Sedang Membaca
Gus Dur dan Makanan
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Gus Dur dan Makanan

Rasanya kurang afdol mengenang Almaghfurlah Gus Dur (Karromallahu Wajhahu) kalau tidak menyinggung yang satu ini: kebiasaan makan (culinary habits) beliau. Sudah bukan rahasia lagi kalau menikmati makanan enak adalah salah satu ciri khas Gus Dur yang mungkin juga menjadi ciri khas para romo Kyai sepuh NU seperti Mbah KH Wahab Hasbullah, Mbah KH Bisri Syansuri, dan Ra’isul Akbar Mbah KH Hasyim Asy’ari (Radliyallohu ‘Anhum).

Para sepuh itu bukan saja punya culinary habits yang hebat tetapi juga ahli masak yang handal. Mbah Wahab, misalnya, paling top kalau sudah masak gulai kambing muda dengan minyak saminnya. Menurut cerita Gus Dur, yang adalah sang cucu keponakan sendiri, masakan Mbah Wahab yang satu ini sudah beken dan selalu dinanti-nanti para Kyai kalau lagi ngumpul di Jombang. Saya belum pernah melihat Gus Dur masak selama saya bergaul lebih dari 25 tahun, tapi konon beliau juga pintar masak ketika masih kuliah di Mesir dan Baghdad dan sewaktu berkelana di Eropa setelah selesai kuliah.

Malah ada cerita anekdot bagaimana caranya Gus Dur sebagai mahasiswa mengirit makan, tapi masih dengan menu yang enak, yaitu dengan masak kepala ikan. Asal giliran beliau yang masak di asrama, pasti para mahasiswa yang ikut bareng dengan Gus Dur senang karena makanannya enak dan tidak mengharuskan keluar uang banyak. Sampai suatu hari, entah bagaimana waktu giliran Gus Dur tiba, beliau tidak bisa belanja dan masak karena ada keperluan mendadak.

Maka seorang kawan menggantikan jabatan sementara itu. Begitu tiba di tukang ikan, si kawan ini ditanya sama si penjual:

“Mana kawanmu yang biasanya ke sini?”

Kata kawan Gus Dur, “Dia sedang sibuk jadi saya yang mewakili.”

Baca juga:  Kata Gus Dur, Ngaji Keliling Harus Lucu

Kata si pedagang ikan, “Kawanmu itu hebat ya, punya kucing dua puluh, dia bisa memelihara begitu telaten.”

Si kawan kaget “Kucing? duapuluh? gak keliru anda, siapa kawan saya?”

Sang pedagang pun sambil terheran-heran bilang, “Lho temanmu si Abdurrahman itu, kalau kesini selalu beli kepala ikan katanya untuk kucingnya yang dua puluh ekor itu. Saya kasih murah karena dia mau memelihara hewan seperti itu.” Maka kawan Gus Dur pun tidak jadi memesan kepala ikan dan ganti yang lain. Resikonya, harga belanjaan hari itu pun meningkat!

Sejak pertama saya mengikuti Gus Dur berwisata kuliner, saya selalu terheran-heran dengan tingkat variasi pemahaman beliau tentang apa dan di mana ada makanan istimewa dan terkenal. Gus Dur tidak pernah mempedulikan di mana tempatnya, mau warteg atau restoran Hotel bintang lima, yang penting beliau tahu apa keistimewaan masakan yang disediakan di tempat itu.

Saya berkenalan dengan gulai kepala ikan ala Aceh di Restoran Delima di Kramat Sentiong, warung kecil di Klari Purwakarta, warung ikan emas di Walahar, restoran Padang di Bogor, masakan ayam goreng Jalan Surabaya, tahu petis di Malang, rawon Nguling Pasuruan dan masih banyak lagi karena Gus Dur selalu mengajak saya ikut makan. Pertanyaan Gus Dur kalau bertemu saya adalah, pertama:”Piye Kang, waras?” (Bagimana Kang, sehat), atau yang kedua :”Wis madhang, Kang?” (sudah makan, Kang?).

Saya juga suka menawari Gus Dur kalau sedang ke Solo makan gudheg ceker ayam yang waktu masih awal-awalnya dikenal, hanya buka jam 1.00 dinihari. Saya ingat ketika beliau dan saya baru saja dapat “Kekancingan” dari Kanjeng Sinuwun Pakubuwono XXII di malam 1 Suro tahun 2002, lepas tengah malam dan masih pakai baju kethoprak (baju tradisi Jawa) langsung saya pesan gudheg ceker dan di bawa ke hotel. Di sana beliau menyantap hampir 15 an ceker empuk dan lezat itu.

