Tidak dimungkiri masuknya Islam telah memperkaya kebudayaan bangsa ini. Dalam hal bahasa, kosakata dari tradisi Islam–termasuk di dalamnya dari bahasa Arab, Persia, dan lainnya–mengalir deras dari mulut anak bangsa ini sejak sekian lama. Menjadikan kata-kata yang tadinya asing itu bahasa keseharian mereka. Menambah khazanah kata dalam bahasa Melayu dari bahasa dunia yang sebelumnya “didominasi” oleh bahasa Sanskerta.
Di antara ungkapan yang saya maksud di atas adalah “innalillahi wa innailaihirojiun”. Anak bangsa ini menggunakan frasa ini untuk ungkapan atas kesedihan atau kemalangan yang terjadi (KBBI, 2008). Namun, banyak pula ia diujarkan bukan karena memahami maknanya, tapi hanya wujud kekagetan atas segala kemalangan yang terjadi. Ada orang meninggal, innalillahi wa innailaihirojiun. Ada orang mengalami kecelakaan, innalillahi wa innailaihirojiun. Ada bencana alam, innalillahi wa innailaihirojiun.
Kalimat ini biasanya diterjemahkan dengan “Sesungguhnya kita berasal dr Allah dan akan kembali kepada-Nya” (KBBI, 2008). Terjemahan ini sebenarnya hanya memilih makna minimal dari betapa luasnya makna innalillahi wa innailaihirojiun. Sebelum ke maknanya, mari kita lihat dari mana kalimat ini sebenarnya berasal.
Dari Quran, surat al-Baqarah, ayat 156 frasa ini dan fungsinya diajarkan. Kalimat ini akan lebih lengkap dipahami dengan baik bila kita menyebutkan ayat sebelumnya. Allah berfirman dalam ayat 155 – yang salah satu maknanya – bersabda:
“Sungguh, Kami pasti akan terus-menerus menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innā lillāhi wa ‘innā ilaihi rāji‘ūn (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya)…” (Shihab 2009).
Jadi orang-orang yang sabar itu sabar atas beragam cobaan dari Allah. Bukan hanya hilangnya jiwa, baik dari keluarga, kawan karib, maupun kolega, namun juga kehadiran rasa takut, rasa lapar yang sangat, atau kemiskinan. Dalam kondisi malang semacam itu, mereka harus tetap berusaha melakukan amal kebaikan sesuai dengan tuntutan kondisi yang ada.
Bila mempertimbangkan ayat 154 yang berbicara tentang mereka yang gugur di perang di jalan Allah, maka mereka ini yang sahabat-sahabatnya telah gugur yakin bahwa mereka semua akan dipertemukan kembali di akhirat kelak.
Habib Quraish Shihab menjelaskan “Kami milik Allah. Jika demikian, Dia melakukan apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi, Allah Maha Bijaksana… Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, kami akan kembali kepada-Nya sehingga, ketika bertemu nanti, tentulah pertemuan itu adalah pertemuan dengan kasih sayang-Nya.” (Shihab 2009).
Dalam Tafsir Showi, “Innalillah” memiliki makna yang lebih luas dari sekira “kami milik Allah”. Innalillah bermakna manusia “dimiliki dan diciptakan oleh Allah, dan Allah menetapkan kepada manusia apa yang Dia kehendaki”.
Allah tidak berbuat zalim kepada manusia, maka manusia beriman hendaknya yakin bahwa sesuatu yang nampak sebagai kemalangan di mata mereka, memiliki hikmah yang besar di belakangnya.
“Wa innailaihirojiun” bermakna orang-orang yang sabar meyakini bahwa sejak di dunia ini mereka berada dalam proses kembali kepada Allah. Kembali kepada hakikat kemanusiaan yang sebenarnya, yaitu makhluk rohani. “Kembali” setelah berada di kehidupan duniawi artinya mereka yang beriman akan diganjar kelak di akhirat dengan nikmat yang belum pernah dilihat mata, belum didengar telinga, dan belum terbersit dalam hati. Maka dengan keyakinan ini, ujian dari Allah berupa ketakutan akan hukum-hukum-Nya, kelaparan karena puasa, kekurangan harta karena zakat dan sedekah, tertimpa penyakit, dan kematian sanak saudara dan teman karib, semua rasa sedih atas “malapetaka” itu menjadi hilang (Ibnu Ajibah, Tafsir Bahrul Madid, 1999).
