Sedang Membaca
Muslim dan Dunia Sains (4): Abdus Salam, Ahmadiyah, dan Hadiah Nobelnya

Sedang menyelesaikan studi di bidang Optik, Karlsruher Institut fur Technologie (KIT), Jerman. Aktif di PCI NU Jerman.

Muslim dan Dunia Sains (4): Abdus Salam, Ahmadiyah, dan Hadiah Nobelnya

Whatsapp Image 2020 06 23 At 5.55.02 Pm (1)

Dalam sebuah acara diskusi online mengenai hubungan antara agama dan sains yang dilangsungkan 15 Juni 2020 lalu, Ulil Abshar Abdalla sebagai salah satu narasumber menyebut dua nama ilmuwan besar Francis Collin dan Steven Weinberg. Kedua nama besar ini beliau sebut untuk memberikan gambaran betapa sains sesungguhnya hampir-hampir tak melihat apakah seseorang itu theis sebagaimana Collin, atau atheis sebagaimana Weinberg.

Penyebutan nama Weinberg saat itu segera menuntun penulis kepada sosok ilmuwan besar lainnya bernama lengkap Muhammad Abdus Salam. Salam dan Weinberg bersama Sheldon Glasgow berbagi Hadiah Nobel Fisika pada tahun 1979. Abdus Salam lahir pada 29 Januari 1926 di Jhang Maghiāna, India (sekarang menjadi bagian Pakistan) dan meninggal di Oxford, Inggris, 21 November 1996.

Tampaknya masyarakat internasional lebih mengenal Salam ketimbang warga Pakistan sendiri. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh pemerintah Pakistan yang memasukkan Ahmadiyah –kelompok keagamaan yang diikuti Salam dan keluarganya– sebagai golongan non-muslim sejak tahun 1974 [1].

Ditambah dengan berbagai kerusuhan sekitar isu serupa yang terjadi sejak tahun 1953, Salam menemukan rumah keduanya di Inggris. Meski demikian, karena rasa cinta kepada sains sekaligus tanah airnya, ia terlihat sering pulang-pergi ke Pakistan, bahkan terlibat dalam beberapa proyek prestisius seperti program nuklir dan luar angkasa milik pemerintah Pakistan dengan berbagai kontroversinya [2].

Teori Weinberg-Salam

Stephen Hawking menjelaskan dengan baik dalam [3] bila partikel-partikel yang memiliki gaya tertentu (force-carrying particles) di alam semesta sementara ini dapat diklasifikasikan menjadi satu dari empat jenis berikut: (1) gaya gravitasi, (2) gaya elektromagnetik, (3) gaya nuklir lemah, atau (4) gaya nuklir kuat.

Baca juga:  Nasruddin Hoja dan Seekor Kucing

Gaya gravitasi bertanggungjawab atas penjelasan fenomena tarik-menarik antar benda langit yang tentu memiliki massa dan energi besar. Gaya elektromagnetik bertanggungjawab dalam interaksi partikel bermuatan tertentu seperti elektron atau quark. Gaya nuklir lemah bertanggungjawab menjelaskan fenomena radioaktif. Sedangkan gaya nuklir kuat bertanggungjawab menjelaskan mengapa beberapa quark bisa melekat dalam proton atau neutron, sekaligus mengapa proton dan neutron berkenan duduk bersama menjadi sebuah atom.

Merupakan mimpi dari banyak fisikawan, termasuk Einstein dan Hawking sendiri, untuk menyatukan keempat teori tersebut menjadi sebuah teori tentang segala (theory of everything), atau fully unified theory menurut istilah yang digunakan Hawking, atau final theory menurut Weinberg [4]. Teori ini dapat dipahami secara sederhana sebagai sebuah hipotesis/rumus yang dengannya perilaku seluruh materi di alam semesta dapat dijelaskan/diprediksi secara koheren.

Meski belum ada seorang fisikawan pun yang berhasil memproduksi FUT, Abdus Salam dipandang berkontribusi besar untuk jalan menuju kesana sebab ia telah berhasil menyatukan gaya nuklir lemah dan gaya elektromagnetik dalam satu teori electroweak atau teori Weinberg-Salam.

Pada saat teori ini dihasilkan tahun 1967 untuk kemudian dipresentasikan oleh Salam saat Simposium Nobel tahun 1968, banyak fisikawan besar memandangnya dengan sebelah mata mulai dari Wolfgang Pauli hingga Muray Gell-Mann yang menerima hadiah Nobel Fisika tahun sebelumnya. Mungkin satu penyebabnya ialah pembuktian teori ini melalui eksperimen yang membutuhkan akselerator partikel dengan energi mencapai 100 GeV (giga elektron-volt) baru dicapai sepuluh tahun kemudian.

