Ekspresi kesenian Islam yang dibawa oleh para sufi atau yang cenderung mengikuti pemahaman mereka selalu melibatkan unsur lokal. Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia Islam di mana para sufi menjalankan misi dakwah. Tak terkecuali di Nusantara. Kesenian lokal di berbagai belahan bumi Nusantara ditumbuhkembangkan dengan baik dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam.
Di Jawa, ekspresi kesenian sufistik ini misalnya dapat ditemui pada kitab-kitab suluk. Kata suluk menunjukkan bahwa kitab-kitab dalam tradisi ini diniatkan untuk usaha mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam kamus term-term sufistik-filosofis, Kitab at-Ta’rifat, Aj-Jurjani menjelaskan simbolisme penempuh perjalanan ini (salik) dengan amat baik.
“Salik adalah mereka yang berjalan di atas pos-pos spiritual (maqamat) melalui cara pengkondisian diri (hal) bukan semata melalui pengetahuan…”.
Pada masa awal kemunculannya, kitab suluk yang mengambil bentuk prosa. Hal ini dapat dilihat pada Kitab Ushul Suluk karya yang dinisbahkan kepada Sunan Bonang. Drewes dalam The Admonition of Seh Bari menyebutkan bahwa kitab ini sudah ada di Eropa pada 1610. Penulisannya sangat mungkin terjadi pada akhir abad ke-16. Tidak menutup kemungkinan ditulis sejak masa Sunan Bonang hidup, hingga awal abad ke-16.
Namun perkembangan suluk selanjutnya menunjukkan perubahan. Kitab-kitab suluk selanjutnya mengambil ekspresi lokal berupa tembang macapat. Gubahan syair yang selalu melibatkan aspek nyanyian. Setiap metrum dalam macapat memiliki efek-efek emosional tertentu. Seorang penggubah macapat harus sadar akan kandungan dari syairnya dan menyesuaikannya dengan satu metrum beserta efek-efek yang hendak diciptakan.
Dari sini, tujuan dari gubahan suluk adalah agar mencipta suasana batin yang menjadikan ajaran tersampaikan. Lebih dari sekadar pemahaman dari susunan gramatika teks, suluk dalam tembang macapat lebih menekankan pada pemahaman yang bersifat langsung yang diperoleh dari kombinasi kata dan lagu yang masuk ke dalam relung para pendengarnya. Mungkin hal yang sama yang diperoleh umat Katolik dalam dendangan lagu-lagu rohani mereka. Suluk oleh sebab itu adalah usaha memopulerkan ajaran agama. Sebuah usaha yang amat penting untuk menjangkau komunitas di luar pesantren.
Beragam cara seorang dapat mendengarkan suluk. Dalam sisa-sisa praktek, yang harus diakui dengan sedih, suluk-suluk didendangkan secara bersama-sama sebelum sembahyang lima waktu dilakukan. Lantunan suluk dilakukan juga dalam pertemuan rutin, seminggu sekali, atau sebulan sekali.
Selain itu, peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang juga sering ditandai dengan syukuran, yang mana di masa lalu, suluk menjadi satu bacaan utama. Momen penting ini meliputi, kehamilan, kelahiran, menuju dewasa, dan pernikahan, serta kematian. Juga di sebagian masyarakat santri, suluk-suluk khusus dibaca pada momen penting sejarah Islam, seperti pada saat maulid Rasulullah dan syahidnya Sayyidina Husein.
Di sebagian besar kebudayaan Jawa kontemporer, perubahan terjadi pada bacaan untuk semua kegiatan penting di atas. Bacaan-bacaan yang berasal dari kitab-kitab berbahasa Arab menggantikan suluk-suluk dalam bahasa Jawa. Perubahan misalnya dalam syair-syair pujian menjelang salat lima waktu. Suluk yang tadinya didendangkan berangsur-angsur digantikan dengan syair bahasa Jawa model melayu yang lebih menekankan pada rima. Meskipun di banyak daerah di pelosok desa di Jawa syair yang disebut “syi’iran” ini masih dilantunkan, kedudukannya digantikan dengan syair- syair Arab. Perubahan dari bentuk-bentuk ini tidak menyentuh pada aspek inti, makna yang dikandung tetap utuh. Semua wujud itu dianggap sebagai wadah semata, sedangkan inti ajarannya tetaplah sama.
Kesatuan ajaran ini bisa terjadi karena kesatuan sumber. Kitab-kitab penting dari mana ajaran-ajaran dalam suluk berasal adalah kitab-kitab yang digubah oleh para sufi, fakih, dan teolog yang ajaran mereka sampai di Nusantara sebagai rentetan proses pengajaran guru-murid. Proses transmisi ini sudah sejak awal mula Islam di Nusantara terjadi di pusat-pusat keislaman seperti di dua kota suci, Mekah dan Madinah, dan ditambah lagi sebuah kota sufi penting di Yaman, Hadramaut. Hasil dari transmisi langsung ini dibawa oleh guru-guru sufi Nusantara kepada murid- murid lokal mereka.
