Sedang Membaca
Ngaji Islam Nusantara (2): Perjumpaan Islam dan Jawa, Menorehkan Masa Depan Melalui Sejarah
Mustain Romli
Penulis Kolom

Warga NU yang sedang menuntaskan studi (S1) di perguruan tinggi Universitas Nurul Jadid Probolinggo, sekarang sebagai mahasantri aktif di Ma'had Aly Nurul Jadid, paiton, probolinggo dengan konsentrasi fiqh-ushul fiqh.

Ngaji Islam Nusantara (2): Perjumpaan Islam dan Jawa, Menorehkan Masa Depan Melalui Sejarah

Irfan Afifi, penulis buku Saya, Jawa, dan Islam

Tema ini sangat menarik. Mas Afifi kesarjanaan Filsafat alumnus Universitas Gadjah Mada ini mengajak kita untuk menengok kembali bagaimana perjumpaan Islam dengan tanah Jawa untuk menjadi pijakan penorehan masa depan cemerlang melalui sejarah.

Sekalipun narasi-narasi yang dilayangkan didasari dengan emosional yang sangat tinggi karena “kengawuran” para kaum kolonial dalam menyimpulkan sejarah Jawa, khususnya Islam di Jawa, namun dengan beberapa narasi yang digulirkan, kita–khususnya bagi penulis sendiri–bisa tersadarkan dari tidur panjang nan nyaman bahwa pemikiran kita sudah sangat lama terhegemoni oleh pemikiran kolonial; bias kolonialisme.

Sekedar menyebutkan contoh “kengawuran” yang disimpulkan oleh orang Eropa dalam meneliti Islam di Jawa, seperti Clifford Geertz memahami Islam di Jawa sebagai Islam “Heterodoks”, “Sinkretik”, “bercampur dengan Hindu-Budha”, “hanya di lapis tipis luarnya” dan lain sebagainya. Beberapa tesis yang digulirkan Geertz ini didasari dari hasil penelitiannya bahwa orang Islam di Jawa selain meyakini adanya Tuhan yang Esa, mereka juga meyakini Dewa yang tak lain merupakan Tuhan yang diyakini Hindu-Budha, bahasa kasarannya Antropolog Barat itu melayangkan pertanyaan: “Ini katanya orang Islam kok masih mengimani Dewa?”.

Padahal kesimpulan yang ia dapatkan karena kesapahamannya memaknai kepercayaan orang Jawa terhadap Dewi Nyi Roro Kidul. Dewi oleh Geertz dimaknai Dewa. Kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul bagi orang Islam di Jawa bukan sebuah kecacatan, kepercayaan ini bukan meniscayakan keimanan kepada Dewa, melainkan keyakinan terhadap hal-hal ghaib dan itu bukan merupakan hal tabu bagi umat Islam secara umum, karena di dalam al-Quran pun termaktub jelas akan keimanan terhadap sesuatu yang abstrak.

Para kaum kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya di tanah Jawa, tidak hanya membunuh para pemberontak dari penduduk pribumi -seperti yang dikatakan Mas Afifi menyitir pendapat Peter Carey bahwa akibat dari peperangan masa kolonial sekitar 1/3 penduduk terbunuh dalam peperangan-, namun lebih dari itu para penjajah ini berusaha memutus tali yang sangat erat antara Islam (Pesantren) dengan tanah Jawa, karena mereka menganggap bahwa Islam beserta apparatus tradisionalnya (Pesantren) sebagai faktor yang memicu “aspek revolusioner” setiap pemberontakan atas kolonial dengan panji “kapir landa” atau “sabilolah” atau “perang sabil”-nya.

Baca juga:  Yenny Wahid Kecam Keputusan Trump

Islam dipandang agama “Mohammedan” yang merupakan “noda padang pasir” yang membangkitkan spirit perlawanan orang Jawa yang sebenarnya “jinak”. Trauma terbesar yang dialami oleh kolonial terhadap Islam, ketika terjadinya perang jawa (1825-1830), yang mana pada waktu itu adanya penyatuan elemen-elemen utama dari kyai-kyai pesantren di Jawa beserta lapisan petani bawah dan para bangsawan.

