Sedang Membaca
Hasil Riset CSRC: Kaum Muda Muslim, Konservatif Juga Moderat
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Hasil Riset CSRC: Kaum Muda Muslim, Konservatif Juga Moderat

Secara umum sikap dan perilaku kaum muda muslim milenial terhadap radikalisme cenderung tidak ajeg. Mereka menunjukkan sikap dan perilaku keberagamaan yang konservatif, dengan coraknya yang komunal, skriptural, dan puritan. Namun mereka juga terbuka pada nilai serta prinsip moderatisme, nir kekerasan, serta menghargai kebebasan individu dan HAM, meski dibatasi oleh norma agama dan budaya. Sikap seperti itu misalnya tercermin pada cara mereka menceritakan hubungan sosial  mereka dengan kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda.

Corak dan identitas keberagamaan seperti itu adalah cerminan dari proses pembelajaran, pemahaman, dan pengalaman keberagamaan yang dipengaruhi konteks agama, budaya, dan sosial-politik yang kompleks. Hibridasi identitas tampaknya berpengaruh secara kuat terhadap proses pembentukan pandangan, sikap, dan perilaku ini. Luas dan kompleksnya berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum muda muslim milenial, membuat mereka cenderung konservatif dalam keberagamaan, terutama siswa sekolah dan perguruan tinggi tingkat awal.

Jangkauan pengetahuan mereka yang masih terbatas, serta proses pencarian yang terus-menerus, membuat mereka mudah terdorong untuk mengikuti pandangan-pandangan normatif ketika disuguhkan isu-isu sensitif seperti keragaman dan toleransi, kebebasan individu dan HAM, wawasan kebangsaan maupun perihal radikalisme dan ekstremisme.

Demikian satu kesimpulan riset yang digelar oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan dukungan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan United Nation Development Programme (UNDP).

Penelitian dengan topik “Arah dan Corak Keberagamaan Kaum Muda Muslim Indonesia”itu dilakukan di 18 kota/kabupaten di Indonesia, meliputi: Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Bandar Lampung, Balikpapan, Jabodetabek, Bogor, Tasikmalaya, Bandung, Garut, Yogyakarta, Solo, Lamongan, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Bulukumba, dan Bima. Riset dikerjakan pada Agustus 2017 hingga Januari 2018, dengan melibatkan 14 peneliti.

Namun demikian, kesimpulan tersebut tidak lantas dipahami sebagai sesuatu yang linear dan konstan. Tampak adanya patahan-patahan kecil yang menunjukkan kecenderungan pada konservatisme dan radikalisme. Organisasi seperti ROHIS, OSIS, BEM, LDK, HMI, IMM, PMII, KAMMI, dan bahkan yang berhaluan nasionalis sekali pun seperti GMNI, PP, Pemuda Pancamarga, dan KNPI memperlihatkan patahan-patahan tersebut.

935 narasumber
Dalam sosialisasi hasil riset ini, Jumat, 23 Februari 2018 di Hotel Cemara 2 Jakarta, tim periset menjelaskan latar belakang riset. Riset ini hendak mengetahui secara mendalam struktur dasar sikap dan prilaku kaum muda muslim generasi milenial (15-24 tahun) tentang kekerasan dan ekstremisme. Riset melibatkan 935 aktivis muda muslim yang terdiri dari 555 narasumber in-depth interview dan 380 narasumber FGD dengan varian ideologi yang sangat beragam.

Pemaparan hasil riset di Hotel Cemara 2 Jakarta

Secara umum, sikap dan perilaku kaum muda muslim bisa dikategorikan moderat, namun pada saat yang sama tren konservatisme dengan ciri skriptural plus komunal juga menguat. Kecenderungan terakhir ini melahirkan tantangan tersendiri bagi munculnya sikap dan perilaku intoleran, sekaligus menguatnya dukungan terhadap radikalisme dan ekstremisme.

Beberapa tema sebagai panduan wawancara mendalam dan FGD merentang dari mulai yang paling ringan, misalnya soal pengalaman dan pendidikan kebergamaan, sampai pada yang paling berat seperti kekerasan dan terorisme. Secara spesifik, tema-tema tersebut meliputi:

1. Relijiusitas: pehamahaman keagamaan dan pengalamaan keberagamaan kaum muda Muslim
2. Pendidikan dan pembelajaran keagamaan.
3. Keragaman (diversity) dan toleransi.
4. Kebebasan individu dan Hak Asasi Manusia.
5. Wawasan kebangsaan (nasionalisme).
6. Radikalisme dan ekstremisme.