Kitab paling penting dalam silsilah ajaran suluk adalah Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Dalam kitab Ushul Suluk di atas penulisnya menjadikan Ihya sebagai rujukan utama, disamping kitab at-Tamhid fil Bayanit Tauhid. Kombinasi fikih-tasawuf, seperti dalam Ihya, atau dalam tataran makro, syariah-hakikat, menjadi dasar bagi ajaran mistik di Jawa, bahkan di Nusantara secara umum. Keharmonisan di antara keduanya mampu mengantarkan seseorang pada kesempurnaan Islam.
Syekh Yusuf Tajul Khalwati, seorang sufi sekaligus pejuang politik, dalam Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin menjelaskan bahwa: “Syariat tanpa Hakikat adalah sia-sia; dan Hakikat tanpa Syariat adalah kegagalan”.
Keharmonisan ini menjadi rahmat tersendiri karena pembagian peran bisa terjadi tanpa usaha menegasikan salah satu. Masyarakat Jawa masa lalu telah memiliki pemahaman-pemahaman mistik-filosofis yang mereka dapatkan dari ajaran-ajaran sebelumnya. Peran pengenalan keagamaan pada Islam hendaknya diwakili oleh aspek yang mana “bahasa-bahasa” yang digunakan sejalan. Itu adalah peran dari ajaran hakikat, atau Sufisme Islam. Perubahan keagamaan yang demikian bisa meminimalisir “kekagetan kesadaran” yang bisa menimbulkan penolakan.
Pemberian peran ini sama sekali bukan berarti pembunuhan aspek yang lainnya. Sejarah menjadi saksi bahwa “sesaat” setelah Islam menjadi agama masyarakat dan kerajaan, ditandai dengan berdirinya Kesultanan Demak di Jawa, hukum-hukum Islam yang tadinya dijalankan secara sukarela oleh masyarakat dilembagakan oleh otoritas pemerintahan Islam.
Keharmonisan ini juga menuntut saling koreksi dari kedua aspek islam itu. Ketika sebuah aspek terlalu dominan, maka aspek lainnya harus menunjukkan wajah penolakan relatif yang bertujuan mengurangi ekses-ekses dari ajaran para sufi. Ketika sebuah ajaran mistik sudah mencapai tataran tinggi di mana kebutuhan akan hal ini bukanlah kebutuhan umum dari masyarakat Muslim, namun hanya sebagian mereka yang memiliki kemampuan saja, maka muncul semacam kesepakatan bersama untuk membatasi akses kepada ajaran tersebut.
Ungkapan pentingnya pembatasan akses ajaran sufi dari masyarakat umum dapat dilihat pada Suluk Aceh karya Ronggasasmita, “Ujar iku poma aywana kawetu maring wong akathah den asasab ang awingit ing pasthine iku nasaraken uga” (Komari, 2011). Dalam Sirrul Asrar, Syekh Yusuf Tajul Khalwati al-Makasari bahkan memberikan batasan pada para murid tarekat bahwa hendaknya sebagian ajaran sufi dipercayai sebatas pada apa yang disebutkan al-Quran.
Misalnya mengenai “Allah selalu bersama dengan makhluk-Nya”. Ajaran ini secara kukuh bersumber pada al-Quran dan hadis Nabi saw. Seseorang tentu akan menghadapi masalah serius secara spiritual jika menolak ajaran ini. Namun demikian, pemaknaan akan bagaimana sesungguhnya “kebersamaan dengan Allah” ini terjadi dalam beragam spektrum dan para sufi punya penjelasannya sendiri.
Salah satu pemaknaan yang amat terkenal di Nusantara, begitu pula di Jawa, adalah Wahdatul Wujud, atau “manunggaling kawula-Gusti”. Konsep ini tidak bisa dipahami hanya melalui term lokal yang dipakai. Penjelasan atas ayat “kebersamaan” menempati satu landasan penting bagi filsafat wujudiah. Kebersamaan yang dimaksud, sebagaimana dijelaskan secara metaforis, bukan seperti kebersamaan dua benda, namun seperti kebersamaan sifat-sifat dengan yang disifati.
Dalam bahasa metaforis lainnya, seperti kebersamaan bayangan dan pemiliknya. Dalam keduanya Yang Hakiki adalah Yang Satu; Pemilik Sifat dan Pemilik Bayangan. Ajaran ini bukan kebutuhan semua Muslim. Seseorang bahkan bisa terpeleset dalam ketidakmampuannya dan kekotoran jiwanya untuk memahami ajaran ini. Dan itulah yang diwanti-wanti oleh para sufi. Seseorang pasti bukanlah Tuhan, namun tidak ada satupun yang “berada” di luar hakikat-Nya.