Menyadari akan ada pemberontakan dari orang Jawa, orang kolonial mulai membentuk politik pengetahuan serta politik kebudayaan, bukti konkritnya, mulai membentuk Lembaga Javanologi pertama di Surakarta di tahun 1831, yang merupakan cikal bakal terbentuknya Universitas ternama di Leiden dan Delft. Tidak hanya itu para penjajah mulai merekontruksi kebudayaan “Jawa-essensial” baru, Jawa yang terbebas dari unsur Islam dengan cara menerbitkan kamus, menyunting gubahan karya serat babad dan wirid untuk konsumsi para bangsawan (kaum priyayi yang telah tunduk). Secara tidak langsung ada beberapa karya sampai hari ini merupakan suntingan karya peninggalan kolonial, yaitu Babad tanah Jawa.

Politik domestika priyayi Keraton pun dibangun dengan memberi privelege baru diiringi dengan adanya pengawasan atas keterlibatannya dan semangat keberagamaannya terkait kunjungan “priester-priester” (‘Ulama) Islam yang diyakini akan membangkitkan perlawanan dari orang Jawa. Dalam rangka menghindari embrio perlawanan orang Jawa, kaum kolonial memutus mata-rantai ketersambungan orang pribumi dengan kelembagaan tradisional yang akrab disebut dengan “Pesantren”.

Awal mula keterputusan kaum priyayi dengan pesantren sejak munculnya pendidikan etis yang dikhususkan para kaum bangsawan priyayi. Dari sanalah mulai mencerabut akar ke-Islaman yang menubuh tradisi dan bergabung dengan nalar serta pandangan dunia rasional-modern Eropa. Kaum priyayi semakin terserap dalam kultur birokrasi dan kebudayaan kolonial (kamilandanen). Padahal sebelum adanya pendidikan etis, kaum priyayi merupakan kelompok yang juga mendapatkan pendidikan dari pesantren, namun kebiasaan itu mulai sirna karena kebengisan para kaum kolonial.

Menurut Ricklefs, semenjak perjanjian Giyanti (1755), “Islam” menjadi penyatu integrasi masyarakat Jawa, karena masyarakat jawa tidak bisa membayangkan identitas kejawaan tanpa/di luar kerangka Islam. Ricklefs menyebut: penyatu identitas kejawaan ini dengan “Mystic Synthesis”, orang jawa menerjemahkan dengan “Sufisme” untuk realitas kejawaan.

Namun hal itu sia-sia, tidak cukup untuk menjadi senjata akan penolakan terhadap kolonial. Kaum penjajah dengan kecerdikannya memanfaatkan peluang, pada tahun 1830 mulai menerapkan tanam paksa (coersed drudgery). Ini yang menjadi cikal bakal terubahnya struktur hirarki strata sosial alamiah jawa, seperti: petani, pedagang, kalangan agamawan, bangsawan, yang awalnya hidup satu nafas, berjalan harmoni tanpa ada pendikotomian strata sosial menjadi saling vi-a-vis berkonfrontasi, menegasi dan akhirnya saling mengutub serta membelah masyarakat jawa dalam spektrum “preferensi agama” pada konteks perubahan kekuasaan baru (kuasa baru kolonial).

Baca juga:  PCI NU Inggris Raya: Ada Pola Serangan Computational Propaganda terhadap NU

Pendikotomian strata sosial itu mulai mendarah daging ketika para bangsawan Jawa (priyayi) dijadikan pemimpin birokrasi kolonial untuk kesuksesan politik ekploitasi tanam, mereka mendapatkan keuntungan ekonomi, para pedagang dan para haji (putihan) membantu menyediakan ketersediaan cash money untuk pembayaran dan denda politik tanam paksa, dan para petani (abangan) yang terikat dengan kebudayaan Jawa-Islam tradisional menjadi subyek tertindas yang kehilangan naungan pemimpin bangsawan maupun pemimpin agamanya.

Akibat dari politik pengetahuan dan politik kebudayaan yang dibangun kokoh oleh kolonial, sebagian para pemimpin agama tradisional di pedesaan (kiai kampung) semakin terputus dengan mata rantai keraton jawa yang akhirnya menciptakan jaringan keilmuan internasional. Hal ini sangat dilematis, satu sisi terhubung dengan komunitas internasional, namun di sisi lain akan menyebabkan semakin terputusnya dari sanad para wali –meskipun tak semua- dan juga akan terbaharui secara keagamaan karena bergabung dengan kelompok neosufisme.

