Avatar
Penulis Kolom

Direktur AMAN (The Asian Muslim Action Network) Indonesia dan anggota Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)

Misi Damai Ulama Perempuan Indonesia ke London (1)

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Hubbul Wathon minal Iman Wala Takun minal Hirman Inhadlu Alal Wathon….(Pusaka hati wahai tanah airku Cintamu dalam imanku Jangan halangkan nasibmu. Bangkitlah, hai bangsaku)

Sepenggal syair di atas diambil dari salah satu “lagu kebangsaan” berjudul Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air) karya Abdul Wahab Hasbullah ini berkumandang di House of Lords, London, saat Faqihuddin Abdulqodir, salah satu delegasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memperkenalkan tradisi Pesantren pada forum Rising Women Ulama, pada tanggal 15 Maret 2018.

Syair berbahasa arab dengan hentakan nada patriotik itu menggema dalam ruang berbalut kayu dengan ukiran klasik ala Eropa yang menawan. Suara berat Faqih dalam nada sedikit datar menembus dinding berkarpet hijau dengan motif kerajaan yang indah.

Sejumlah ornamen lukisan anggota parlemen dalam balutan pakaian kerajaan Inggris yang khas, seolah bangkit kembali dalam sikap patriotik bela negara. Hening…Kulihat para peserta tersenyum tipis dan retina mereka membesar karena kagum, saat mendengar makna dari lagu tersebut.

Ada sekitar 40 orang dari berbagai latar belakang akademisi, NGO, filantropi, parlemen, duduk melingkar mengikuti desain meja rapat, sehingga kesan setara begitu kuat, karena tidak ada kesan pembeda antara nara sumber dan peserta. Dilengkapi dengan karpet bermotif kerajaan dominasi warna kuning, merah, biru dan hijau menciptakan kehangatan melawan suhu 11 derajat yang sedang menyelimuti London saat itu.

Baca juga:  Harmonisasi Pesantren Menuju Birokrasi

Kami, Prof. Azyumardi Azra, Kamala Chandrakirana, Badriyah Fayumi, Faqihuddin Abdul Kodir dan Ruby Kholifah, mendapatkan undangan spesial dari Prof. Mike Hardy, Executive Director, Centre for Trust, Peace and Social Relations, Coventry University. Forum kami ini dinamai “Rising Women Ulama”, bagian dari Global Rising Forum yang tiap tahun menyelenggarakan sejumlah event internasional dan menghadirkan orang-orang inspiratif.

Seperti judulnya “Rising Women Ulama”, forum ini memang eksklusif berbicara tentang keulamaan perempuan Indonesia dan KUPI dari sudut pandang personal pada pembicara. Karena pembicara utama dari tim KUPI, maka kami harus membuat presentasi kami mengalir seperti cerita. Tidak tumpang tindih. Padat dan berisi.

Di sinilah kami dituntut untuk bersikap rendah hati dan memfokuskan pada bagian skenario masing-masing. Tidak gampang bagi saya pribadi melakukan itu, mungkin juga bagi yang lain, karena godaan untuk menceritakan kerja-kerja lembaga begitu kuat. Tapi tidak kali ini. Porsi kerja-kerja lembaga cukup sepertiga dari isi presentasi kami.

Sisanya adalah cerita personal kami dengan KUPI, konteks kekinian Indonesia, Islam Indonesia dan cerita perubahan pasca KUPI.

Menjadi pembicara pertama tidak mudah. Meskipun ini bukan pertama kali presentasi di audien internasional, perasaan deg-degan masih ada. Dengan jatah 10 menit presentasi, saya benar-benar mengandalkan pada teks yang sudah dipersiapkan pada hari sebelumnya.

Baca juga:  KUPI-2: Memori Shima, Kalinyamat, dan Kartini yang Menggerakkan

Tugas saya adalah memberikan gambaran utuh tentang kondisi Indonesia dengan menekankan pada pencapaian gemilang pasca reformasi, khususnya pada kerja-kerja kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tentu saja, pembicaraan juga menjelaskan tantangan intoleransi yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Dan pada bagian akhir, saya menjelaskan tentang upaya AMAN

Indonesia membangun ketahanan komunitas melalui peran perempuan interfaith. Presentasi dikunci dengan keterlibatan AMAN Indonesia dalam mendorong gerakan KUPI dan membangun jembatan ke dunia internasional.

Berlatar-belakang santri dan studi Islam dari Syiria dan Malaysia, Faqihudin menekankan presentasinya pada pesantren yang meliputi kurikulum pesantren, sepak terjang pesantren dalam memproduksi wacana Islam dan kesetaraan gender, demokrasi dan kebangsaan. Kelahiran KUPI sarat dengan dinamika pesantren, di satu sisi menawarkan ruang demokrasi, di sisi lain menghadapi tantangan budaya patriaki yang kuat. KUPI dan pesantren tidak bisa dipisahkan.

Melengkapi dua presentasi sebelumnya, Badriyah selaku pengasuh Pesantren Mahasina dan sekaligus ketua streering committee KUPI, memberikan penekanan pada isu keulamaan perempuan di Indonesia yang secara budaya dan sejarah mendapatkan tempat yang sama dengan ulama laki-laki.

Mbak Bad, begitu panggilan akrabnya, merasa bahwa KUPI sebagai oasis dan jawaban akan frustasi dominasi ulama laki-laki pada otoritas teks keislaman dan juga fatwa yang cenderung merugikan perempuan. (Kalian bisa membaca setiap presentasi yang kami buat pada link ini https://rising.org/rising-women-ulama/)

Baca juga:  Kota Islam (18): Jejak Komunitas Kristen Armenia di Hamedan

Mengikat tiga presentasi sebelumnya, Kamala Chandrakirana, aktifis perempuan yang aktif di dunia internasional, menemukan surga baru dalam kebersamaannya dengan KUPI, karena pandangan keagamaan (fatwa) yang dilahirkan oleh kongress April lalu bukan saja memberikan perlindungan pada perempuan, tapi juga menyuguhkan kedalaman khasanah dialetika pemikiran Islam yang mendalam melalui proses perumusan metodologinya. Berikut saya cuplikkan presentasinya:

“….Through the national congress, Indonesian women ulama created a unique and unprecedented space for the production of religious opinions (fatwa), one based on deep conversations with women victims of violence and with their advocates in civil society, such as myself. For those of us whose efforts to attain equality and dignity for women have too often been dismissed as inconsistent with our religion, we found new haven among the women ulama who hold the conviction is that religious scripture must be interpreted in dialogue with the lived realities of women. “

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top