Sedang Membaca
Cerita Santri Muda Indonesia di Amerika

Duta Perdamaian dan Persahabatan Indonesia-Amerika, penerima beasiswa Kennedy Lugar Youth Exchange & Study Program (KL-YES) dan ikut berkegiatan di PCINU Amerika-Kanada. Menjalani laku ngaji di Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri Kota Gede dan Pondok Pesantren Hadil Iman MAPK MAN 1 Surakarta.

Cerita Santri Muda Indonesia di Amerika

Whatsapp Image 2022 04 16 At 13.13.06

Ketika saya diundang menjadi pembicara di Frankfurt Book Fair (FBF) Jerman tahun 2015, saya mengira itulah pengalaman perjalanan terbang saya terlama, sekitar 24 jam, yang tak akan terulang lagi.  Ternyata itu salah, enam tahun kemudian, 2021 saya terbang sekitar 30 jam. Dari Indonesia sampai Ellenburg, Washington. Rutenya dari Jogja – Jakarta – Doha – Washington DC – Seattle  hingga sampai Ellensburg, Washington State.

Banyak yang mengira saya di Washington DC, bukan saya di Washinton State. Dari Washington DC ke Washington State jaraknya sekitar 6,5 jam perjalanan dengan pesawat terbang.  Rute Washington DC ke Seattle 5,5 jam, dari Seattle ke Yakima sekitar 1 jam, baru perjalanan darat sekitar 45 menit sampai Ellensburg.  Ketika saya datang tidak menggunakan penerbangan Seattle-Yakima, karena  saya dijemput keluarga angkat di Seattle, lalu perjalanan darat dengan mobil pribadi sekitar 2 jam.

Saya tinggal bersama keluarga angkat (host family). Saya memanggil mereka Mom, Dad, dan seorang saudara perempuan bernama Adrienne. Mereka menerima saya dengan hangat. Mereka terbuka dengan segala perbedaan yang ada, menghargai kepercayaan saya, termasuk sangat menghargai waktu-waktu di mana saya harus ibadah sholat 5 kali sehari. Mereka memahami bahwa saya hanya bisa makan makanan halal dan mereka selalu memastikan makanan yang saya makan benar-benar halal dan aman di makan atau tidak.

Saya bersekolah sebagai siswa kelas 12 di Ellensburg High School (EHS) yang terkenal dengan logo Bulldog. Sebagai satu-satunya siswa yang memakai hijab-karena saya tidak pernah melihat siswa lain mengenakan hijab di sini, penampilan saya mungkin terlihat paling berbeda. Tapi ternyata hal itu tidak membedakan perlakuan teman-teman terhadap saya. Mereka tetap menerima saya dengan hangat.  Suatu hari seorang teman bertanya mengapa saya mengenakan hijab. Saya senang bisa menjelaskan tentang hijab, bagaimana hijab di agama saya adalah modesty, kesopanan, identitas, dan bisa menjadi pelindung pada hal-hal yang tidak diinginkan. Saya juga bercerita bahwa tidak semua perempuan muslim mengenakan hijab.

Di kelas choir atau paduan suara, selepas kelas suatu hari, guru saya bertanya-tanya tentang hijab. Beliau sangat senang memiliki murid pertukaran pelajar muslim, dan beliau sangat terbuka tentang perbedaan. Beliau juga bertanya apakah saya baik-baik saja dengan lagu-lagu yang dinyanyikan di kelas karena akan ada beberapa lagu natal dan lagu gereja. Beliau bilang, saya bisa  kapan saja sampaikan bila saya tidak nyaman dengan  menyanyikan lagu-lagu tersebut.

Baca juga:  Museum Perdamaian di Iran: Make Art, Not War

Di sekolah, kami mendapat sarapan dan makan siang gratis. Kami mendapat sereal dan snack pagi, sementara di waktu makan siang kami mendapat pilihan menu burger, pizza, salad, beserta snack, susu, dan sayur pendamping.  Saya ingat, dulu di hari pertama, saya hampir saja memakan pizza pepperoni yang ternyata terbuat dari babi. Syukurlah, host sister saya mengingatkan.

Sebelumnya, orang tua angkat saya juga sudah mengingatkan bahwa satu-satunya menu utama yang bisa saya santap adalah pizza keju, beserta sayur, buah susu, dan snack tambahan. Di hari kedua, saya menyadari bahwa alat pengambil pizza topping babi dan keju sama. Mereka menggunakannya bergantian. Setelah berkonsultasi dengan orang tua saya di Indonesia, mulai hari ke tiga sekolah saya tidak lagi memakan pizza keju yang sebetulnya enak itu. Saya sudah membayangkan betapa senangnya setiap hari makan pizza. Tapi saya tidak bisa.

Selain karena pencapitnya sama, keluarga saya mengingatkan untuk berhati-hati karena meskipun bukan pizza pepperoni, kemungkinan adonan kedua pizza tersebut sama. Sebagai gantinya, host parent saya membawakan bekal roti isi selai kacang. Saya tetap mengambil sarapan gratis sereal, susu, dan buah. Pada makan siang, saya hanya mengambil sayur, buah, susu, dan snack. Staf yang bertugas mengambil makan siang pun sudah hafal dengan menu spesial saya tersebut. Mereka hanya memberikan makanan halal pada saya. Walaupun saya hanya sendirian sebagai siswa muslim, saya mendapatkan pelayanan sesuai dengan keyakinan saya, termasuk disediakan tempat shalat. Bayangkan, saya hanya sendirian di antara 1000an siswa lain, disediakan tempat khusus untuk saya shalat setiap hari ketika di sekolah.

