Sedang Membaca
Kartu Nikah dan Tantangan Modernisasi Pernikahan

Dosen IAIN Surakarta, Katib Syuriah PCI NU Belanda. Sedang menyelesaikan program doktoral bidang Hukum di Universitas Leiden, Belanda

Kartu Nikah dan Tantangan Modernisasi Pernikahan

1 A Kawin

Dalam ruang negara-modern, birokratisasi Islam selalu menjadi persoalan yang menarik (Müller 2017; Sezgin and Künkler 2014). Apalagi jika kita melihat yang terjadi pada ranah pernikahan Muslim.

Reformasi terhadap norma perkawinan yang memiliki akar dari doktrin agama tidaklah mudah (Nurlaelawati 2010). Negara selalu mendapat tantangan.

Meskipun kita akhirnya berhasil melakukan unifikasi norma hukum perkawinan pada tahun 1974, ia tetap kurang efektif dalam mendorong perubahan perilaku masyarakat Muslim. Perubahan justru didorong faktor lain, seperti meningkatnya literasi, kesejahteraan ekonomi, dan kesadaran atas hak-hak perempuan dan anak.

Lain halnya, sepanjang menyangkut aspek administratif, negara memiliki keleluasaan untuk berbuat. Buktinya, selang beberapa saat setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan undang-undang (UU) tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi Muslim. Hingga kini, aturan ini tetap berlaku, bahkan diperkuat oleh UU Administrasi Kependudukan. Menariknya, meskipun UU menggunakan istilah perkawinan, bagi Muslim, yang dipakai adalah pernikahan.

“Desakralisasi” Pernikahan Muslim
Pada 8 November lalu, Menteri Agama memperkenalkan Kartu Nikah, sebagai pendamping Buku Nikah. Terlepas alasan pragmatis yang diajukan, kartu ini menjadi penanda penting perubahan administrasi pernikahan Muslim. Patut diingat, UU Administrasi Kependudukan menempatkan pernikahan sebagai salah satu peristiwa penting yang baginya berlaku kewajiban administratif, disebut pencatatan sipil. Dengan demikian, buku nikah adalah dokumen kependudukan.

Baca juga:  Bagaimana Masa Depan "Islamic Studies" di Indonesia: Melihat Kasus Gus Muwafiq

Dengan sudut pandang pencatatan sipil, perkembangan di atas tidak terlalu mengejutkan. Amatan saya, nalar “pelayanan publik” dan “dokumen kependudukan” ini cukup mempengaruhi cara pandang pemangku kebijakan di level pusat, apalagi para fungsionaris pencatatan pernikahan (PPN, penghulu, dan pegawai administrasi) di KUA.

Tentu, perubahan ini memiliki dampak positif pada hal tertentu. Misalnya, tertib administrasi dan pemenuhan hak atas identitas. Tetapi, tanpa disadari, proses ini telah mengerdilkan posisi pencatatan pernikahan sebagai urusan administratif belaka.

Setidaknya dalam 5 tahun terakhir, birokrasi pernikahan di KUA cukup gaduh dengan persoalan teknis administratif, semisal biaya pencatatan, ilegalitas posisi modin/P3N, nikah kantor, nikah bedolan, dan seterusnya.

Dampak lebih jauh, penghulu, yang pada mulanya memang berperan sebagai birokrasi agama, sekarang lebih berfungsi sebagai pelayan publik. Tidak salah sama sekali, meskipun pertanyaannya kemudian adalah: apa beda KUA dan Kantor Catatan Sipil? Gejala inilah yang saya sebut sebagai “desakralisasi” pernikahan Muslim. Ini tantangan pertama.

Memang, PPN/penghulu tidak harus bertindak yang menikahkan. Tetapi, mereka memiliki tugas mengawasi apakah akad nikah telah memenuhi ketentuan Syariah. Karenanya, agar memiliki kekuatan hukum, pernikahan dilakukan di depan PPN/penghulu (pasal 6 KHI). Jadi, penghulu, mau tidak mau, memerankan simbol agama. Apalagi ulama atau imam masjid tidak memiliki legitimasi untuk mengeluarkan semacam “surat pemberkatan” sebagai dasar pencatatan sebagaimana yang berlaku untuk non-Muslim.

Baca juga:  Hi Saudara, Sekolah dan Pintar Tak Cukup

Nikah bedolan vs nikah kantor
Jika disederhanakan, Kartu Nikah dan rentetan reformasi birokrasi pernikahan sebelumnya bermula dari kasus hukum yang menjerat penghulu di Kediri di penghujung 2013. Perkara ini disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Dalam amar putusan, sang penghulu divonis secara meyakinkan melakukan tindakan pidana korupsi berdasar Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Persoalan ini muncul karena ambiguitas aturan, tepatnya biaya, nikah bedolan (luar kantor). Sejatinya dia tak patut dipersalahkan. Para penghulu koleganya menyebut kasus ini bentuk kriminalisasi. Antara tahun 2003-2010, beberapa daerah menerapkan kebijakan lokal yang memberi payung hukum atas biaya nikah bedolan. Penghulu mendapat “uang amplop” yang dimaklumi sebagai uang transportasi. Semenjak uang tersebut didefinisikan sebagai pungutan liar, kebijakan lokal tersebut dicabut.

Imbasnya, pada pertengahan 2014, pemerintah mengeluarkan aturan baru. Aturan ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang “pelayanan publik”. Artinya, pemerintah tampak ingin menempatkan pencatatan pernikahan sebagai bagian dari pelayanan publik yang pelaksanaannya dibiayai oleh negara. Implikasinya, baik nikah kantor maupun nikah bedolan tidak berbiaya.

Faktanya, aturan tersebut membedakan tarif nikah kantor dan nikah bedolan. Yang pertama gratis, sedang yang kedua berbayar. Perbedaan tarif ini diklaim bukan akibat “pencatatannya”, tetapi karena implikasi dari biaya transportasi dan jasa profesi untuk penghulu. Sederhananya, aturan ini berfungsi memformalisasi “uang amplop” yang dulu ilegal menjadi legal.

Baca juga:  Ragu Badan (Body Doubt): Bagaimana Akidah Islam Menghadapi Virus Korona?

Model pemikiran sederhana tersebut ternyata tidak selalu selaras dengan nalar umat Islam. Mereka tetap menempatkan pernikahan sebagai upacara keagamaan yang sakral dan berdimensi sosial. Tidak ada pilihan lain, nikah bedolan adalah jawaban terhadap kebutuhan ini.

Dengan perubahan aturan di atas, mereka sekarang harus membayar lebih mahal, apalagi jika tetap menggunakan jasa modin. Penelitian saya di pedesaan Jawa Timur menunjukkan bahwa sebagian keluarga merasa enggan membayar nikah bedolan. Akhirnya mereka melakukan kompromi dengan cara akad nikah dua kali. Nikah pertama dilakukan secara agama di rumah (saat walimah) untuk memenuhi kebutuhan sakralitas, kemudian yang kedua di KUA semata untuk kepentingan pencatatan.

Di sini, jelas sekali bahwa penghulu (hanya) dianggap berfungsi sebagai pelayan publik. Dalam konteks masyarakat tesebut, reformasi birokrasi semakin menegaskan kesenjangan sakralitas pernikahan dan pencatatan pernikahan. Tentu fenomena ini sangat kasuistik. Tetapi, inilah tantangan kedua.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top