sendiri. Maka aku kembali ke Maghribî. Setelah itu, aku bertemu dengan guruku ‘Abd. al-Salam ibn Masyîsyi, yang sedang bertapa di sebuah gunung.

 

Aku segera mandi pada suatu mata air di bawah gunung itu. Ketika aku keluar dari dalam telaga mata air itu, aku merasa ilmu dan amalku sudah hilang. Aku segera mendaki gunung itu untuk menemui guruku.

 

Ia lalu berkata, “Marhaban, yâ ‘Alî”. Kemudian ia menceritakan panjang lebar tentang silsilahku sampai kepada Rasûlullâh Saw (Thabaqât al-Auliyâ’, halaman: 458).

Menurut ‘Abd. al-Halîm Mahmûd, al-Syadzili pada usia mudanya pernah mempelajari ilmu-ilmu agama kendati dipelajarinya secara autodidak. Dia juga menghafalkan Alquran dan Hadis.

Masih menurut ‘Abd. al-Halîm Mahmûd, Ibnu Sabbagh tidak menyebutkan hubungan al-Syadzili dengan madrasah al-Azhar, yang di sana diajarkan bidang studi fikih dan teologi. Akan tetapi, madrasah ini sangat mungkin terpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya tentang haqiqah, atau antara eksoterik dan esoterik (al-Madrasah al-Syadziliyyah wa Imâmuhu, halaman: 32)

Boleh jadi pendapat al-Syadzili yang moderat dalam masalah hubungan syari‘at dan tasawuf ini, diperoleh juga dari guru sufinya, karena menurut data yang diberikan oleh Trimingham, Abu Madyan dan muridnya ‘Abd al-Salam ibn Masyisyi (guru al-Syadzili) adalah sufi yang kokoh mengenai syari‘at.

Pendapat ‘Abd. al-Halim Mahmud cukup masuk akal dan bisa diterima. Tidak mungkin tanpa pengetahuannya tentang syari‘ah, al-Syadzili berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara syari‘ah dan tasawuf.

Baca juga:  Rihlatus Sairafi: Kitab Arab Pertama yang Menyebut Nusantara

Kitab-kitab tasawuf yang pernah dipelajari oleh al-Syadzili antara lain: (1) Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, karya Abu Hâmid al-Ghazâlî, (2) Qûth al-Qulûb (santapan hati), karya Abu Thâlib al-Makki (3) Khatm al-Auliyâ’, karya al-Hakim al-Tirmidzî, (4) al-Mawâqif wa al-Muhâtsabah, karya Muhammad ‘Abd al-Abrâr, (5) Al-Shifâ’, karya Qadhi al-‘Iyadh, (6) Al-Risâlah karya al-Qusyairi, dan (7) al-Muharrar wa al-Wajîz, karya Ibnu ‘Athiyyah (Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 59).

Al-Syadzili mempelajari ilmu-ilmu agama dan menghafalkan Alquran dan Hadis. Al-Syâdzilîi berpendapat, bahwa ilmu agama itu sangat penting, dan perlu dimiliki untuk menjaga diri dari kesesatan dan menjadikan dirinya bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh.

Agama merupakan perisai untuk menghadapi gangguan-gangguan jiwa yang senantiasa membisikkan setiap orang untuk menjerumuskan diri kepada kejahatan. Hanya ilmu agama yang mampu melawan kejahatan bagi setiap mukmin. Abu Madyan dan ‘Abd al-Salam guru al-Syadzili adalah sufi yang kokoh mengenai syari‘at, (The Sufi Orders in Islâm, halaman: 48).

Menentang Mu’tazilah

Al-Syadzili ialah seorang teolog atau ahli tauhid beraliran Sunni yang menentang kaum Mu‘tazilah. Ia menentang sistem pemikiran Mu‘tazilah yang sangat mengagungkan dan mengedepankan akal daripada wahyu, sekalipun mereka juga berpegang kepada wahyu, namun wahyu hanya digunakan untuk konfirmasi.

Abu Marwan ‘Abd. al-Malik yang dikenal dengan panggilan al-Qassat mengatakan, ketika ia berkunjung ke Alexandria, di Mesir menemui al-Syadzili, di rumah al-Syadzili beliau sedang berdiskusi tentang ilmu dengan beberapa orang di sekitarnya. Sewaktu saya masuk dan memperkenalkan diri kemudian ia menyuruh aku membaca ayat:

فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ

Maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada di atas kebenaran (agama) yang nyata, (Shafwah al-Tafâsîr, juz 2, halaman: 419).

وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِم بِمَا ظَلَمُوا فَهُمْ لَا يَنطِقُونَ

Dan telah tiba firman Allah (berupa azab) kepada mereka (kaum kuffar), karena mereka zalim (dengan mengingkari firman Allah), maka mereka tidak dapat berbicara apa-apa, (Shafwah al-Tafâsîr, juz 2, halaman: 420).

Al-Syadzili mengatakan kepada seluruh yang hadir di majlis itu, “Setelah ada penjelasan dari Allah Swt. yang jelas, maka tidak perlu lagi ada penjelasan”.

Baca juga:  Sabilus Salikin (45): Tarekat Malamatiyah

Abu Marwan mengatakan bahwa yang berdebat dengan al-Syadzili ialah kelompok Mu‘tazilah, yang berdiskusi tentang sistem kepercayaan mereka. Meskipun al-Syadzili pernah mempelajari teologi (ilmu tauhid), namun teologi yang mengedepankan akal baginya tidak ada pengaruhnya.

