Sedang Membaca
Humor Pesantren: Apa Gunanya Kisah-Kisah Lucu di Sekitar Kita?

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang suka ngopi dan diskusi. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Ogan Komering Ilir Sum-Sel.

Humor Pesantren: Apa Gunanya Kisah-Kisah Lucu di Sekitar Kita?

Kisah PKI Takut Setan

Dari sekian banyak cabang seni, seni Lawak—dewasa ini lebih tren model Stand Up Comedy—selain untuk mengundang tawa, juga salah satu alat yang sering dipakai untuk menyampaikan anomali-anomali, ironi-ironi, paradoks-paradoks, yang terjadi di kehidupan sosial. Mulai dari yang paling sederhana sampai pada hal yang paling njelimet. Kritik-kritik sosial yang disampaikan disampaikan dengan cara yang lain.

Melalui lawak, masyarakat kini bisa tertawa sambil tetap merawat daya kritisnya,begitu ungkap Mas Tarzan (Srimulat) dalam satu kesempatan.

Di Indonesia, perjalanan lawak terekam pada beberapa prasasti dan relief. Mataram kuno (8-10 M) mencatatnya dengan istilah Waharu Kuti, Penggumulan, Mantyasih dan Wukajana. Seni ini dikenal pada kalangan masyarakat Jawa kuno dengan sebutan mabanol dan mamirus. Mabanol adalah lawak dengan gerakan-gerakan sedangkan mamirus merupakan lawak yang lebih pada ucapan-ucapan verbal yang lucu.

Relief Karmawibhangga yang terdapat di candi Borobudur merekam salah satu pelawak yang diberi nama Paninganing dan masyarakat sangat menyukainya, begitu jelas prasasti Alasantan (939 M).

Dewasa ini, sejak kemerdekaannya, setidaknya saya notice pada beberapa grup lawak yang seringkali menyampaikan kritik-kritiknya melalui pertunjukan panggung lawak. Seperti halnya grup lawak Srimulat (1950), hampir pada setiap pembukaannya selalu menggambarkan kehidupan si pembantu (orang berkelas sosial bawah) dan si majikan (orang yang berstatus sosial tinggi).

Baca juga:  Humor, Cara Tetap Bahagia di Tengah Virus Corona

Ada pula Warkop DKI (1973) yang diperankan oleh Dono, Kasino, dan Indro. Grup lawak ini sering menyampaikan kritik-kritiknya, baik lewat film-film produksi mereka atau bahkan melalui tulisan.

“Entah mengapa, akhir-akhir ini pak Jumadi iktu arus ‘berperut gendut’, baju jatah dari kantor menjadi ketat menempel di badan, sehinggal jalannya pun tampak lebih susah dari biasanya. Barangkali, ia ingin memenuhi standar stereotipe polisi zaman sekarang,” begitu yang ditulis almarhum Dono di dalam majalah Forum pada tahun 1993.

Dari lawakan-lawakan itu, sangat jelas terpampang di hadapan kita, bahwa kritik dapat kita sampaikan lewat guyonan. Jika tidak bisa serius (seperti kisah asmaramu) maka sampaikanlah melalui lawakan-lawakan. Sembari tertawa, tidak lantas meredam nalar kritis kita sebagai manusia.

Naasnya, baru-baru ini, stand up comedy yang dijadikan sebagai alat atas kritik sosial, justru berubah menjadi momok yang mengerikan bagi objek yang dikritik. Masih sangat lekat di ingatan kita bagaimana kasus komika Bintang Emon. Melalui videonya (dilebih dikenal dengan video DPO) Bintang berusaha menghadirkan tawa sembari mengkritik sistem peradilan di Indonesia atas kasus Novel Baswedan. Hingga ia diserang oleh buzzers pro-pemerintah.

Tidak, saya sedang tidak ingin berbicara tentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan ‘sekutu’.

Berangkat dari titik tersebut, saya hanya ingin mengatakan “apakah bangsa kita sudah mulai kehilangan sanse of humor-nya?” Jika demikian, maka kita sedang memasuki era yang digambarkan oleh trio Warkop DKI, “tertawalah! Sebelum tertawa itu dilarang”.

Baca juga:  Sabilus Salikin (74): Khataman dalam Tarekat Qadiriyah

Di era yang serba tak pasti ini. Era di mana sesuatu yang dapat dilihat dari layar smartphone, laptop atau TV lebih dipandang sebagai sebuah kebenaran ketimbang apa yang sebenarnya terjadi, internet menjadi—merujuk pada istilah Cak Nur—tuhan-tuhan (“t” kecil) baru di kehidupan.

Melalui media sosial, segala sesuatu lebih efektif disampaikan, termasuk lawakan-lawakan yang kritis. Sempat menjadi trending di Twitter (8/8/2020) sebuah kritik sosial yang disampaikan melalui lawakan yang bertajuk “Yotube’s Got Talent”. Di dalam videonya (setidaknya ada 3 bagian terakhir) menyampaikan fenomena media saat ini, diperankan oleh tokoh-tokoh stand up comedy yang ada di Indonesia.

Jika berkenan saya intisarikan, bahwa di dalam video tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang kehidupan media sosial yang bobrok, nir-moral, dan tak edukatif. Lagi-lagi saya katakan, kita tetap dapat tertawa lepas sambil tetap menjaga nalar kritis kita. Dari satu-dua fenomena-fenomena itu, bukankan telah semakin meneguhkan benak kita, bahwa kritik (kepedulian) pun dapat disampaikan melalui sebuah lawakan.

Kemudian ada pertanyaan, apakah itu semua tidak bertentangan dengan Islam?

Sebentar, Kisanak, saya ingin menghela napas panjang dan nyeruput kopi saya dulu.

Imam al-Ghazali pernah menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw di dalam dakwahnya, seringkali memiliki kecenderungan guyonan. Nabi tidak menyampaikan dakwahnya dengan kekuatan otot belaka, tapi juga dengan candaan-candaan. Masih ingatkah kita dengan tentang bagaimana cerita Umar bin Khatab? Singkat cerita, Nabi berbicara pada Umar, “Aku heran, saat para wanita mendengar suaramu, dengan sigap mereka segera membenarkan bentuk hijab mereka.”

Baca juga:  Pertempuran Perniagaan Lada

Seketika itu Umar berjalan mendekati wanita Quraisy yang sedang berkumpul dan bertanya: “Mengapa kalian lebih menakutiku ketimbang Muhammad saw?” Kemudian Nabi menanggapi pertanyaan Umar tersebut, “Wahai Ibnu Khattab, demi Allah! Apabila setan berjumpa denganmu di jalan yang kau lalui, ia akan menjauh dan akan melewati jalan yang lain.”

Masih ingatkah pula kita dengan cerita seorang nenek yang meminta doakan Nabi saw agar masuk surga sebab ketakutannya tak akan masuk surga karena ia adalah seorang yang menyedihkan dan sudah tua. Nabi saw tersenyum seraya menjawab, “mereka akan diubah semuanya di surga, karena penghuni di sana berusia muda”.

Dari berbagai kisah di atas, dapat kita ambil sebuah pelajaran, bahwa ud’u ila rabbika bi al-hikmah tidak selalu disampaikan dengan cara-cara yang dapat mengerutkan dahi kita, tapi juga bisa disampaikan dengan lawakan-lawakan yang membuat urat dan saraf kita kendor dan rileks. Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top