Baca juga:  Menjadi Islam, Tetap Menjadi Indonesia

Aktivis muda muslim menerima pendidikan dan pengajaraan agama yang beragam, mulai dari pendidikan dalam keluarga, pendidikan formal, hingga pendidikan informal. Untuk pendidikan formal, mereka belajar agama di sekolah umum dan sekolah agama mulai dari SD/MI hingga jenjang -jenjang pendidikan di atasnya. Sekolah-sekolah Islam Terpadu menjadi salah satu alternatif pembelajaran agama yang relatif digandrungi.

Namun di era milenial, media sosial menjadi sahabat sekaligus tempat bertanya bagi anak muda dalam belajar agama. Mereka umumunya menyukai ustaz-ustaz yang digital friendly karena mereka dapat mengakses ceramah ataupun tausiyahnya secara mudah di manapun dan kapan pun mereka menginginkannya. Penelitian ini menemukan bahwa secara umum pengaruh media sosial relatif signifikan mereduksi peran pendidikan agama dalam keluarga dan peran guru agama di sekolah.

Hibridasi Identitas
Penanda yang relatif dominan dari kaum muda muslim masa kini  adalah hybridation of identity (hibridasi identitas), yakni adanya proses “persilangan” afiliasi dan orientasi keagamaan berdasarkan dinamika dan interaksi sosial-politik-keagamaan yang mereka alami dengan lingkungan sosialnya. Hibridasi identitas ini juga dimaknai sebagai sebentuk lahirnya identitas baru akibat percampuran budaya, tradisi, nilai, dan prinsip yang dipegang oleh kaum muda muslim karena proses interaksi intensif dengan lingkungan

Hibridasi identitas kaum muda muslim terjadi disebabkan oleh pengalaman yang mereka dapatkan sejak masih usia anak-anak sampai remaja dan atau sampai masa studi di perguruan tinggi. Tidak banyak anak muda muslim yang memiliki pengalaman linear dalam satu tradisi keagamaan. Dalam konteks ini, hibridasi identitas  dapat dilihat pada aspek-aspek:

1. Latar belakang keagamaan keluarga pada umumnya tidak diwarisi secara linear oleh kaum muda muslim.
2. Lembaga pendidikan maupun pemahaman keagamaan, baik yang diperoleh dari keluarga, lembaga formal, informal, internet, dan media sosial, menunjukkan persilangan nilai-nilai identitas budaya, sosial, dan politik-ekonomi yang saling mempengaruhi satu sama lain.
3. Organisasi atau aktivisme yang mereka geluti sering tidak linear, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat lanjut (di sekolah, di kampus, maupun setelah lulus kuliah, dan bahkan hingga saat ini.
4. Karakter urban dari kaum muda muslim. Perpindahan tempat dari desa ke kota atau perubahan status dari pelajar menjadi mahasiswa membuat mereka berinteraksi dengan hal-hal baru yang belum didapatkan. Pertautan dan perjumpaan dengan dunia yang lebih luas dan kompleks ini membuat mereka mengalami hibridasi identitas yang masih berlangsung.

Toleransi,  HAM, dan ideologi negara
Corak keberagamaan dan toleransi kaum muda muslim terbagi ke dalam dua corak.

Pandangan pertama menekankan pada toleransi komunal. Cara pandang ini dimungkinkan oleh dominannya skripturalisme dalam beragama, yaitu sikap keberagamaan yang mengacu kepada dalil-dalil Alquran dan Hadis yang dipahami secara literal, tanpa melalui proses nalar perbandingan, dan tanpa mempertimbangkan konteks turunnya ayat atau munculnya hadis.  Pandangan  ini sebagian besar didukung oleh aktivis dakwahis (ROHIS, LDK, dan kelompok dakwah di luar sekolah/universitas).

