Jaga Perasaan, Jaga Momentum
Apa yang saya ceritakan di atas, sering terjadi tidak hanya dalam urusan garam. Juga dalam pembangunan dan peresmian jembatan, kerjasama internasional, impor sapi, sampai ke wacana penggunaan dana haji untuk pembangunan. Seolah kerja-kerja pemerintahan bukan bagian dari kesinambungan antar rezim—atau memang demikiankah kenyataannya? Alangkah sedih kalau begitu.
Pihak yang berkuasa, tentu mesti mendengar apa pun jenis masukan yang berniat mulia. Apa yang disampaikan mesti menjadi renungan dan kemudian tekad untuk ke luar dari kerkapan persoalan yang ada. Berbagai upaya harus dilakukan, sekalipun itu baru bersifat rintisan, karena kita tahu ada banyak pekerjaan yang tak bisa selesai oleh satu-dua kekuasaan. “Kerja belum selesai, belum apa-apa,” kata ponakan Sutan Syahrir, Chairil Anwar.
Maka pihak yang berkuasa mesti memberi apresiasi secara terbuka kepada program atau proyek rintisan rezim terdahulu. Sebaliknya, para mantan juga mesti mengapresiasi apabila program atau proyeknya dilanjutkan, apalagi jika sampai berhasil sebagaimana yang dicita-citakan. Justru malah bagus. Tidak perlu jeles bagi yang lalu, dan tak perlu lebay bagi yang sekarang.
Semua kerja mesti dilihat dalam kerangka kesinambungan, (seharusnya) bukan untuk politik pencitraan. Mungkin itulah sebabnya, selain Pancasila yang betul-betul merangkum soal-soal kebangsaan di luar sekat politik, sosial dan budaya, kita membutuhkan GBHN, atau semacam kerangka acuan sebagaimana REPELITA dan PELITA yang diumumkan secara terbuka kepada rakyat banyak. Jika perlu biarkan rakyat banyak mengadakan musyawarah tentang itu, alih-alih mengambil spirit Tan Malaka via Murba.
Ancangan bersama ini penting bukan saja untuk mengikis sentimen fanatik atas sebuah rezim, melainkan menjadi standar pencapaian bangsa secara keseluruhan.
Saya membayangkan, seandainya rezim Soeharto bertugas hanya dua periode sebagaimana rezim SBY, maka konsep PELITA yang dirumuskannya akan dilanjutkan oleh rezim selanjutnya (Habibie, Gus Dur dan Megawati) sehingga akan ada penyempurnaan maupun penyegaran-penyegaran.
Namun karena rezim Soeharto mengental jadi rezim zaman yang berkuasa lama sekali sehingga seturut sebaris puisi Acep Zamzam Noor, “seperti memindahkan gunung berapi”, maka REPELITA dan PELITA hanya ajeg di satu rezim dan sulit dijadikan tolok-ukur untuk rezim yang lain.
Upaya untuk tidak baper ini, juga terkait dengan cara kita menjaga momentum. Pemerintah harus menjadikan semua niat dan pikiran baik yang datang dari segala arah sebagai tekad bersama. Sebaliknya pihak lain perlu mendukung dan mengapresiasi setiap upaya pemerintah yang berkuasa. Tentu tidak menutup kemungkinan bahwa program di suatu rezim ada yang jelek dan itu tidak perlu dilanjutkan. Upaya mengoreksinya itu pun bagian dari unsur penting kesinambungan—bukan atas nama rezim apalagi SARAZIM.