Sedang Membaca
Blangkon: Tegakkan Kedaulatan dengan Mengisi Blangko Supaya Tidak Kosong
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Blangkon: Tegakkan Kedaulatan dengan Mengisi Blangko Supaya Tidak Kosong

Sejarah Blangkon erat kaitannya dengan aspirasi rakyat. Tutup kepala yang biasa dipakai kaum pria ini ada hubungannya dengan masa transisi kekuasaan di Jawa-Sunda akibat penjajahan.

Pada paruh akhir abad XVIII semua kesultanan di Pulau Jawa berhasil ditaklukkan Belanda. Raja dan sultan di pulau Jawa hanya simbol semata sebab hakekatnya yang berkuasa pemerintahan Belanda. Sekalipun raja dan sultan di pulau Jawa sudah tidak memiliki kekuasaan mutlak, rakyat masih mencintainya.

Kekuasaan raja dan sultan diyakni rakyat sebagai pusar dan poros bumi. Raja dan sultan adalah Khalifah-nya Allah di muka bumi. Di pundaknya disematkan tanggungjawab mengatur urusan pemerintahan dan menjaga kelangsungan agama dan keyakinan (Al-Imam mafrudh Li siyaaat al-dunya wa haratsat al-Din). Rakyat yang dipimpin harus taat dan patuh terhadap pemimpinnya, walaupun jelas-jelas pada paruh akhir abad XVIII tidak ada raja dan sultan yang berkuasa penuh.

Sebagai kritik sosial terhadap kekosongan kekuasaan monarkhi, rakyat menanggalkan ikat kepala dan menggantinya dengan blangkon yang berarti “blangko kosong”. Blangkon adalah hasil kreasi rakyat dari bentuk penutup kepala berupa ikat kepala yang dibuat udengan (memutar).

Sedangkan udengan merupakan simbol kosmos alam yang ditata secara terikat melalui kedua ujung ikat kain di bagian belakang. Adapun dua ujung ikat kain itu sendiri menggambarkan hubungan antara sultan dengan rakyat. Tasharruf al-Imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah (kepemimpinan Sultan atas rakyatnya bertujuan untuk membina kemaslahatan)

Baca juga:  Ihwal Mitos Kebudayaan Arab dan Kebudayaan Lokal

Dengan pertimbangan bahwa saat itu kekuasaan raja dan sultan di pulau Jawa bersifat imitatif maka rakyat pun mengganti penutup kepala mereka dengan bahan imitatif, berupa blangkon. Blangkon dibuat menggunakan mal cetakan kertas blangko menyerupai batok kepala manusia yang dibungkus dengan kain batik.

Sultan dan raja tidak marah dengan cara kritis rakyat: Mereka justru mendukungnya karena situasinya sedang darurat. Sultan dan raja pun suka mengenakan blangkon daripada mahkotanya. Ketika sultan dan raja menjamu pemimpin Hindia Belanda mereka memilih memakai blangkon yang sebetulnya menjadi kritik atas situasi yang terjadi.

Sekalipun bersifat imitatif, blangkon telah menjadi simbol perjuangan rakyat yang cinta kepada pemimpinnya. Rakyat Jojga mengidentifikasi jati diri mereka dengan “blangkon mondholan” sebab cita-cita mereka mengembalikan pemerintahan yang berdaulat tak bisa terbendung sehingga menjadi mondhol (nongol). Ekspresi mondholan dikobarkan dalam perang Diponegoro.

Rakyat Surakarta dan lainnya mengidentifikasi jati diri mereka dengan “blangkon trepes” (tidak ada tongolan belakangnya) karena segala bentuk rencana perlawanan untuk mengembalikan kedaulatan harus dirahasiakan rapat-rapat. Gejolak di daerah-daerah yang memiliki ciri blangkon trepes tidak tampak jelas sebagaimana daerah Jogja dan sekitarnya. Walaupun rakyat Jogja pada dasarnya identik dengan budaya kalem.

Mungkin karena faktor ini kepopuleran blangkon mondholan mengalahkan blangkon trepes. Blangkon mondholan biasa dipakai dalam aktivitas harian, sedangkan blangkon trepes dipakai dalam acara-acara tertentu. Sekalipun demikian, baik rakyat yang memiliki ciri blangkon mondholan maupun trepes, sangat menjunjung tinggi kewibawaan pemimpinnya sebagai simbol kedaulatan negeri yang dicintainya.

Baca juga:  Hikmah Mengucapkan Selamat Natal

Ketidakcocokan rakyat kepada pemimpinnya bukan berarti menjadikan rakyat tak berpihak dan bersikap apatis. Dalam falsafah blangkon, kedaulatan memerlukan pemimpin, seburuk apapun kepemimpinannya. Kaidah politik menyebut: al-yaum bi dunil imami wa law bi zdalmin asyaddu min tarkil ibadati sanatan (sehari tanpa pemimpin sekalipun lalim lebih besar madaratnya dibandingkan tidak beribadah setahun). Alasannya, dampak tidak beribadah efeknya hanya pada pihak yang bersangkutan, tetapi dampak tidak ada pemimpin efeknya menjalar ke mana-mana.

Atas dasar itulah, pemakai blangkon dapat diidentifikasi sebagai warga negara yang cinta terhadap pemimpinnya dan menjaga kedaulatan bangsanya.

Dengan blangkon berarti jangan sampai blangko yang telah dimiliki dibiarkan kosong: Harus dicoblos dan tentukan pilihan demi kedaulatan negara.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top