Sedang Membaca
Muslim dan Dunia Sains (5): Sains di Dunia Islam Modern

Sedang menyelesaikan studi di bidang Optik, Karlsruher Institut fur Technologie (KIT), Jerman. Aktif di PCI NU Jerman.

Muslim dan Dunia Sains (5): Sains di Dunia Islam Modern

Whatsapp Image 2020 06 23 At 6.11.16 Pm

Secara jujur perlu penulis sampaikan kesulitannya menemukan sosok selain Abdus Salam yang mewakili umat Islam dalam pencapaian besar di dunia sains modern, apalagi yang berhasil mengulang prestasi Hadiah Nobel Fisika yang dimenangkannya lebih dari 40 tahun yang lalu. Berbagai artikel yang membahas sains di dunia Islam hari ini kebanyakan mandeg memberikan contoh teladan ilmuwan muslim modern selain Abdus Salam.

Tulisan singkat ini mencoba merangkum beberapa hal yang melandasi munculnya fenomena ini. Pembahasan yang akan dicakup dalam tulisan ini lebih kepada pengamatan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tidak populernya sains di dunia Islam modern, i.e. bagaimana negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim memperlakukan sains.

Kondisi Hari Ini

Terdapat hampir dua milyar muslim di seluruh dunia per tahun 2015, hampir seperempat dari seluruh penduduk dunia. Angka ini diproyeksi akan meningkat menuju tiga milyar di tahun 2060, mencapai sepertiga penduduk dunia [1]. Mereka tersebar di berbagai negara, dari Indonesia, Maroko, Uganda hingga Kazakhstan, meski mayoritasnya tinggal di 57 negara anggota Organisation of the Islamic Cooperation (OIC) dengan Islam sebagai agama resminya.

Secara umum, keluasan cakupan lokasi ini mewakili banyak sekali kekayaan sebab faktor sejarah, budaya, bahasa, sistem politik, dan geografis yang juga memiliki sumbangsih besar atas kekayaan alamnya. Semestinya kekayaan tersebut dapat menjadi modal awal yang cukup.

Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya; pemandangan kontras dari anggota OIC sendiri dengan Arab Saudi dan sebagai negara terkaya bersama-sama dengan Somalia dan Sudan yang jauh lebih miskin. Pada akhirnya, kekayaan negara-negara tersebut ternyata tak juga menjamin kemajuan sains.

Sebagian besar dari anggota OIC lainnya seperti Pakistan, Malaysia, Turki, Mesir, Iran, Maroko dan beberapa negara lain mungkin saja memiliki ekonomi yang tumbuh secara stabil, dan sebagian kecil terlihat mulai memperhatikan pendanaan dan infrastuktur sains di negaranya. Meski demikian, dunia Islam secara umum masih terlihat terlepas (Jim Al-Khalili menggunakan kata “disengaged” [2]) dari perkembangan sains modern.

Baca juga:  Anak-Anak di antara Agama dan Manusia
Gambar 1
Gambar 1. Persen GDP negara-negara anggota OIC untuk riset dan pengembangan [3] (penulis)
Atlas of Islamic-World Science and Innovation milik Royal Society di London (Isaac Newton pernah menjadi presidennya) menunjukkan bila para ilmuwan dari seluruh negara-negara di Arab selama tahun 2015 berhasil menerbitkan sejumlah 13 ribu publikasi, padahal Universitas Harvard saja di tahun yang sama menerbitkan sejumlah 15 ribu publikasi [2]. UNESCO dan World Bank Development Indicators menunjukkan data ke-20 negara anggota OIC selama kurun waktu 1996-2003 hanya menghabiskan rata-rata 0,34% untuk riset dan pengembangan dari GDP-nya, lihat gambar 1. Padahal rata-rata negara-negara seluruh dunia saat itu mencapai 2,36% [3].

Bisa saja ada yang berkilah bila kuantitas publikasi dan jumlah dana yang dihabiskan untuk riset tadi tak menjamin kualitas sains di sebuah negara. Relative citation index (RCI) negara-negara OIC dengan jelas membantah argument ini. RCI merupakan sebuah indeks yang menunjukkan seberapa sering publikasi para saintis dari satu negara dijadikan rujukan bagi publikasi lainnya di dunia riset internasional.

Dari 45 negara dengan RCI tertinggi yang masuk kedalam daftar US National Science Board untuk bidang fisika, hanya Turki dan Iran yang mewakili OIC masing-masing dengan RCI 0,344 dan 0,484. Bahkan selama 1995 hingga 2003, hanya Iran yang indeks RCI-nya naik dengan signifikan [3]. Sampai disini jelas terlihat bila negara-negara muslim umumnya telah kalah bersaing dari segi kuantitas maupun kualitas sainsnya.

Inilah yang menurut penulis menjadi jawaban mengapa “hanya” Abdus Salam yang menjadi figur ilmuwan muslim hari ini. Sejalan dengan yang dikatakan Steven Weinberg, yang bersama-sama Abdus Salam memenangkan hadiah Nobel Fisika 1979, dalam sebuah wawancara untuk National Geographic [4]; ia tak menemukan nama-nama ilmuwan besar Islam setelah tahun 1100 kecuali sedikit saja.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk memperbaiki situasi ini, Nader Fergany memberi dua masukan [5], satu untuk dunia Arab (yang saya perluas sebagai dunia Islam) secara umum, dan satu lagi untuk dunia Islam secara khusus. Secara umum, agar dunia Islam tak semakin tertinggal, Fergany mensyaratkan bila mereka mesti bekerjasama secara simultan dan lebih terbuka dalam memajukan sains. Perjuangan sendiri-sendiri dan terisolasi bukanlah pilihan sebab perubahan dunia yang begitu cepat (kecepatan perubahan inipun banyak dipengaruhi oleh sains).

