Sedang Membaca
Cita-cita Gus Dur
Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Cita-cita Gus Dur

Cita-cita Gus Dur

“Guru bangsa. Saya ingin jadi guru bangsanya Indonesia.  Itu saja. Saya tidak ingin jadi yang lain. Kalau sekarang saya berkiprah di politik,  karena panggilan,” Abdurrahman Wahid.

Begitulah petikan wawancara Wahyu Muryadi dan Agus S. Riyanto dengan Gus Dur di Majalah Tempo edisi 28 Desember 1998. Wawancara yang berjudul “Abdurrahman Wahid: Saya Nggak Mau Bangsa Ini Terbakar” berhubungan dengan keadaan Indonesia saat reformasi.

Lalu apa makna guru bangsa, bagi Gus Dur?

Menurut Bambang Bujono,  di majalah Tempo edisi 15 Februari 2010, istilah guru bangsa sampai tahun 2001 belum ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  yang ada bapak bangsa. Menurutnya,  istilah tersebut baru rame diperbincangkan tahun 2004. Atau tepatnya menjalang Pemilu 2004, sebutan guru bangsa digunakan saat partai-partai menyiapkan kandidat calon pemimpin negara.

Kalau begitu istilah guru bangsa ada indikasi bermuatan politik. Apakah Gus Dur juga demikian? Perlu diingat! Gus Dur mengatakan ia ingin jadi guru bangsa pada tahun 1998. Enam tahun sebelum istilah itu rame digunakan.

Memahami makna guru bangsa bagi Gus Dur,  ada baiknya kita melihat sepak terjang cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini, dalam tulisan-tulisan dan perilakunya.

Penulis belum menemukan tulisan Gus Dur yang secara khusus membahas tentang guru bangsa. Ada istilah yang secara arti dekat—dengan tidak tergesa-gesa mengatakan memiliki arti yang sama—dengan istilah guru bangsa,  yaitu kiai. Banyak tulisan Gus Dur yang membahas tentang kiai. Gus menganalogikan kiai dengan seseorang yang telah mencapai maqom Pandawa, yang membantu para santri,  yang masih berada pada maqom Kurawa,  bertransformasi menjadi Pandawa.

Baca juga:  Sarung dan Peci Hamka; Sebuah Potret Lama

Pandawa-Kurawa bagi Gus Dur bukanlah sebuah ketetapan hitam-putih yang tak bisa berubah. Kurawa berpotensi menjadi Pandawa. Dengan analogi ini,  Gus Dur tampaknya ingin menyampaikan,  bahwa kiai adalah mereka yang mau membantu orang-orang yang masih “tersesat” dengan sabar. Kiai menganggap setiap orang berpotensi berubah dan memperbaiki dirinya.

Kalau benar,  makna guru bangsa bagi Gus Dur dekat dengan makna kiai,  maka berarti guru bangsa setidaknya bisa dipahami sebagai orang yang tak putus asa dalam melakukan perbaikan masyarakat atau bangsa.

Dalam melakukan perbaikan masyarakat,  ada yang khas dari Gus Dur. Ia selalu menyuarakan apa yang dianggapnya benar dan mengusahakan keadilan,  dengan menghindari perpecahan dan perang saudara. Jalan diplomasi.

Kalau kita membaca wawancara dengan Gus Dur di majalah Tempo edisi 28 Desember 1998 akan tampak sikap Gus Dur,  yang dengan gigih menghalau perpecahan bangsa. Isi wawancara menyiratkan Indonesia waktu itu berpotensi mengalami perpecahan. Gus Dur berusaha menghindarkan itu. Ditemuinya tokoh-tokoh berpengaruh. BJ Habibi,  Wiranto dan mantan Presiden Soeharto, yang baru lengser.

Bagi Gus Dur kerusuhan di berbagai daerah yang terjadi waktu itu,  bisa diharapkan pemecahannya jika empat tokoh (yang ke empat adalah Gus Dur sendiri) tersebut bertemu.  Walaupun Gus Dur tidak mau terlalu optimis dan pesimis,  namun kata dia,  paling tidak dengan bertemunya tokoh-tokoh itu bisa ngentengake (meringankan). Karena kunci perdamaian saat itu,  jika tiga tokoh tersebut bersepakat menyudahi.

