Nur Hasan
Penulis Kolom

Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.

Gus Dur, HAM, dan Kontekstualisasi Pemikiran Keagamaan

Gus Dur, salah satu tokoh besar bangsa bahkan dunia yang pernah dimiliki Indonesia. Manifestasi kebesarannya terpancar dari pemikirannya dan pembelaannya terhadap hak asasi manusia (HAM). Jika dilihat rekam jejak Gus Dur, perjuangannya di bidang HAM bukanlah hal yang ringan.

Dalam beberapa hal, pemikiran Gus Dur sering disalahpahami dan dianggap bertentangan dengan arus utama pemikiran keagamaan yang legal formalistik. Bahkan beliau sering dihujat oleh kelompok Islam sendiri, yang berfikiran konservatif dan kurang terbuka.

Keberhasilan Gus Dur dalam merumuskan pemikiran agama yang berperspektif HAM, atau HAM yang berasaskan pada Islam. Merupakan sebuah sumbangan yang sangat besar, bagi peradaban manusia modern, khususnya bagi bangsa Indonesia yang multikultur.

Pemikiran Gus Dur tentang HAM, sejatinya adalah lanjutan dari pemikiran Islam klasik yang dibangun oleh para ulama terdahulu. Apa yang dibawa Gus Dur sejatinya bukan sesuatu yang baru, tetapi ajaran Islam yang dikontekstualisasikan dan dimodernisasi dengan keadaan zaman yang ada. Hal tersebut sebagai wujud dari agama Islam yang shalih fi kulli zaman wa makan (selalu relevan di setiap zaman dan tempat).

Gus Dur melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dengan kebutuhan zaman yang berubah. Dalam membangun pemikiran keislamannya, Gus Dur selalu menggunakan aksioma bahwa Islam diturunkan ke dunia tidak lain adalah untuk memuliakan manusia, mewujudkan kemaslahatan, dan kesejahteraan di antara mereka, serta membei kemudahan dalam kehidupannya.

Hadirnya agama Islam bukan untuk memberikan kesulitan, intimidasi, terror, dan berbagai kemadaratan di dunia. Sehingga dalam kehidupan, Gus Dur selalu mengkampanyekan dakwah Islam yang tanpa kekerasan serta menolak berbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Pada dasarnya, Islam telah menjamin aspek kehidupan dalam diri manusia, yaitu yang dikenal dengan Maqashid Syariah. Yang mana pemikiran Gus Dur dalam bidang keagamaan dan sosial kemasyarakatan, banyak yang dilandasi dengan teori Maqashid Syari’ah, yaitu Hifzud Din (jaminan dalam kesalamatan agama dan beragama), Hifzun Nafs (jaminan atas jiwa dan keseamatan fisik), Hifzun Nasl (jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan), Hifzul Mal (jaminan atas hak milik pribadi), dan Hifzul ‘Aql (jaminan atas akal atau kebebasan berfikir).

Baca juga:  Muammar ZA, Suara yang Tak Pernah Tua

Maqashid Syari’ah adalah bagian dari fondasi agama dalam menata kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai dasar HAM dalam Islam. Bagi Gus Dur, Islam sangat sensitif dan peduli terhadap masalah dan isu-isu HAM. Karena dalam Islam, tidak ada pemaksaan dalam beragama. Sehingga Islam sangat menentang segala kekerasan, dan pemaksaan kehendak terhadap orang atau kelompok lain.

Hanya saja, Gus Dur mengubah struktur urutan yang ada dalam lima prinsip tujuan syariat (Maqashid Syariah) dengan menempatkan Hifzun Nafs (jaminan atas keselamatan jiwa dan fisik), di urutan pertama menggantikan posisi jaminan atas keselamatan agama.

Hal ini karena pemikiran Gus Dur yang dibangun atas dasar kondisi dan keadaan sosial pada waktu itu,  masa Orde Baru. Bagi Gus Dur di masa Orde Baru, ancaman terhadap keselamatan fisik atau jiwa manusia sangat terasa. Sehingga beliau melakukan kontekstualisasi dengan menempatkan perlindungan terhadap keselamatan jiwa, dan fisik manusia sebagai hal yang pertama.

Kontekstualisasi yang dilakukan oleh Gus Dur dengan menempatkan jaminan keselamatan jiwa sebagai hal yang utama, tanpa memisahkannya dari empat jaminan hak dasar manusia di tengah pemerintahan yang represif pada waktu itu adalah sebuah pemikiran kreatif.

Dalam konteks sekarang, tentu ancaman terhadap kelima hak dasar manusia tersebut sudah mengalami perubahan. Jika di zaman Gus Dur, ancaman terhadap keselamatan fisik manusia datang dari negara yang bersifat represif. Justru saat ini, ancaman terhadap keselamatan fisik manusia datang dari kelompok-kelompok yang suka menggunakan cara kekerasan di luar hukum, intimidasi, terror, dan pemaksaan kehendak.

Melanjutkan kembali apa yang sudah dibangun oleh Gus Dur, yaitu kontekstualisasi pemikiran keagamaan adalah suatu kebutuhan mendasar saat ini.

Supaya agama tetap memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama dan negara tidak bisa dipisahkan, tanpa kontribusi agama kehidupan berbangsa dan bernegara akan terus mengalami degradasi dalam berbagai bidang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top