Baca juga:  Menjadi Muslim Inggris di Tengah Gelombang Pandemi Covid-19

Sebagai siswa pertukaran pelajar, saya memiliki misi menjadi volunteer selama 40 jam. Kegiatannya bermacam-macam, dan saya mulai dengan presentasi tentang Indonesia. Tentang kehidupan di Indonesia, pendidikan di Indonesia,  keragaman di tengah perbedaan, dan tentu saja tentang Islam yang damai di tengah ragamnya perbedaan agama dan kepercayaan yang ada. Tempat volunteer pun bermacam-macam, saya dipersilahkan memilih dan atau mencari sendiri. Tidak hanya di sekolah, tapi juga di lingkungan sekitar, di lingkungan tetangga, bercerita ke sekolah-sekolah, gereja, dan komunitas-komunitas khusus  di Amerika, menulis di koran, dan di kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan menjadi volunter saya meluaskan pergaulan, pengetahuan, dan pengalaman hidup yang sangat baik dan berharga.

Selama di Amerika saya mendapatkan banyak kesempatan untuk menjadi pembicara di forum internasional.  Salah satunya pada evan International Education Week (IEW) atau Pekan Pendidikan Internasional, saya tiga kali presentasi Moderasi Beragama di Indonesia.  International Education Week (IEW) atau Pekan Pendidikan Internasional adalah program bersama  Departemen Luar Negeri dan Departemen Pendidikan Amerika Serikat  untuk merayakan manfaat pendidikan dan pertukaran pelajar internasional di seluruh dunia. Pekan Pendidikan Internasional  mempromosikan program mempersiapkan warga negara Amerika untuk hidup di dunia global dan menarik para pemimpin masa depan dari luar negeri untuk belajar dan bertukar pengalaman.

Kegiatan Pekan Pendidikan Internasional melibatkan partisipasi individu dan lembaga yang tertarik pada pendidikan internasional dan kegiatan pertukaran pendidikan, baik siswa sekolah, perguruan tinggi, universitas, kedutaan besar, organisasi internasional, lembaga bisnis, asosiasi, dan organisasi masyarakat di seluruh dunia. Maka tidak berlebihan bila  Pekan Pendidikan Internasional sebagai even pendidikan terbesar di dunia.

Tanggal 10-11 April 2022, saya baru saya mengikuti konferensi besar yang diikuti peserta dari hampir seluruh dunia bernama BUBW (Better Understanding for a Better Warld). BUBW adalah konferensi pemuda internasional yang menekankan kesamaan antar sesama manusia, menjunjung tinggi kemanusiaan untuk kehidupan yang plural dan damai. Tema-teman dalam konferensi ini terasa sangat bertenaga, seperti Humans & the Universe (manusia dan alam semesta),   respect for diversity (menghargai Keragaman),  appreciation for other civilizations (apresiasi pada peradaban Lain),  religious diversity / interfaith (keanekaragaman agama/antar iman), dan leadership (kepemimpinan).

Baca juga:  Perbincangan dengan Ahli Masyumi: Remy Madinier

Berbagi dari dekat  dalam forum internasional untuk kehidupan yang damai bagi semua manusia, sungguh menguras rasa.  Saya minggu depan juga akan mempresentasikan isu yang berbeda,   tentang Hutan, Gunung Api, dan Alam Indonesia di sebuah even anak-anak sekolah dasar di Washington. Ketika menulis ini (12 April 2022) saya juga baru selesai memenuhi undangan  dari U.S. Embassy dan Yayasan Santri Mengglobal berbagi tentang pengalaman puasa di Amerika dan  Tips Mendapatkan Beasiswa Sekolah di Amerika Serikat. Saya senang bisa menjadi bagian di forum-forum seperti ini.

Ini bulan puasa pertama saya di Amerika. Meskipun keluarga angkat saya tidak muslim, mereka selalu menyiapkan sahur saya, ikut sahur, juga ikut puasa.  Meskipun tidak persis seperti puasa saya.  Maksud saya, puasa tidak makan-makanan berat, hanya minum saja.  Komunitas muslim di  sekitar tempat tinggal saya juga tidak ada. Jadi untuk ke Islamic Center atau ke masjid harus ke Central Washington atau ke kota Yakima, sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil. Islamic Center yang lebih jauh lagi ada di Seattle. Tentu saja sepi. Jika di pesantren saya setiap hari shalat jama’ah di masjid. Jika waktu shalat,  suara adzan bersahut-sahutan dari tujuh arah penjuru mata angin. Di sini, waktu shalat, adzan, semua mengandalkan handphone.

Saya belum pernah mendengar adzan kecuali dari hp saya.   Beruntung ada PCINU Amerika-Kanada yang bisa saya ikuti kegiatan-kegiatan keislamannya secara daring. Itu cukup mengobati kerinduan bertahlilan, berjanjen, semaan al-Qur’an, dan lain-lain yang biasa di pesantren atau di Indonesia.   Diujung puasa nanti, saya sekeluarga  berencana akan menyambut idul fitri di Islamic Center Yakima Washington.

Waktu yang saya miliki untuk sekolah di Amerika hampir selesai. Bulan Juni 2022 ada prosesi wisuda. Itulah waktunya,  saya pulang ke Indonesia.

Washington, 12 April 2022

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top