Polarisasi “preferensi agama” Jawa-Islam terpolar dalam kelompok aliran yang mewujud dalam spektrum ideologi pergerakan nasional di tahun 1900-an hingga kemerdekaan. Para kaum abangan diidentik dengan komunis, para priyayi disebut nasionalis dan santri yang selalu disandingkan dengan agama. Sukarno muda mulai menyadari akan polarisasi “Jawa-Islam” ini, lalu merumuskan persatuan Nasionalisme, Agama dan Komunis. Polarisasi ini bertahan dan terseret kampanye partai politik serta memuncak di tahun 1965, namun akhirnya faktor integrasi penyatu kejawaan bernama “Jawa-Islam” mulai terpecah, terjadi gontok-gontokan sesama Muslim Indonesia yang akhirnya mereka saling membunuh dengan penuh anarkis.

Ada beberapa upaya yang dilakukan kaum kolonial dalam rangka merebut otoritas pengetahuan untuk mendefinisikan masyarakat Jawa. Hal ini yang akan menghegemoni pemikiran masyarakat jawa sendiri. Sekurangnya ada tiga upaya yang mereka lancarkan, sebagai berikut: 1. Mengumpulkan, mengoleksi, menggubah, mengedit dan merampas naskah-naskah jawa serta menjadikannya obyek penelitian, 2. Menyesap keilmuan dari otoritas tertinggi kejawaan (para pujangga), seperti yang dilakukan C.F Winter, seorang linguis Hindia-Belanda yang banyak menimba ilmu kesusatraan Jawa kepada pujangga Jawa, beliau Ranggawarsita, tujuannya tak lain untuk memindah otoritas pengetahuan tanah Jawa ke Belanda ketika para pujangga Jawa itu telah menghadap kepada Sang Kuasa, dan 3. Memproduksi tafsir baru dengan mendirikan institut Bahasa Jawa di tahun 1831.

Baca juga:  MATAN NU: Hadapi Era Big Data dengan Tebar Islam Ramah di Media Sosial

Sejak tahun ’65, kebudayaan, tradisi dan kesenian Jawa-Islam tinggalan wali –seiring dengan polarisasi Jawa-Islam- identik dengan kelompok parta politik tertentu. Mulai bermunculan aliran kebathinan di tahun 1930-an hingga menjadi marak pasca kemerdekaan 1945 yang lambat-laun memisahkan dirinya dengan anggapan bahwa mereka berbeda dengan Islam, tidak hanya itu mereka meminta pengesahan menjadi sebuah aliran kepercayaan sendiri yang terpisah dari tubuh Agama. Perpecahan polarisasi keagamaan akhirnya mencipta keterbelahan masyarakat hingga hari ini. Bekas dan jejak tinggalan serta dampak kultural-mental –sebut saja “politik pecah belah kolonial”- ditanggung bersama masyarakat pribumi hingga detik ini.

Di akhir sesi Mas Afifi memberikan resep ramuan ampuh untuk mengobati racun-racun kolonialisme serta menyikapi tinggalan Pasca-Kolonial. Pendiri langgar.co itu sekurangnya memberikan empat strategi jitu, sebagai berikut: Pertama,  menemukan sebuah warisan pengetahuan keilmuan Jawa terkait bernama “suluk” atau “laku” sebagai ilmu tinggalan untuk meneropong kedirian “ngelmu iku kelakone kanthi laku”. Kedua, merumuskan kembali peta historis kita secara jujur, mandiri, untuk kepentingan perjalanan bangsa yang berdaulat secara pengetahuam.

Ketiga, membaca ke-Indonesia-an hari ini dengan meneropong dalam skema lelakon pergulatan sejarah dan kebudayaannya dalam skema yang tak terpisah dari akar pandangan yang menempatkan manusia dalam dimensi ruhaniah, seperti terekam dalam falsafah pancasila. Keempat,  merumuskan akar jati diri kebangsaan dengan pembacaan segar yang melampaui diskursus Kolonial dan pasca-kolonial dalam semangat untuk merumuskan dan mengenali diri sendiri (mawas diri, mulat sarira), dalam rangka kedaulatan bangsa (sastra alif, pancer, tugu golog-gilig). []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top