Baca juga:  Kekalahan dan Kemenangan Umat Islam Indonesia

Tentu saja culinary habit Gus Dur harus mengalami perubahan manakala beliau mendapat serangan stroke. Sejak itu, apalagi setelah beliau di istana, makanan mesti diatur walaupun Gus Dur tentu punya cara tersendiri untuk mengelanui orang lain dan tetap meneruskan hobinya. Tapi setidaknya, cara makan beliau berubah cukup banyak, misalnya tak lagi menikmati durian yang menjadi salah satu hobi beratnya.

Dulu, sebelum beliau kena stroke yang pertama, Gus Dur bisa makan durian sampai dua biji sendirian ata lebih tergantung ukurannya. Apalagi soal rambutan, salak pondoh, dan pisang, beliau paling rajin mengkonsumsi. Gus Dur juga makin berhati-hati dengan “gorengan”, kuliner rakyat yang selalu siap di meja beliau ketika masih di kantor PBNU jadul. Gorengan yang terdiri dari singkong, tahu, tempe, bakwan adalah menu utama di markas organisasi yang anggotanya konon 40 juta orang itu. Dan penjual gorengan itu juga mangkal di depan Kantor PBNU bersama penjual buah segar dan rujak yang menjadi kesukaan beliau.

Hobbi makan gorengan ini masih sempat muncul ketika Gus Dur menjadi Presiden apabila rapat Kabinet dan tampaknya semua orang sudah mulai bosan dengan menu resmi Bina Graha. Maka diorderlah gorengan itu dari luar Kantor Kepresidenan. Kadang-kadang saya suka ketawa sendir kalau mengingat hal itu, karena makan gorengan kok minumnya pakai Equil…

Gus Dur juga punya semacam langganan para sahabat dekat yang punya keahlian masak. Salah satunya adalah alm. KH Fuad Hasyim dari Buntet Pesantren, Cirebon. Disamping beliau berdua akrab sejak santri di Tebuireng, ada yang membuat Gus Dur paling senang berkunjung, yaitu masakan Umi (Bu Nyai Fuad Hasyim). Kalau Umi sudah masak gulai kepala kambing, maka Gus Dur paling menikmatinya, ibaratnya sampai keringat bercucuran. Kebetulan Kyai Fuad juga hobi makan, selain memang pandangannya tentang toleransi dan demokrasi yang sma jembarnya.

Baca juga:  Sastrawan Santri: Sosok Budayawan yang Lahir dari Rahim Pesantren

Saya mendapat kehormatan dan barokah bisa mengenal beliau almaghfurlah KH Fuad Hasyim dan sampai sekarang pasti hadir dalam Khaul beliau, gara-gara gulai kepala kambing itu juga. Melalui silaturrahmi dan menikmati makanan yang disukai, tak peduli mewah atau sederhana, Gus Dur sering memberikan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan yang biasanya belum diutarakan beliau secara luas. Yah semacam “work in progress” begitulah.

Tapi bukan berarti Gus Dur tak pernah ngedumel soal makanan. Sewaktu beliau sebagai Presiden sedang keliling Eropa, setiap Kedutaan RI selalu bikin acara makan untuk menghormati sang Presiden. Kalau tidak salah, sewaktu di Belanda, beliau nggrundel sama saya : Lha iya Kang, saya ini jauh-jauh dari Indonesia, kok sampai sini malah di suguhi rendang dan sate dan gule.. Ya mestinya kan makanan Eropa, to..”

Saya bilang: “Mungkin ini sudah Standard Operating Procedure, Gus.. semua orang harus makan makanan Indonesia.”

Gus Dur tetap aja ngomel: ” Sudah tiga hari makanan sama terus, kapan spaghettinya ya..”

Lalu kami berdua tertawa dan menuju ke tempat makan, siap-siap untuk menikmati rendang. (RM)

 

(Sumber: Buku Gus Durku Gus Dur Anda Gus Dur Kita, Penulis Muhammad AS Hikam, Penerbit Yrama Widya, 2013)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Hahaha.. baca kisah Gus Dur dan akal2annya ttng pelihara 20 ekor kucing untuk dpt kepala ikan murah itu cerdik seperti kisah Abunawas.. Gus Dur mmng smart n asyik…????

Komentari

Scroll To Top