Sedang Membaca
Filsafat Minimalisme: Ketika Manusia Keluar dari Budaya Konsumtif

Mahasantri di Mahad Aly An-Nur II. Ia Menulis Esai, prosa dan puisi.

Filsafat Minimalisme: Ketika Manusia Keluar dari Budaya Konsumtif

750x500 Menengok Kehidupan Santri Di Pesantren Gutekan Banyuwangi 180526t

Secara empiris, hidup yang hanya berfokus mengejar material demi material pada gilirannya akan menjerumuskan manusia pada tindakan yang impulsif. Dan tindakan ini kerap dimulai dengan rajin menumpuk (anxiety) kecemasan-kecemasan yang serba potentially. Dimana pikiran dijejali dengan hal-hal yang tidak menetap, tidak dapat dikendalikan, dan sialnya lagi masing-masing individu dipaksa mengulanginya setiap hari. Ini yang biasa disebut dengan kompulsif oleh sejumlah psikolog.

Tiba waktunya, Filsafat minimalisme muncul sebagai gagasan untuk keluar dari kepenatan manusia yang kerap memproduksi dan mengkonsumsi segala hal secara obsesif. Dalam bahasa lain disebut “kegandrungan”.

Pada mulanya, menurut Alice Healy, berpikir ala minimalisme ini digagas di New York tahun 1960 yang berfokus pada penghematan konsumsi kebutuhan sekunder dan tersier secara besar-besaran. {The Rise of Minimalism}

Secara historis, minimalisme diketengahkan sebagai bentuk penolakan atas menjamurnya paham materialisme yang hanya mengedepankan kepuasan hidup (life satisfaction). Perbedaan cara pandang keduanya terlihat sekali dalam memahami konsep kebahagiaan. Materialisme beranggapan bahwa komponen eksternal hidup ―seperti kekayaan dan material― harus sejalan dengan komponen hidup internal ―seperti kehidupan sosial dan kualitas diri― berbeda dengan cara pandangan minimalisme dimana kedua komponen itu dijadikan pernak-pernik yang tidak bisa dipadukan.

Faktanya, masyarakat abad 20 lebih memilih untuk menjadi minimalis. Ciri-ciri orang minimalis bisa kita tangkap dari beberapa indikator verbal. Minimalis pasti kenal betul kegunaan barang yang akan dibeli. Minimalis sadar bahwa sedikit barang sama dengan sedikit stres. Sedikit barang sama dengan lebih merdeka. Minimalis cenderung effort untuk memendam rasa ketertarikan pada suatu barang. Minimalis paham bahwa menikmati ruang harus diperjuangkan demi merelai diri atas segala poros keramaian dan hyperreality. Dan minimalis pun paham bahwa menyukai tidak harus memiliki.

Baca juga:  Mempertahankan Jiwa atau Mempertahankan Kehormatan? Hifdhu an-Nafs atau Hifdu al-'Ird?

Sebenarnya jauh sebelum filsafat minimalisme itu muncul Al-Quran sendiri sudah memberi notifikasi preventif. Hidup bahagia. Ya. Harus sederhana. Dan memilih frugal sebagai prinsip berkehidupan. Ayat-ayat itu tertera di surat Al-Furqan (25:67), Al-An’am (6:141), Al-Isra’ (17:29), Al-A’raf (7:31) dan masih banyak lainya. Secara muatan ayat, Tuhan berpesan untuk tidak mengejar kepuasan dan kemewahan. Sederhananya, untuk dress well nggak perlu mahal-mahal, modis saja sudah cukup.

Sempat membaca kitab At-Tamhid li Ibnu-Abdil Barr (7:250). Saya menemukan gubahan syair Ali bin Tsabit Ra. Yang kebetulan senada dengan topik kali ini.

اْلعَقْــــــلُ آفَـتُهُ الْإِعْجَابُ وَالْغَضَــبُ     وَالْمَالُ آفَـتُهُ التَّــبْذِيْرُ وَالنَّــهْبُ

“kecenderungan akal manusia itu bangga diri dan emosi sementara kecenderungan harta itu terletak pada pemborosan dan perampasan”

Gabungan frasa syair itu sarat akan tantangan yang saat ini diderita seluruh kalangan kelas sosial. Yang kaya hambur harta, yang miskin gila harta. Yang borjuis berlomba-lomba menyombongkan kemewahan, yang proletar diam-diam merampok dan merampas kemewahan. Dan inilah yang menjadi pemicu dari segala ketidakharmonisan yang selama ini justru kita pertahankan. Konklusi jika racauan ini dibaca, maka meneduh di sepenggal atap akan terasa lebih mengesankan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top