Baca juga:  Hari Ini Seabad Saifuddin Zuhri: Pesantren dan Indonesia

Menurut Gus Dur,  pengikut Pak Harto (panggilan Soeharto) ,  banyak yang tidak puas dengan perlakuan yang diberikan kepada Pak Harto saat itu (reformasi),  sehingga bersikap dan bereaksi. “Pak Harto yang bisa bilangin mereka: jangan” kata Gus Dur.

Langkah Gus Dur di atas dinilai tidak populer. Ketika ditanya,  Gus Dur menjawab: “kalau menghitung popularitas dan sebagainya,  ya tidak jadi apa-apa dan tidak mengarah ke tujuan negara ini. Bangsa ini akan hancur berantakan. Saya nggak tega melihat bangsa ini hancur berantakan. Apapun alasannya”.

Sikap menghindari perang saudara terlihat lagi saat Gus Dur dilengserkan dari kursi Presiden. Masa pendukung Gus Dur waktu itu sudah siap membela Gus Dur sampai titik akhir. Penulis juga pernah mendengar sendiri dari seorang teman yang waktu Gus Dur dilengserkan siap membela Gus Dur sampai akhir. Namun Gus Dur akhirnya memilih mundur. Ia tak mau terjadi perang saudara.  Ada kata-kata Gus Dur yang populer,  dan dikutip banyak orang: “tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian”.

Berjuang melakukan perbaikan masyarakat dengan jalan tanpa kekerasan dilakukan Gus Dur bukan hanya dalam lingkup Indonesia,  tapi juga dunia. Gus Dur pernah berupaya ikut mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Pada akhir Februari sampai awal Maret 2003,  Gus Dur berada di Washington DC,  Amerika Serikat (AS)  menghadiri konferensi perdamaian untuk kawasan Timur Tengah,  sebagaimana ia tulis dalam salah satu artikel dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita.

Baca juga:  Setelah Mbah Hasyim Asy'ari, Sang Putra Zaman adalah Mbah Moen

Gus Dur mengatakan,  salah satu alasan ia hadir dalam konferensi tersebut,  karena persiapan-persiapan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris sudah sangat jauh—menuju perang dengan Irak. Gus Dur mengatakan “sampai titik terakhir  sekalipun,  harus diupayakan damai yang bersifat permanen untuk kawasan Timur Tengah”.

Terkait mengusahakan perdamaian sampai titik akhir,  Gus Dur pernah mengatakan: “Dikatakan orang, perang adalah penerusan perundingan yang alot. Jika dibalik, perundingan kembali terjadi manakala perang tidak menghasilkan apa-apa”. Kata-kata Gus Dur ini tampaknya juga sebagai respons atau bahkan alternatif atas ucapan ahli strategi perang dari Jerman Von Clausewitz,  yang mengatakan “perang adalah kelanjutan dari diplomasi/perundingan yang gagal”.

Begitulah kira-kira makna guru bangsa bagi Gus Dur, yang penulis paham. Kemungkinan besar makna Guru Bangsa bagi Gus Dur,  tak sesederhana itu,  dan bisa jadi masih sangat luas.

Banyak pengakuan dari banyak orang,  bahwa Gus Dur adalah guru bangsa. Tidak hanya dari orang Islam,  bahkan non muslim pun menyebut Gus Dur sebagai guru bangsa. Walaupun banyak yang setuju bahwa Gus Dur pantas menyandang sebutan guru bangsa,  tapi sepertinya guru bangsa yang dicita-citakan Gus Dur bukanlah sebuah gelar yang butuh pengakuan. Guru bangsa adalah laku hidup yang dipilih Gus Dur, dengan atau tanpa pengakuan orang lain. Ibarat Gus Dur bermain opera—menyadur istilah dari perkataan Gong Er,  salah satu tokoh dalam film The Grand Master —Gus Dur akan tetap memainkan operanya,  diberi tepuk tangan atau tidak.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top