Pandangan kedua berpijak pada toleransi kewargaan. Sebagian besar didukung oleh aktivis pergerakan kemahasiswaan Islam yang sudah mapan seperti HMI, PMII, IMM, dan organisasi keislaman di luar kampus yang progresif. Toleransi kewargaan ini dipraktikkan secara sadar dan aktif atas dasar nilai-nilai kewargaan/demokrasi yang disinari oleh konsepsi keislaman yang terbuka dan kontekstual. Pandangan ini  juga didukung oleh mereka yang berhaluan nasionalis seperti GMNI, Pemuda Pancasila, dan KNPI. Namun, mereka cenderung berjarak dengan diskursus keagamaan karena dirasa sensitif, sehingga toleransi beragama   bersifat pasif.

Baca juga:  KH Zawawi Imron Jelaskan Alasan Cinta Tanah Air

Respon responsen terhadap kebebasan individu dan HAM masih relatif kuat dengan unsur konservatisme, komunalisme, dan skripturalisme. Terhadap tema ini,  ada tiga kecenderungan pandangan.

Pertama, pandangan yang setuju dengan kebebasan individu dan HAM, namun kebebasan itu sendiri harus dibatasi oleh nilai-nilai agama dan budaya setempat. Aspek komunal masih cukup kuat dalam matra yang pertama ini. Pandangan ini didukung oleh kaum muda Muslim yang sebagian besar aktif di ROHIS, LDK, OSIS, BEM dan dalam derajat tertentu OKP kepemudaan seperti IMM dan KAMMI.

Kedua pandangan yang menolak sama sekali kebebasan individu dan HAM. Mereka berpendapat bahwa HAM berasal dari Barat dan bukan dari Islam. Justru HAM diperkenalkan kepada kaum Muslim dalam rangka merusak umat Islam dengan menciptakan kebebasan individu yang tanpa batas. Pada umumnya pandangan ini didukung oleh kaum muda muslim yang aktif dalam kelompok-kelompok organisasi Islam yang mencita-citakan kekhilafahan, seperti HTI.

Ketiga, pandangan yang percaya bahwa antara Islam dan HAM berjalan seiring. Mereka yang aktif di PMII, HMI, IPPNU, KNPI, Pemuda Pancasila, dan organisasi Isam progresif, mendukung pandangan bahwa kebebasan individu dan HAM tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Mengenai dukungan aktivis muda muslim terhadap Pancasila, terdapat beberapa kecenderungan, yang dapat diilustrasikan ke dalam empat tipologi.

Pertama mendukung Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara secara bulat karena Pancasila diyakini sebagai simbol perekat/pemersatu dan penopang prinsip  kebhinekaan (diversity) dan kebangsaan. Kaum muda yang mendukung pandangan ini kebanyakan berasal dari organisasi-organisasi dengan basis nasionalisme yang kuat seperti GMNI, KNPI, PMII, dan Pemuda Pancasila.

Kedua, mengakui dan mendukung Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara sepenuhnya karena keseluruhan isi dan esensi sila-sila Pancasila bersifat islami, dalam artian cocok dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Ketiga mengakui dan menerima Pancasila secara ambivalen. Dalam tipologi ini terdapat dua kelompok, anak-anak muda muslim yang bergabung ke ormas seperti FPI mengakui Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, tetapi memiliki agenda ideologis, mengembalikan Pancasila ke spirit Piagam Jakarta. Sedangkan para aktivis HTI mengakui Pancasila tetapi memiliki agenda ganda sekaligus, penerapan syariat dan khilafah. Karenanya, pengakuan aktivis HTI terhadap Pancasila harus dilihat secara kritis sebagai pernyataan politik (political statement).

Keempat, menolak Pancasila secara bulat. Penolakan terhadap Pancasila dijumpai di Bulukumba, Lamongan, Tasikmalaya, Lampung, Bogor, dan di beberapa tempat lainnya. Di Bulukumba, aktivis FDPI (Forum Pemuda Dakwah Islam) menolak seluruh hukum manusia kecuali hukum Allah, termasuk Pancasila.  Di Lamongan, anak muda Pondok Pesantern Al-Islam di Tenggulun menolak mengakui Pancasila sebagai dasar dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Katanya, Pancasila tidak lebih dari sekadar buatan manusia. Di Lampung, sejumlah aktivis muda mendambakan Khilafatul Muslimin (KM) dipimpin seorang khalifah bernama Abdul Qodir Hasan Baraja. Di Bogor, terdapat generasi muda dengan corak pemikiran dan keislaman yang menginginkan negara Islam (daulah Islamiyah) berdasarkan syari’at Islam di segala aspek kehidupan. Corak utopian ini dianut para pemuda Islam yang pernah menjadi aktivis HTI.