Dalam tataran yang berbeda Sunan Kudus disebutkan mengajarkan pemaknaan “Innalillahi”. Ajaran ini terkandung di dalam MS. Or. 3050 halaman 21.
Baris 3. Fashlun. Punika kawikanana tegesing Innalillahi
Baris 4. wa innailaihirojiun. Tegese kang teka saking Pengeran. Lan
Baris 5. Mulihe maring Pengeran. Tegese iku sipta awit paninggaling mukminin
Baris 6. Kang utama. Ing martabat tauhid. ma’arifah. Anapun kang saking
Baris 7. Pengeran. Sekehing karya dinadeken kaya hiki cihnaning sipat
Baris 8. Afa’al Allah. Punika cermening mukminin. Sakathahe anggen ninga
Baris 9. was. Ingkang ngandikan. Jagat kabeh hiki. Iya iku tegesing
Baris 10. Pinungkan. Kabeh saking pengeran. Ing martabat ing mat tauhid
Baris 11. Ma’arifat. Anapun mukminin. Kang sampurna ang raji’ mali
Baris 12. Tingale. Ing sipating dzatullah. Iya iku reke tegese kang mulih maring
Baris 13. Pengeran. Mangka lenyep legot tannana kesuthe. Dening sampurna.
Baris 14. Ma’arifate. Ing Pengeran lan saking siheng Pengeran.
Terjemah:
Baris 3. Satu fasal. Ini adalah penjelasan mengenai Innalillahi
Baris 4. wa innailaihirojiun. Artinya yang datang dari Tuhan. Dan
Baris 5. Kembali kepada Tuhan. Maksudnya menyatakan cara pandang mendasar dari orang beriman
Baris 6. Yang paling utama. Inilah martabat Tauhid Makrifat. Adapun “Berasal dari
Baris 7. Tuhan” adalah semua karya yang diciptakan (oleh-Nya) misalnya semua wujud dari
Baris 8. Tindakan-tindakan Allah. Itulah cermin bagi orang yang beriman. Semua itu pasti jelasnya.
Baris 9. Perkataan “seluruh alam semesta” itulah yang dituju
Baris 10. Dari semua berasal dari Tuhan. Yaitu inilah martabat tauhid
Baris 11. Makrifat. Pastilah bahwa orang mukmin yang sempurna kembalinya kepada
Baris 12. Pandangan terhadap sifat hakikat Allah. Itulah yang kembali kepada
Baris 13. Tuhan. Maka sirna lepas tanpa penghalang menuju kesempurnaan
Baris 14. makrifat akan Tuhan dan (ini) berasal dari rahmat Tuhan.
Di sini ditegaskan bahwa bukan hanya innalillah adalah ucapan semata dari seorang muslim, ia sebenarnya adalah “sipat awit paningaling mukminin kang utama” (cara pandang mendasar dari orang beriman yang paling utama).
Innalillah adalah karakter sejati seorang mukmin. Dengan innalillah seorang mukmin hendaknya melihat dunia ini. Yaitu semuanya bersumber dari Allah dan kembali kepada Allah.
Bahkan seorang mukmin yang sempurna adalah mereka yang sudah kembali kepada Allah. Maka mereka yang telah kembali itu sirna makrifatnya. Segera setelah menunjukkan yang paling sempurna dari tingkat makrifat ini, Sunan Kudus, mengingatkan agar seorang mukmin menyadari bahwa hal ini tidak terjadi kecuali karena anugerah dari Tuhan semata.
Bukan tidak mungkin bahwa penjelasan akan pentingnya kembali kepada Allah ini, terutama dengan ekspresi Jawa, melahirkan bahasa simbol “Sangkan Paraning Dumadi”. Yaitu ajaran bahwa Allah adalah Awal dan Akhir, Alfa dan Omega, Dekat sekaligus Transenden. Wallahu a’lam. (ATK)