Baca juga:  Arab Pegon dan Nasionalisme Pesantren

Secara khusus (internal dunia Islam modern), pangkal masalah ini dilihat Fergany sebagai akibat mentalitas pemimpin politiknya yang sedikit banyak merepresentasikan pandangan penduduk muslimnya atas sains modern. Masih banyak muslim yang memandang bila sains modern bersifat sekuler, bahkan ateis, serta merupakan produk Barat (bisa jadi masih ada yang menggunakan kata “kafir” dalam konteks ini) [2]. Mereka jelas-jelas melupakan banyak kontribusi ilmuwan-ilmuwan muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sahal, dan Ibnu Haitsam yang telah dibahas pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Perubahan pandangan sinis terhadap sains semacam ini diperlukan tidak hanya di tingkat nasional, namun juga regional, dan bahkan dunia Islam itu sendiri. Salah satu indikasi good governance terhadap sains ini, misalnya, dapat dilihat dari seberapa sering pemerintah merujuk sains, dan pada gilirannya seberapa besar alokasi investasi untuk riset dan pengembangan. Sudan telah lebih dulu mengawali hal ini dengan pidato presidennya, Omar Hassan al-Bashir, di depan Liga Arab sekitar 18 tahun lalu. Ia memohon kepada negara-negara yang hadir untuk meletakkan sains sebagai inti dari rencana pembangunan negara-negara tersebut.

Qatar kemudian mengikutinya dengan pembukaan Taman Sains dan Teknologi tahun 2009 di luar kota Doha. Ini bukan taman bermain seperti yang biasa kita ketahui; taman ini memiliki cabang kampus-kampus bereputasi besar seperti Texas A&M, Carnegie Mellon, Northwester, bahkan University College London serta beberapa perusahaan start-up berbasis teknologi baru. Pemerintah bahkan menamai area dengan lebar satu kota itu dengan nama “Kota Pendidikan”.

Arab Saudi tampaknya tak ingin ketinggalan, apalagi didukung dengan kesadaran sumber minyak sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan. Mereka telah memiliki kampus Universitas Sains dan Teknologi King Abdullah (KAUST) di Jeddah, yang didirikan hanya dalam jangka waktu tiga tahun sejak tahun 2009 dengan biaya 10 milyar dolar. Bangunan kampus yang baru ini langsung dilengkapi pula dengan banyak laboratorium berperalatan mutakhir ditambah budget lima tahunan sebesar 1,5 milyar dolar. Menitikberatkan pada penelitian bidang biologi dan lingkungan, komputer dan elektro, serta keilmuan fisika, KAUST hanya mengakomordir program-program S2 dan S3 saja dengan berbagai beasiswa dan fasilitas untuk mahasiswanya.

Baca juga:  Sinyal Kuota Kemendikbud (1): Ikhtiar untuk Menjamin Hak Belajar Anak

Di samping kedua hal itu, hal ketiga inilah yang paling membuat penulis senang. Proyek SESAME (Synchrotron-light for Experimental Science and Applications in the Middle East) yang didirikan di Yordania ternyata telah mulai beroperasi sejak 2017 yang lalu. Fasilitas ini didirikan atas inisiatif bersama antara Bahrain, Cyprus, Mesir, Iran, Israel, Pakistan, dan Palestina. Berdirinya fasilitas ini memungkinkan berbagai penelitian kelas dunia dalam berbagai bidang, khususnya nanoteknologi, biologi molekular, dan medis dilangsungkan. Bukan tidak mungkin eksperimen penembus batas seperti eksperimen teori pembuktian elektroweak Weinberg-Salam tahun 1979 juga dapat dilangsungkan.

Semoga kesadaran ini berikut langkah-langkah strategisnya dapat segera diikuti oleh negara Islam lainnya demi meningkatkan kompetensi mereka di dunia sains internasional, dan lebih jauh lagi, mencapai kebermanfaatan untuk umat manusia. Sebagaimana kurang lebih pernah disampaikan al-Biruni (973–1048) sang polymath dari Persia seperti dikutip Jim:

“Tukang kritik yang bandel biasanya akan berkata: ‘Apa manfaat dari ilmu-ilmu sains ini?’ Ia sesungguhnya tak mengetahui bahwa pembeda umat manusia dari hewan-hewan ialah pengetahuan, yang secara umum berusaha dicapai oleh manusia demi pengetahuan itu sendiri. Mendapatkan pengetahuan itu sungguh sangat menggembirakan. Rasa semacam ini tak tertandingi oleh kegembiraan duniawi lainnya. Jelas-jelas kebaikan tak akan dapat diunggulkan dan kejahatan tak akan dapat dikalahkan kecuali dengan pengetahuan. Bila bukan ini semua, lalu keuntungan macam apa lagi yang akan dicari?”

Referensi:

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top