Baca juga:  Grand Syekh Al-Azhar Minta Jangan Memperuncing Perbedaan Mazhab

Kekerasan dan Ekstremisme
Dalam kaitannya dengan kekerasan, secara umum terdapat tiga kecenderungan sikap dan prilaku. Pertama, menolak sama sekali razia dan sweeping. Kecenderungan pertama ini paling dominan di antara kaum muda Muslim di Indonesia di hampir semua tempat dan organisasi.

Kedua, setuju razia/sweeping tanpa kekerasan dan pengrusakan. Respon kedua ini lebih dominan di kalangan ROHIS dan LDK, dan beberapa aktivis OSIS, BEM, dan kalangan moderat dan nasionalis.

Ketiga, setuju razia/sweeping secara penuh. Kecenderungan ketiga ini lebih banyak tampak dari kalangan aktivis muda Muslim  memang terlibat dalam organisasi-organisasi yang sering melakukan hisbah (amar makruf nahi munkar). Terkait hal terakhir ini, wilayah Manado memberikan potret yang khas. Gejala menguatnya aktivisme Islam garis keras ikut mendorong pengentalan sentiment etno-religious di kalangan sebagian umat Kristiani. Kelompok-kelompok seperti Brigade Manguni Indonesia, Laskar Manguni Indonesia, milisi Warany, dan beberapa kelompok lain,  aktif melakukan aksi-aksi demonstrasi saat terjadi permasalahan yang berkaitan dengan isu-isu relasi Islam-Kristen.

Terkait dengan radikalisme, penelitian ini dapat mengklaim bahwa para aktivis muda muslim cenderung menolak radikalisme dan ekstremisme yang mencoba melakukan perubahan sosial-politik secara revolusioner dan menyeluruh. Ide menggantikan Pancasila dengan kekhilafahan, yang resonansinya kuat di lingkaran aktivis HTI, Khilafatul Muslimin, Jama’ah Muslimin, tidak terlalu mereka hiraukan.

Konsekuensi pandangan konservatif dan skripturalis di kalangan muda, dapat dilihat dari temuan lapangan di berbagai daerah. Sebagian mereka berupaya mereformulasi konsep-konsep keislaman yang berkembang di kalangan kelompok radikal. Salah satu contohnya adalah gagasan tentang khilafah yang resonansinya berkembang di kalangan muda, dan tidak terbatas di kalangan HTI. Secara umum, hampir semua kaum muda muslim di Indonesia berkeyakinan, sangat sulit mengganti Indonesia dengan negara khilafah bersyariat Islam.

Rekomendasi

Beberapa rekomendasi dari hasil penelitian ini yang bisa dijadikan pertimbangan oleh semua pemangku kepentingan:

1. Perlu memperbanyak dan memperluas perjumpaan-perjumpaan di kalangan kaum muda muslim dengan beragam latar belakang yang berbeda, terutama dari sisi etnis dan ras. Misalnya, kemah antar etnis, antar agama dan sejenisnya.

2. Membatasi pengaruh gerakan dan aktivisme Islam konservatif, garis keras dan radikal dalam lembaga pendidikan formal tanpa terjebak pada kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif, misalnya pelarangan, pembekuan, dan sejenisnya;

3. Memperkenalkan diskursus nilai-nilai kewargaan bagi kelompok-kelompok konservatif seperti ROHIS dan LDK melalui kurikulum formal di sekolah dan universitas;

4. Sekolah atau universitas jangan mengabaikan program-program ROHIS dan LDK seperti liqa dan yang sejenis berjalan sendiri begitu saja tanpa intervensi dari otoritas sekolah dan kampus dengan diskursus nilai-nilai kewargaan.

6. Selain itu penting juga mengekspos dan memperkenalkan keragaman penafsiran di dalam Islam terhadap kelompok-kelompok konservatif dengan dengan ragam metode yang lebih popular.

6. Mendorong kelompok-kelompok moderat untuk terlibat aktif dalam area-area dakwah yang lebih luas seperti ROHIS dan LDK, dan tak hanya berebut dalam BEM semata.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top