Baca juga:  Ilmuwan Besar dalam Dunia Islam (9): Ilmu-ilmu Keislaman yang Menggunakan Sains

Pada tahun 1979 inilah Salam dinobatkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Fisika. Ia menjadi seorang muslim pertama, sekaligus orang Pakistan pertama (yang kedua adalah Malala Yousafzai, Nobel Perdamaian tahun 2014) yang memenangkan Hadiah Nobel. Tidak hanya itu, ia memenangkannya dalam bidang Fisika yang sangat prestisius.

Dengan demikian ia telah berhasil mensejajarkan namanya dengan deretan nama-nama besar pemenang hadiah ini di tahun-tahun sebelumnya, mulai dari Röntgen (penemu sinar x-ray), Planck (penemu konstanta Planck), Einstein (penemu efek fotoelektrik), hingga Heisenberg (pionir mekanika kuantum). Pencapaian Salam dalam bidang fisika ini belum juga bisa diulang oleh muslim lainnya hingga hari ini.

1 A Salam
Abdus Salam bersama Sheldon Glashow (kiri) dan Steven Weinberg (kanan) saat menerima Hadiah Nobel Fisika tahun 1979 [Sumber: bbc.com]
Mencapai Kemajuan Melalui Sains

Hingga meninggalnya, antusiasme Salam untuk mencapai hal-hal besar dalam hidupnya dirangkum Hoodbhoy [5] berasal dari tiga sumber berikut: (1) keinginan untuk mencapai kemajuan melalui ilmu fisika, (2) kecintaannya pada tanah airnya hingga ia menginginkan tercapainya kemakmuran Pakistan melalui sains, dan (3) membangkitkan kejayaan sains dalam agama Islam.

Sumber motivasi pertama ia telah berhasil wujudkan melalui berbagai penghargaan, hadiah, dan seminar-seminarnya. Sedangkan sumber motivasi kedua bertepuk sebelah tangan hingga ia meninggal dunia; kerja kerasnya mengantar Pakistan ke jalur sains gagal karena ia mundur dari beberapa jabatan strategis akibat keyakinannya tak diakui pemerintah. Sejak itu pencapaian besarnya di Pakistan dan dunia Islam tak lagi dirayakan.

Sumber motivasi ketiga untuk membangkitan kejayaan sains dalam Islam tentu sangat sulit tercapai bahkan dengan kontribusi sebesar Salam. Namun ini juga terlalu dini untuk dinilai gagal. Mungkin ada baiknya kita maknai bila perjuangan Salam untuk mengambil inspirasi dari agama Islam untuk kemajuan sains mesti dilanjutkan oleh segenap ilmuwan muslim dari berbagai negara.

Baca juga:  Santri Sebagai Pilar Perdamaian

Dalam tataran praktis, Salam percaya bila berbagai negara berkembang dapat merasakan kemajuan melalui sains setelah memiliki infrastruktur sains yang kokoh sebelum melakukan penelitian atau pengembangan teknologi. Kebanyakan yang terjadi adalah sebaliknya; pengembangan teknologi atau penelitian jalan lebih dulu tanpa infrastruktur yang baik.

Perjalanan hidup Salam telah dijadikan sebuah film dokumenter epik berjudul “Salam — The First ****** Nobel Laureate” yang rilis tahun 2018 melalui Netflix. Enam buah asterisk di dalam judul film ini mewakili enam huruf dalam kata muslim yang dimaksudkan sebagai “ejekan” kepada orang yang sengaja mencoret kata “muslim” yang tertera pada batu nisan di makam Salam.

Visi Salam tercakup dengan baik dalam kalimat pembuka film tersebut [1], “Aku adalah muslim pertama yang berhasil mendapatkan hadiah (Nobel) untuk sains (fisika), berhasil merobohkan (tembok-tembok) penghalang, menghilangkan rasa inferioritas yang selama berabad-abad telah menghampiri kaum muda muslim. Ini hanya bisa dicapai oleh seseorang yang tidak merasakan konflik antara agamanya, budayanya, dan sainsnya.”

Referensi:

  1. https://www.nature.com/articles/s41567-018-0392-5
  2. https://www.bbc.com/culture/article/20191014-abdus-salam-the-muslim-science-genius-forgotten-by-history
  3. Stephen W. Hawking, A Brief History of Time (Amerika Serikat, 1988)
  4. Gerard ‘t Hooft, Leonard Susskind, Edward Witten, et al., A theory of everything? (Nature, Vol. 433, Januari 2005)
  5. Pervez Hoodbhoy, Abdus Salam: Missionary, visionary, luminary (AIP, 2009)
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top