Sedang Membaca
Mengenal Penamaan Asybah wa Nazdair dalam Literatur Keislaman
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Mengenal Penamaan Asybah wa Nazdair dalam Literatur Keislaman

Nama “Asybah wa Nazdair” umumnya diketahui khalayak dari judul karya tulis, seperti karya Jalaluddin as-Suyuthi tentang kaidah hukum Islam yang populer di Indonesia. Hal itu sangat wajar sebab sebagai nama judul kitab Asybah wa Nazdair termasuk paling banyak dipakai dalam literatur Islam. Tak tanggung-tanggung ada 20 lebih karya tulis lintas disiplin ilmu berjudul Asybah wa Nazdair.

Ulama yang pertamakali memberikan nama kitab karangannya al-Asybah wa al-Nazdair ialah Muqatil b. Sulaiman al-Balkhi (w. 150 H), di bidang Tafsir. Disusul kitab tafsir lainnya berjudul al-Asybah wa al-Nazdair yang dikarang al-Tsa’alabi; Muhammad bin al-Ammad al-Mishri.

Pada abad ke-4 Hijriyah ulama di bidang sastra Arab juga menamai kitab karangannya dengan judul al-Asybah wa al-Nazdair. Mereka adalah Abi Bakr (380H), Abu Utsman Said (390H), dan Ibnai Hasyim. Jalaluddin al-Suyuthi juga menulis kitab berjudul al-Asybah wa al-Nazdair fi al-Nahw.

Tak ketinggalan ulama-ulama di bidang fikh juga menamai kitab karangan mereka dengan al-Asybah wa al-Nazdair. Mereka adalah Ibnu al-Wakil al-Syafii (w. 716H), Jalaluddin al-Suyuthi, as-Subki, Ibnu Najim al-Hanafi (970 H).

Belum termasuk lagi kitab Syarah al-Asybah wa al-Nazdair, seperti Kasyf al-Khathair an al-Asybah wa Nazdair karya an-Nabulisi, Ghamz Uyun al-Bashair Syarah al-Asybah wa al-Nazdair karya al-Karabisi, Kasyf al-Sarair fi Ma’na al-Wajuh wa al-Asybah wa al-Nazdair karya tahqiq Fuad Abd al-Mun’im, dll.

Baca juga:  Serat Tuhfah: Tembang Manunggaling Kawula Gusti di Jawa

Ada apa dengan Asybah wa Nazdair sehingga banyak yang suka memakai namanya? Secara historis, tokoh yang mencetuskan istilah Asybah wa Nazdair adalah Umar b. Khattab. Dalam isi surat yang dikirimkan kepada Abu Musa al-Asyari, gubernur Homs, sang Khalifah berpesan:

“Paham, paham, apa yang mengganjal di dadamu pada saat menghadapi masalah yang tak dijelaskan dalam Alquran dan sunah! Kenalilah contoh-contoh dan padanan-padanannya (al-amtsal wa al-Asybah)! Lalu cocokkanlah! Berpeganglah kepada yang paling disenangi Allah dan cocokkan dengan yang benar menurut pendapatmu!”

Dengan kata lain, Asybah wa Nazdair pada mulanya menjadi model berpikir logis yang paling sederhana sebagai ciri khas saintifikasi Islam untuk menjawab problematika, dengan cara mencocokkan kemiripan. Walaupun sederhana kontribusinya sangat besar dalam pembentukan khazanah pengetahuan Islam. Tak terbayang, bagaimana para penyebar Islam yang petualang itu jika tak dibekali tradisi mencocokkan? Sementara metode ilmiah belum berkembang dalam generasi Islam pertama.

Khazanah pengetahuan Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat terjadi melalui Asybah wa al-Nazdair. Sebagai metode ilmiah alat ini digunakan para ilmuwan petualang muslim untuk memahami persoalan empiris di tengah masyarakat. Berkat mereka tertutuplah jurang pemisah antara rasionalisme dengan empirisme Mazhab filsafat Yunani. Dus, berpadu pula cara berpikir induktif dengan induktif.

Baca juga:  Kaliurang 37 Tahun Silam: KH Ali Maksum Diangkat Menjadi Rais Aam PBNU

Sebut saja sebagai contoh corak fiqh dan Ushul fiqh yang berciri khas deduktif, melalui Asybah wa Nazdair, diputar balik secara simetris melahirkan cabang ilmu qawaid fiqhiyah dan qawaid ushuliyah yang berciri khas induktif. Begitu pun tak jadi persoalan, qawaid fiqhiyah dan ushuliyah diputar balik untuk menyelesaikan persoalan fiqh secara deduktif. Jadi, yang semula “terkotak-kotak” menjadi “bersaudara” hanya karena Asybah wa Nazdair.

Mazhab Hanafi yang terbiasa memakai pendekatan induktif dapat bercampur baur dengan Mazhab Syafi’i yang terbiasa memakai pendekatan deduktif. Perpaduan mereka melalui Asybah wa Nazdair melahirkan generasi kolektif (Mazhab al-jam’u) sehingga melahirkan ribuan karya di bidang hukum Islam.

Sengaja dicontohkan fikih, sebab menurut Weal B. Hallaq, peradaban Islam yang terbangun oleh nalar fikih pernah unggul di dunia mengalahkan peradaban Romawi-Yunani yang terbangun nalar filsafat. Kalau Hallaq mengeluarkan testimoni, bahwa “peradaban Barat maju karena filsafat Yunani, dan peradaban Islam maju karena fikih”, maka rahasia di balik kesuksesan Islam itu ialah nalar petualang dan tradisi pencocokan dalam Asybah wa Nazdair.

Oleh sebab itu sangat disayangkan jika umat Islam ingin maju malah mereka meninggalkan Asybah wa Nazdair; karena alasan ingin kembali ke Alquran dan sunah saja. Sebetulnya kita ingin maju apa mundur?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Scroll To Top