Al-Syadzili tetap menolak pemikiran kaum Mu’tazilah, sebab menurut pendapat al-Syadzili, Allah adalah sumber kesadaran yang asli. Allâh bukan objek ilmu pengetahuan, tetapi Allâh telah memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. yang terhimpun dalam Alquran dan Alquran inilah yang dijadikan sumber syari’at dan hukum bagi Nabi Muhammad Saw. dan umatnya.

Al-Syadzili dalam fikih mengikuti mazhab Maliki, demikian pula para pengikutnya juga mengikuti mazhab Maliki, kecuali pengikut-pengikut tarekat. Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghribî (Spanyol, Maroko dan Tunisia). Dinasti Murâbithûn di Spanyol (1056-1147 M.) menganut mazab ini dan mempraktikkannya secara kaku dan konservatif.

Praktik semacam ini mendapat kritik tajam dari dinasti berikutnya, Muwahhidûn (1130-1269 M.), sehingga ajaran Maliki baik di Spanyol, Maroko dan Tunisia tidaklah sesubur dulunya. Tetapi setelah Maroko dan Tunisia dikuasai oleh dinasti Mariniyah (akhir abad 13–awal abad 14) ajaran Maliki dipraktikkan kembali secara leluasa (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 62, lihat juga Ensiklopedi Islam, jilid 3, halaman: 166-167).

Tercatat di kalangan sufi bahwa yang selalu bersamanya baik dalam dialog maupun dalam pengajiannya antara lain Syaikh Abu al-Hasan ’Ali ibnu Makhlûf al-Shaqlî, Abu ‘Abdullah al-Shâbûnî, Abu Muhammad ‘Abdul ‘Azîz al-Zaitûnî, Abu ‘Abdullah al-Bajât al-Khayyâti, dan Abu ‘Abdullah al-Jârihî (Hayat Abî al-Hasan al-Syâdzilî, halaman 33).

Di sini ia mendapat sambutan yang luar biasa sehingga sampai menimbulkan kebencian dari Qadhî Tunisia, Ibnu al-Barrâ’, yang merasa tersisih. Akibat konflik yang berkepanjangan dengannya, al-Syadzili memutuskan untuk meninggalkan Tunisia menuju Mesir, padahal Sultan Tunisia Abu Zakariya al-Hafsi (1228-1259 M.) sangat berkeberatan atas perginya Al-Syadzili dari Tunisia, (Hayatu Abî al-Hasan al-Shadhilî, halaman: 33, lihat juga The Sufi Orders in Islâm, halaman: 48).

Pada kesempatan yang lain al-Syadzili menceritakan, tatkala ia mendatangi gurunya sebagai murid, lalu gurunya mengatakan kepadanya, “Engkau datang kepadaku karena ingin mendapatkan ilmu dan petunjuk dalam amal? Ketahuilah bahwa Engkau ini adalah salah seorang dari guru dunia dan akhirat yang terbesar!”

Baca juga:  Mencintai Syair Cinta Rumi

Al-Syadzili mengemukakan keheranannya. Lebih-lebih pula ia menjadi takjub, tatkala sesudah beberapa hari ia tinggal di tempat itu, ia melihat pemberian Tuhan mengenai kecerdasan yang luar biasa, di luar adat kebiasaan, dan merupakan keramat khusus baginya.

Tatkala pada suatu kali ia hendak menanyakan kepada gurunya tentang ismu al-a‘zham, (Pengantar Sufi dan Tasawuf, halaman: 278), dengan tiba-tiba seorang anak kecil datang kepadanya dan berkata dengan lancarnya: “Apa Engkau hendak menanyakan gurumu tentang ismu al-a‘zham, tidaklah Engkau ketahui bahwa Engkau sendiri ismu al-a‘zham itu”.

Di antara guru kerûhaniannya adalah ‘ulama’ besar ‘Abd. al-Salam Ibn Masyîsyi (w. 625 H./1228 M.), yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb para wali”, seperti halnya al-Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlanî (w. 561 H/1166 M), (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 37). Nama Lengkap ‘Abd al-Salam Ibn Masyîsyi adalah al-Syaikh Ibnu Masyîsyi ‘Abd. al-Salam bin Masyîsyi bin Mâlik bin ‘Alî bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad bin Idrîs al-Akbar bin ‘Abdullah al-Kâmil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sabth bin ‘Alî bin Abî Thâlib suami Fâthimah al-Zahrâ’ puteri Rasûlullâh Saw.

Syaikh Ibnu Masyîsyi lahir pada tahun 559 H. bertepatan dengan 1198 M. Syaikh Ibnu Masyîsyi memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (bacaan-bacaan zikir dan do‘a) sehingga dia sampai kepada jalan menuju ma‘rifah kepada Allâh Swt., maka Ibnu Masyîsyi mampu dalam bidang ilmu juga mendapatkan puncak kezuhudan.

Beberapa peninggalan ilmiah Syaikh Ibnu Masyîsyi yang sampai kepada kita melalui muridnya Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili adalah sekumpulan nasehat yang mengagumkan dengan ungkapan yang bersih, jernih selaras dengan Alquran dan al-Sunna

Ia wafat pada tahun 625 H. dengan cara dibunuh pada saat turun berkhalwah untuk berwudhu dan shalat subuh oleh kelompoknya Ibnu Abî al-Thawâjin al-Kattamî yang mengaku nabi (http://id.biografi).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top